(Dan) Kupu-Kupu Yang Melupakan Kepompongnya

Suatu hari trumpetis jazz terkenal, Chris Botti, mengkritisi banalitas lomba-lomba instan dalam reality-singing competition yang marak tahun-tahun belakangan ini. Dia merujuk pada program semacam "The Voice" dan "American Idol" yang waralabanya mengglobal di metropolis-metropolis dunia. Fenomena yang seolah-olah menjawab mimpi remaja masa kini yang ingin meraih bintang di langit dalam sekejap mata. Padahal menurut Botti, "Idol" hanyalah "sepotong musik, sekeping karaoke dan sepenggal lainnya: ujung-ujungnya duit". Semacam pengerdilan atas proses kreatif sekaligus menisbikan profesionalisme dan juga karakter.

Botti, lajang flamboyan berusia 51 tahun, yang memiliki talenta di antara dua legenda jazz - mendiang Chet Baker dan Miles Davis – melatih kemampuan profesionalismenya sejak berusia 12 tahun, saat dirinya terkena virus jazz dari musik Miles untuk pertama kalinya. Dari proses determinasinya yang tinggi, terutama setelah bergabung bersama kelompok Gordon Sumner alias Sting yang sangat mengapresiasi integritas profesionalisme, komitmen musikalitas Botti pada alat musik tiup itu terbentuk dan menjunjungnya ke pucuk daun popularitas.

Meskipun dunia telah jatuh cinta pada hembusan trumpetnya, pada penulis dan editor Los Angeles Times, Diane Haithman, Botti mengaku popularitas bukanlah tujuan hidupnya. Komitmen profesional Botti hanya tertuju pada trumpet. Alat musik tiup yang dalam hembusannya mampu menafsirkan kembali citra dari atmosfir derita, harapan dan cinta. Dari sana inspirasi kreatif menemukan jalurnya untuk bertranfomasi menjadi karya yang mengisi relung kehidupan yang kelak (mungkin) menjadi sekeping sumbangan bagi peradaban. Pada Botti kita belajar betapa integritas membutuhkan kepribadian yang sekokoh karang dalam transformasinya untuk membentuk karakter yang kreatif dan berkomitmen pada prinsip.

Dalam belantara jurnalisme kantor berita masa kini, pondasi spiritual dalam aspek profesionalisme, kerja keras, dan integritas sejatinya tidaklah jauh berbeda. Tak ada yang instan seperti sinyalemen Botti. Apalagi pada suatu rencana perjalanan panjang jurnalisme Kapal Motor (KM) Antara yang melayani pengguna jasa dengan medium dan selera berita yang semakin canggih dan kompleks. Dari sudut teknisnya saja, dibutuhkan kekompakan luar biasa pada tim pengelola dalam melayarkan kapal ke pelabuhan tujuan sebagai harga mati.

Setelah wartawan karir Parni Hadi rampung menjalankan tugasnya sebagai nahkoda Kantor Berita Antara pada tahun 2000, baru sekarang, 13 tahun kemudian, kepemimpinan kantor berita yang sarat keterlibatannya dalam sejarah diawal pembentukan Republik kembali dikemudikan oleh "orang dalam". Dalam era milenium baru ini, kebebasan pers yang menjadi anak kandung Reformasi ternyata belum mampu dimanfaatkan filosofinya oleh para penguasa Antara masa kini. Siklus prestasi dan prestise korporasinya masih rendah, jika tak ingin dikatakan jeblok. Meskipun akar kita adalah sejarah, namun dia bukan berhala yang harus disembah. Sejarah adalah sumber spiritual jurnalistik kita. Kemampuan membacanya dalam konteks kekinian merupakan jawaban dalam menafsir jaman.

Bahkan Presiden SBY saat hadir dalam HUT ke-69 tempo hari menekankan dukungannya agar Antara menjadi kantor berita kelas dunia. Seraya menegaskan bahwa keberadaan Antara ditentukan oleh kemandiriannya dalam menjalankan fungsi yang didasari oleh asas kebebasan pers. Dengan kemandirian kantor berita, maka sejatinya, itulah paspor Antara menuju cita-citanya sebagai kantor berita kelas dunia. Cita-cita adalah PR penting yang harus diwujudkan para pengelola sebelum melayarkan kapal motor setelah satu periode hanya digunakan untuk berputar-putar di perairannya sendiri. Bukan pekerjaan mudah menjaga equilibrium kualitas jurnalistik kantor berita, sementara di kanal yang lain aliran proyek belas kasihan bernama PSO (public service obligation) harus terus berlangsung demi asap dapur perusahaan.

