Perginya Sang Inspirator

Memasuki usia senja, Seobagijo Ilham Notodidjojo atau Soebagijo I.N., pengarang dan wartawan senior Kantor Berita Antara tetap aktif mengurusi arsip dan kliping-kliping pribadi yang umumnya berhubungan dengan jurnalistik dan dunia pers Indonesia. Di rumahnya yang asri di Jalan Denpasar, Bali View, Ciputat Timur, Pak Bagijo, begitu dia kerap disapa, tetap menyediakan satu ruang khusus membaca dengan perpustakaan pribadi yang lengkap dengan arsip-arsip pribadi yang terus dirawatnya. Ketika masih tinggal di kawasan Pejompongan, dia bahkan memiliki ruang yang lebih besar dengan koleksi yang lebih banyak lagi. Pada periode 1950-an Pak Bagijo pernah menggunakan nama pena Haji SIN kala menulis untuk majalah Minggoe Pagi (Yogyakarta).

Kegemarannya menulis telah dimulai sejak menginjak masa remaja pada awal pendudukan Jepang di Pandji Poestaka (Balai Pustaka). Dia juga aktif menulis dalam bahasa Jawa untuk penerbitan-penerbitan khusus ketika itu. Saat tinggal di Jakarta, dia sempat belajar di Jurusan Sastra Nusantara (Jawa) Universitas Indonesia meskipun tak merampungkan kuliahnya. Dia adalah penulis biografi sejumlah nama besar di bidang jurnalistik, yang semuanya adalah figur yang dikenalnya dengan baik. Sebut saja Soemanang (Sebuah Biografi), Adinegoro (Pelopor Jurnalistik Indonesia) dan S.K. Trimurti (Wanita Pengabdi Bangsa). Pak Bagijo juga banyak menulis biografi tokoh-tokoh Islam seperti K.H. Masjkur (Sebuah Biografi), K.H. Mas Mansur (Pembaharu Islam di Indonesia) dan Harsono Tjokroaminoto (Mengikuti Jejak Perjuangan Sang Ayah).

Dalam titisan pena yang diterbitkan Gunung Agung, "Jagad Wartawan" (1981), Pak Bagijo menulis profil 111 tokoh wartawan Indonesia yang disajikan secara singkat namun mendalam karena dia mengenal baik secara pribadi tokoh-tokoh yang ditulisnya. Menurut salah satu "murid"-nya di Antara, wartawan senior Ismet Rauf, Pak Bagijo adalah pribadi yang ramah namun tegas dan sangat disiplin. Bagi orang yang baru mengenalnya Pak Bagijo terkesan arogan. Karena, menurut Ismet, dia tak ingin buang—buang waktu melayani wartawan muda yang tak berminat pada jurnalistik. Sebagai penulis biografi dan perjalanan, Pak Bagijo hanya merampungkan kisahnya hanya bagi mereka-mereka yang dikenalnya dengan baik.

Wartawan gaek itu tetap kelihatan bugar karena setiap pagi selalu meluangkan waktu hingga setengah jam untuk berjalan kaki keliling kompleks kediamannya. Namun beberapa tahun belakangan Pak Bagijo mulai sakit-sakitan. Puncaknya setelah kembali dari RS Cinere untuk berobat jalan, dia hanya berbaring untuk beristirahat, sampai selepas Selasa subuh, ayah enam anak itu tutup usia dalam usia 89 tahun di kediamannya. Pak Bagijo berpulang dengan tenang dan dimakamkan di Bogor pada siang harinya. Kepergian Pak Bagijo adalah kehilangan yang luarbiasa bagi Kantor Berita Antara. Tempat yang diabdinya hingga memasuki masa pensiun. Setelah kembali dari penugasan sebagai Kabiro Antara di Yugoslavia (1966-1968), dia sempat menjabat kepala meja sunting karangan khas (karkhas) sebelum mengakhiri karir sebagai Kepala Perpustakaan dan Dokumentasi Lembaga Kantor Berita Nasional (LKBN) ANTARA.

