Mawar Hitam Untuk Pep

April adalah bulan keramat bagi Pep Joseph Guardiola. Keramat, karena pada akhir April 2012, pelatih besar yang kerap disapa Pep, yang telah mencapai segalanya bersama Barcelona mengumumkan pengunduran dirinya sebagai pelatih tim kesayangan orang-orang Katalunya tersebut. Sembari melengserkan diri, Pep merekomendasi sahabat karibnya, Frances Vilanova i Bayo, asistennya selama menukangi Barcelona untuk menggantikan dirinya sebagai pelatih tim paling atraktif sepanjang masa yang pernah berkiprah di seantero planet bumi ini.

Hal keramat lainnya adalah karena pada penghujung April 2014 besok, Pep harus menyerahkan diri pada takdir karirnya, begitu wasit asal Portugal, Pedro Proenca mengembuskan peluit panjang tanda kick-off leg kedua antara Bayern Munchen, tim yang diasuhnya melawan Real Madrid yang mengantongi keunggulan satu kemenangan yang diraih di Santiago Bernabeu pekan silam. Pep harus membuktikan kemujaraban ramuan taktik dan strategi yang telah disuntikkannya pada tim kebanggaan orang-orang Bavaria itu benar dan tepat adanya. Laga hidup mati itu kali ini berlangsung di markas angker mereka, Allianz Arena, kota Munchen.

Sejauh ini Pep telah menikmati puja-pujian, karena mampu memenangkan juara bundesliga enam pekan sebelum waktunya berakhir. Suatu rekor baru. Namun setelah pencapaian puncak domestik berlalu, sontak permainan Bayern melorot sehingga memperlihatkan grafik anti-klimaks. Lima laga domestik memperlihatkan betapa determinasi anak-anak Bavaria itu melempem, mereka kemasukan 9 gol termasuk saat digasak 3-0 oleh musuh bebuyutan, Borussia Dortmund yang berhasil mencuri Piala Liga Jerman dalam suatu pertarungan final yang seru.

Legenda hidup Bavaria, Franz Beckenbauer, dengan nyinyir mengkritisi strategi permainan Pep sebagai tidak menarik. Karena memaksakan sepakbola khas Bayern Munchen diracuni dengan permainan kotak-katik, alias tiki-taka ala Barcelona. “Menonton Bayern sekarang, sama sekali tak menarik. Sama tak menariknya dengan permainan Barcelona. Penguasaan bola tak serta merta memenangkan pertandingan“, kata mantan libero timnas dan kapten Muenchen di puncak kejayaannya itu dengan pedas. Canggung memang melihat gaya permainan Munchen era Pep sekarang ini. Mereka memerlukan waktu untuk padu dengan dengan permainan gaya Pep yang sekarang tengah diterapkannya dengan penuh risiko.

Jika tak segera menghasilkan prestasi membanggakan, maka fans Muenchen akan meneriakkan kembali nama Jupp Heynckes di cakrawala penjuru stadion Arena yang angker itu. Semantara imajinasi kegalauan itu masih mengawang di alam pikiran, Pep masih dikepung April hingga di penghujungnya. Setelah menggulung Werder Bremen (5-2) dengan susah payah di Arena, Pep masih ketar-ketir dengan lini belakangnya yang mendadak rapuh dan mudah keserobot gol ecek-ecek. Mirip seperti yang dilakukan Karim Benzema yang dengan mudah menceploskan umpan terobosan Fabio Coentrao di Madrid pekan silam.

Sementara kepalanya dipenuhi dengan varian taktik yang belum selesai dirampungkannya, kabar sangat buruk datang menerpanya. Sahabat karibnya, Frances Vilanova alias Tito, tutup usia karena kanker kelenjar ludah yang sejatinya telah dideritanya sejak November 2011 akhirnya merengut nyawanya. Meskipun kemudian dinyatakan sembuh, dan Tito kemudian menggantikan Pep, realitanya memperlihatkan hal yang berbeda. Kanker itu ternyata survive di dalam tenggorokan Tito, sejak Desember 2012 Tito harus bolak-balik Barcelona-New York untuk melakukan terapi.

Sampai akhirnya Presiden Barca Sandro Rosell mengumumkan Tito harus melakukan terapi intensif atas penyakitnya dan mendatangkan Tata Martino dari Argentina sebagai pengganti Tito. Dua sahabat, Pep dan Tito adalah dua pelatih yang membentuk remaja-remaja La Masia seperti Lionel Messi, Andres Iniesta, Xavi Hernandez, Gerard Pique dan Victor Valdes dalam tim U-14 menemukan jati diri dan bersinar kemudian dalam tim senior Barcelona. Dalam empat setengah tahun kepemimpinan Pep dimana Tito menjadi asistennya, Barca meraih puncak prestasinya dengan meraih 14 gelar dari 19 yang tersedia, termasuk dua kali menjuarai Liga Champions ajang paling bergengsi bagi klub Eropa.