Kita tak lagi dapat berlindung dibalik slogan "cepat, akurat, penting" yang sudah jadi kaos kaki tua. Sebab kecepatan dalam pemberitaan telah direngut oleh keberadaan jurnalisme warga yang menggunakan medium jejaring media sosial sebagai stasiun penyiaran kabar dan warta dari mereka. Bahkan raksasa CNN saja harus takluk pada kenyataan hidup itu. Elemen kedua, akurasi, juga bukan lagi milik kita. Masih terdapat sejumlah kealpaan elementer dan ketakberdayaan subyektif dalam pemberitaan kita. Lalu adakah "penting", sang elemen terakhir juga masih berada dalam pelukan kita? Sulit menjawabnya dengan "ya", jika mayoritas pemberitaan Antara yang sama-sama kita cintai ini faktanya lebih banyak memberitakan informasi-informasi PSO, ketimbang berita "scoop" yang muncul dari inovasi pewartaan independen gaya kantor kantor berita yang dahulu kala menjadi acuan pers cetak nasional.

76 tahun sudah kiprah Kantor Berita Antara dalam belantara pers nasional. Sepanjang itu pula romantika kejayaan masa lalu tetap menjadi bantal lelap kita. Setiap terjaga, bunga tidur sebagai raja samudra jurnalistik masih menempel dalam benak para pengelola kantor berita kebanggaan negeri. Padahal mengubah mimpi menjadi visi pun belum sanggup mereka lakukan hingga detik ini. Mungkin gejala ini dapat disebutkan sebagai metamorfosis tak sempurna. Dalam terminologi ilmu hayat, mereka seperti berudu yang sibuk bermimpi menjadi pangeran tapi enggan mengubah diri menjadi katak lebih dahulu.

Mustahil rasanya membangkitkan kembali pamor Kantor Berita Antara. Namun harapan selalu ada, meskipun pelanggan pers kita saat ini telah duluan bertransformasi, membelah diri, untuk juga mengelola "kantor berita-kantor berita" mereka sendiri. Mereka tak lagi sekadar menggelindingkan bisnis media cetak yang sebentar lagi akan segera menjadi masa lalu.

Jaman telah berubah dengan kebengisannya sendiri. Kantor Berita Antara harus ditafsir ulang dengan kebijakan perusahaan yang sahih dan bersahabat dengan jaman. Dengan supervisi setiap jam berganti hari, dan matahari menggusur tahun-tahun yang terbenamkan di belakangnya. Sekarang, setahun setelah kepemimpinan orang dalam, KM Antara ternyata masih saja sandar di dermaga yang sama. Rupanya ancang-ancang masih diperlukan guna meluncurkan kapal ke perairan yang bakal membawanya mengarungi samudra lepas. Yang tak lagi seperti dulu, karena jurnalisme kontemporer yang mengunifikasi seluruh medium komunikasi telah berkembang lebih luas dari samudra yang membelah bumi dan meroket lebih cepat dari halilintar.

Kepemimpinan "orang dalam" pada hakekatnya adalah harapan bagi masa depan Antara. Apalagi kapal itu dikemudikan oleh larva-larva yang semula memiliki visi cemerlang karena mereka digembleng dalam kawah candradimuka jurnalisme di kawasan Pasar Baru. Namun saat pendulum waktu menghentakkan kita pada sebentuk tanggung jawab generasi bernama suksesi, tiba-tiba larva telah tumbuh menjadi ulat dewasa yang barangkali punya agenda dan kepentingannya sendiri. Beruntung mereka terlindungi dengan baik dalam kepompong yang menjaganya dari terkaman predator-predator perusahaan pers yang ganas. Di dalam kandungannya, ulat-ulat yang ambisius itu seperti tak sabar lagi menantikan saat-saat tibanya kekuasaan mereka.