Kecintaannya pada sastra dan jurnalisme didekapnya hingga ajal menutup mata. Sebagai wartawan, Pak Bagijo mengawalinya di Yogyakarta, saat Kantor Berita Antara memutuskan untuk hijrah mengikuti pemerintahan Bung Karno-Bung Hatta pada 1946. Pak Bagijo menyebutnya Kantor Berita Antara Pusat di Yogyakarta. Saat itu, penjaga gawang Antara di Jakarta adalah Mochtar Lubis. Selain bekerja pada Antara, dia juga banyak membantu rekan-rekannya di sejumlah penerbitan termasuk Minggoe Pagi dan Kedaulatan Rakyat. Sebelum bergabung ke Antara, Bagijo muda pada awal revolusi fisik mengemudikan majalah Api Merdeka (Ikatan Pelajar Indonesia) dan Djiwa Islam (Gerakan Pemuda Islam Indonesia) di Yogyakarta. Dia juga menulis di Menara Merdeka dan Djajabaja (Kediri), Pantja Raya, Sadar (Jakarta), Liberty (Malang) dan Suara Muda (Solo). Selain membantu Antara di Surabaya, dia pernah menjadi wakil pemimpin redaksi Penyebar Semangat (Surabaya), Harian Umum, Surabaya Post dan Liberal (Surabaya). Sebelum bertugas di Jakarta, dia menjadi kabiro Yugoslavia di Beograd.

Kepergian Pak Bagijo merupakan kehilangan luarbiasa bagi Kantor Berita Antara yang tak lagi mampu menciptakan figur berwawasan sejarah setelah kepergiannya. Dia adalah tokoh pers nasional yang tak tergantikan. Pak Bagijo memiliki mekanisme kerja jurnalistik yang bahkan lebih piawai ketimbang mesin pelacak milik Google. Pikirannya cermat menyimpan data yang melekat dalam otak kecilnya. Hingga masa tuanya, Pak Bagijo adalah tokoh yang masih menggunakan mesin tik di tengah sentuhan-sentuhan jari yang halus generasi muda saat menekan papan ketik komputer canggih yang mereka gunakan. Dia penulis yang produktif dan sangat rajin menghadiri seminar dan diskusi sastra serta jurnalistik yang menurut hematnya menarik untuk disimak. Bahkan jika jarak yang telah menjadi kendala besar baginya, tetap diterabasnya juga.

Selain ramah dan telaten mengayomi wartawan-wartawan muda yang berkunjung ke rumahnya, Pak Bagijo selalu tak ragu menjawab pertanyaan-pertanyaan yang konyol sekalipun. Kuncinya hanya satu, sepanjang dia merasa bahwa semangat dan antusiasme keinginantahuan wartawan-wartawan muda itu tertangkap oleh radarnya. Dia tak segan menegur dengan sinis oknum yang tak menghargai pentingnya arsip dan kepustakaan. Suatu hari dia menekankan, bahwa meskipun terlihat printil, namun melakukan kebiasaan kliping selalu menguntungkan. Karena pada saat proses kita menggunting serta merekatkan artikel kesenangan kita pada wadahnya, tanpa sadar kita telah membaca artikel itu kembali, sehingga ingatan terlatih dan permasalahan semakin dalam melekat pada ingatan.

Siapapun yang pernah meminjam buku dari perpustakaan pribadinya dan tak mengembalikannya tepat waktu, maka Pak Bagijo akan mengingatkan peristiwa itu terus menerus setiap ada kesempatan. Wartawan senior Antara, Ismet Rauf menceritakan bahwa untuk urusan buku, Askan Krisna, wartawan Antara di parlemen, selalu menjadi contoh. "Ingat, buku adalah ilmu. Kita harus menghargai dari mana datangnya. Jika meminjam buku, kita berhutang pengetahuan kepada pengarang dan pemilik buku itu. Jadi kembalikan tepat pada waktu yang kita janjikan. Jangan seperti Askan yang kalau meminjam buku saya, kadang-kadang lupa mengembalikannya," kata Pak Bagijo dengan sinis, seperti yang diingat Ismet Rauf.