Saat upacara sakral untuk mengantarkan jenasah ke pemakaman abadi akan dilakukan pada Senin petang (Selasa dinihari) di Katedral Barcelona yang terkenal itu, Pep masih akan terus meracik timnya untuk melakukan pertarungan terakhir melawan tim tangguh Real Madrid yang kini ditangani pelatih kawakan Carlo Ancelotti. Dia harus mengkalkulasi kembali apa yang harus dilakukan pada tim setangguh Madrid dibawah Ancelotti yang sesungguhnya punya karakter bertahan yang sama grendelnya dengan Jose Mourinho yang juga adalah seteru Pep kala masih bergabung di Barca.

Di kepala Pep tentu masih menggantung bagaimana Tito menyatakan penyesalannya karena hanya sempat menjenguknya satu kali saat dia berjuang melawan maut di New York. Sejak saat itu hubungan mereka sebagai dua tokoh yang melahirkan generasi La Masia yang paling fantastis di dunia itu semakin renggang. Apalagi saat kesibukan bundesliga dan primera di Spanyol terus menggelinding dari pekan-pekan selanjutnya. Hingga ke pertarungan Bayern vs Bremen, nama Tito tenggelam dalam penderitaannya di bawah berita dan skor hasil pertandingan di liga-liga papan atas Eropa.

Akhirnya kabar mangkatnya Tito tetap mengejutkan dunia. Usia pria kalem dan anggun itu baru 45 saat maut datang menjemputnya. Mou yang pernah mencolok matanya saat masih menukangi Real Madrid di suatu laga “el clasico“ tak urung menyatakan kesedihannya yang mendalam. Perwakilan kerajaan Spanyol yang menjadi seteru abadi orang-orang Katalunya yang diwakili kesebelasan Barcelona mengirimkan ucapan belasungkawa yang simpatik. Marca, harian sepakbola terbesar Spanyol yang pro-Real Madrid, menerbitkan 12 halaman ekstra yang memuat artikel dan foto untuk menghormati Tito. “Selamat jalan Tito, perjuanganmu adalah pelajaran bagi kita semua. Kau adalah simbol keberanian, kebanggaan, pekerja keras, penuh tanggung jawab, kau adalah pribadi yang bersahaja“.

Sementara koran berpengaruh Barcelona, “El Mundo Deportivo” menuliskan teras beritanya, “Hari ini, anak-anak dan mereka yang tumbuh, kawan dan rival, pelatih dan atlet sepakbola di seluruh dunia, bangsa Spanyol dan Katalunya, semuanya meratap dan bersedih atas kepergiannya“. Tito dan sepakbola telah mempersatukan pencinta sepakbola pada arena yang satu. Pep dan keraguannya atas pertarungan Rabu dinihari nanti adalah buah dari sepakbola modern yang terkadang lebih menonjolkan sisi gemerlap para atletnya yang narsis ketimbang semangat dan sportivitas olahraga.

Kepergian Tito adalah kepedihan, namun seperti yang disebutkan “Marca”, dia juga mengingatkan kita pada jati diri dan kebersahajaan olahraga yang sesungguhnya abadi. Semuanya ada pada diri Tito. Ban hitam terpasang pada lengan pemain saat Muenchen dan Bremen bertarung kemarin. Sesaatnya Pep dengan sedih berkata pada pers “kami melalui banyak hal bersama, kami kalah dan menang bersama. Ini sungguh saat-saat yang sangat sulit. Kepergiannya akan selalu melekat dalam diriku selamanya“.

Paduan “Requeim” akan lamat-lamat terdengar di sekitar Katedral Barcelona nanti. Segenap anggota tim Barcelona yang kebetulan telah tersingkir dari ajang Piala Champions barangkali berada di dalam sana sembari mengenang ketokohan mendiang Tito yang mungkin merelakan Pep untuk meraih kembali sukses tanpa dirinya. Di belantara orang-orang Bavaria. Di stadion kebanggan mereka, Allianz Arena. Dimana mereka akan memainkan tiki-taka yang sesungguhnya juga adalah racikan Tito. Sebentuk pola yang mungkin hanya pantas dimainkan oleh anak-anak Spanyol yang tubuhnya lebih mungil dan gesit kala menarikannya. Ketimbang oleh David Alaba, Toni Kroos apalagi Thomas Mueller.

Semifinal di penghujung April ini akan menjadi tolok ukur bagi sukses Pep. Jika Bayern tak muncul pada final di Estadio da Luz, kota Lisbon pada 24 Mei nanti artinya takdir Pep memang bukan untuk orang-orang Bavaria. Kala tubuh Tito bersatu kembali ke tanah yang menjadi takdir umat manusia, di Allianz Arena, kota Munich, anak-anak Bayern Muenchen akan bertarung dengan jiwa dan raganya. Namun sebelumnya semua pemain akan mengheningkan cipta mengenang Tito yang tentunya lebih dipahami anak-anak Real Madrid. Mungkinkah mereka akan menangkap senyum Tito yang seolah mengembang di atas hamparan rumput? Barangkali sebagai motivasi bagi anak-anak Bavaria, atau justru menjadi stimulan bagi tim Real Madrid yang lebih pantas memainkan sepakbola dengan filosofi tiki-taka dan memenangkannya ketimbang Bayern Muenchen?


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto: Tito Vilanova semasa hidup (Reuters)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 28/04/2014 17:22