Lonceng akhirnya menunjukkan ujung penantian. Metamorfosis sempurna telah tergenapi. Sayap-sayap indah mengepakkan kemilaunya. Ulat-ulat menggelikan itu kini telah menjelma menjadi kupu-kupu yang siap untuk melakukan terbang perdana. Mengarungi cakrawala persaingan industri jurnalistik. Memamerkan motif-motif surgawi yang tertera pada sayap-sayap mempersona mereka. Ada yang kuning, biru, hijau, dengan bercak-bercak aneka warna. Di tangan mereka, nasib kantor berita digantang seolah menyentuh langit. Sebentar lagi kita akan melihat apakah pada tahun kedua ini mereka masih merayakan kekuasaan politik kantor atau berani mengambil tanggung jawab untuk melempar sauh dan membangun karakter Antara dari puing-puing keruntuhannya menuju kejayaan generasi jurnalistik mendatang kita.

Sementara itu, di dahan rerimbunan pohon ilmu dan pengetahuan jurnalistik, tempat larva-larva (mereka) dilahirkan, sang kepompong mengamati detik demi detik sepak-terjang sang kupu-kupu dari kejauhan secara detil. Dilihatnya segenap rombongan kupu-kupu yang tengah eforia berjumpalitan dengan pongah di udara. Yang besar memimpin di depan. Suara tawa bersahut-sahutan setiap sang ketua melontarkan kisah-kisah lucu yang sebenarnya amat sungguh "garing" rasanya. Yang kecil selalu membetulkan letak sayap kupu-kupu besar ke posisi semula setiap dia terkekeh dengan hebat menertawakan humornya sendiri. Yang betina terbang berputar-putar sendirian melompati rombongan awan-awan putih yang datang sekonyong-konyong. Dan, dua kupu-kupu jantan berukuran sedang tampak terbang seolah beriringan tapi bergerak ke arah yang berlainan.

Sang kepompong menatap atmosfir kepemimpinan itu dengan mata yang sayu. Tak lama kemudian, kepompong yang tadinya berwarna emas berkilauan perlahan berubah warnanya menjadi kelabu. Bersamaan dengan itu wajahnya tertunduk pasrah. Matahari sebentar lagi akan ditelan senja. Terlihat rombongan kupu-kupu itu terbang rapih menjalani rutinitas tradisional beriringan membentuk siluet holopis-kuntul-baris dengan latar temaram yang sempurna. Meninggalkan suara cekikikan yang terdengar lirih sampai jauh.

Lamat-lamat masih terdengar lirih obrolan yang bercampur tawa riang mungkin membincangkan bagaimana "Anugerah Antara" dipilih secara sepihak tanpa harus membentuk komite dewan juri yang independen. Ada juga rencana membelah organisasi Antara menjadi... (suara terpotong lalu menghilang). Sayangnya kalimat terakhir ini tak lagi lengkap terdengar, karena rombongan kupu-kupu bersayap indah itu, telah terbang terlampau jauh ke arah barat. Barangkali ke Singapura untuk makan malam, lalu berunding dan mengambil keputusan.

Di bandara internasional Changi, siluet Chris Botti, terlihat melewati lorong terminal kedatangan. Di tangan kirinya tertenteng satu koper berisi keperluan sehari-hari yang selalu menemani. Setiap dia melakukan perjalanan untuk menghibur hati-hati dahaga yang merindukan alunan harmoni kualitas paradiso. Sementara di dalam "casing" hitam yang menyerupai kepompong, tersimpan trumpet kesayangan yang tergenggam erat di tangan kanannya. Satu-satunya trumpet yang dimilikinya sejak duapuluh tahun belakangan ini. Di situlah nyawa dan jiwa sang empunya selalu bermukim.

Pemandangan ganda itu menyeruput sanubarinya. Sang kepompong tentu tak perlu sirik pada Botti yang selalu membawa "kepompong"-nya pergi. Sebab, begitulah asal muasal apresiasi dan integritas terbentuk pada karakter manusia. Kepompong juga tak pernah berharap kupu-kupu membangunkan monumen bagi keberadaan dan jasa-jasanya. Dia hanya menaruh iba, sampai kapan kupu-kupu sadar bahwa keindahan sayap-sayap pada dirinya hanyalah bersifat fana nan sementara. Jika tugas pokok kupu-kupu untuk menyerbuki bunga-bunga di taman tak juga dilakukan sekarang, maka sesungguhnya dia hanya akan tercatat dalam urutan sejarah Antara sebagai pemimpin boneka yang lemah dan tak akan pernah melahirkan legacy apapun. Karena tanpa sayap-sayap yang indah, sekelompok kupu-kupu sejatinya hanyalah ulat-ulat menjijikkan dalam kepompongnya masing-masing.

oscar motuloh
rakyat Kantor Berita Antara

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 08/01/2014 10:01