Pak Bagijo tak hanya tertarik pada sastra, dia juga pemerhati visual yang baik. Khusus untuk fotografi jurnalistik dia banyak belajar pada mendiang Wiwiek Hidayat, mantan pewarta Antara Surabaya yang kerap menggunakan kameranya untuk menangkap aksi jurnalistik. Mereka berkenalan dan bersahabat saat Pak Bagijo tinggal di Surabaya pada tahun 1948-an. Dari sana Pak Bagijo juga mulai mengumpulkan cetakan-cetakan foto asli yang dikoleksinya dari sejumlah sumber dan disimpannya sebagai arsip lain di luar sastra dan jurnalistik. Ketika ikut membantu pemikiran saat Museum dan Galeri Foto Jurnalistik Antara didirikan pada 1992, Pak Bagijo menyumbangkan beberapa foto bersejarah untuk koleksi Museum dan GFJA. Foto besar yang menjadi koleksi tetap GFJA yang memperlihatkan presiden Soekarno berpose dengan pemimpin redaksi dan kru Domei pada tahun 1945 sebelum pemerintahan hijrah ke Yogyakarta adalah sumbangan dari Pak Bagijo.

Sejumlah materi-materi cetak yang menghiasi sebagian dari dinding-dinding informasi di ruang pamer tetap Museum Pers Antara juga merupakan reproduksi yang diperoleh sumbernya dari koleksi Pak Bagijo. Tiga tahun belakangan ini Pak Bagijo selalu mengucapkan selamat sekaligus permintaan maaf tak mampu hadir, setiap kali mendapatkan undangan untuk menghadiri upacara pembukaan pameran foto di GFJA. Biasanya dia selalu menyempatkan hadir, apalagi jika konteks pamerannya berkaitan dengan peristiwa sejarah seperti Kebangkitan Nasional, Kemerdekaan Indonesia dan Sumpah Pemuda. Keberadaan Museum dan GFJA selalu terkait juga pada semangat kesejarahan Pak Bagijo yang sebagian roh jurnalistiknya melekat pada setiap relung-relung ruang cakrawala bangunan bersejarah bagi pers nasional Indonesia.

Sejarah bukan berhala. Dia adalah pondasi dan jejak awal kita untuk melangkah ke depan. Kita kehilangan Pak Bagijo sejatinya hanya secara fisik, karena semangat perubahan yang diharapkannya melalui intisari sejarah jurnalisme Indonesia yang kerap digoreskan penanya masih menanti pembuktian. Titisan pena yang seharusnya dapat ditafsir dengan arif oleh pengelola Kantor Berita Antara genarasi masa kini. Belantara jurnalisme berita-berita pesanan yang nyaris menjadi cap kita, tentu harus terus diimbangi dengan elegan melalui rejuvenasi kualitas jurnalistik kantor berita modern yang harus didobrak dengan pijakan yang kokoh. Seperti awal berdirinya Antara, ketika harus menjalankan sebentuk misi mustahil yang akhirnya mempu menerobos pasar jurnalisme nasional dan menciptakan wartawan-wartawan tangguh seperti Mochtar Lubis, Pandu Kartawiguna, Sumanang, Adinegoro, Adam Malik, Sipahutar, dan tentu saja, Soebagijo Ilham Notodidjojo.

oscar motuloh
kurator GFJA

Foto: Soebagijo I.N. (tengah) saat menerima Press Card Number One dari Ketua PWI Bagir Manan tahun 2012 (Antara/R. Sukendi)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 18/09/2013 07:44