Naik Bus Tingkat ke Estadio da Luz

Arsitek vs seniman. Begitulah kira-kira tajuk yang bakal terhidang dalam semifinal leg ke-2, Kamis dinihari, yang akan mempertemukan tim peringkat pertama liga Primera, Atletico Madrid dengan tuan rumah Chelsea. Laga hidup-mati tersebut diprogram berlangsung di stadion Stamford Bridge, markas besar tim “The Blues“ yang terletak di Fulham Road, pusat kota London. The Bridge, sebutan untuk stadion bintang lima dengan kapasitas 41.637 penonton itu, digunakan pertama kali tahun 1877. Lokasinya hanya beberapa kilometer dari Istana Buckingham, Hyde Park dan pusat perbelanjaan Harrods yang dapat dinikmati dari bus tingkat, “double-decker“, yang terkenal itu.

Di kawasan elite itu, sejak kehadiran Ruud Gullit yang memperagakan “sexy football“ dan mempersembahkan Piala FA pada 1997. Trofi pertama Chelsea setelah 26 tahun. Hingga polah Jose Mourinho yang menyerobotkan sejumlah gelar juara liga primer di antara keperkasaan Manchester United dan Arsenal, maka Chelsea mulai diperhitungkan kehadirannya di blantika sepakbola Eropa. Apalagi pemilik klub, taipan Rusia, Roman Abramovich rela menghamburkan dana demi meraihkan mimpinya. Yakni merebut trofi Champions sebagai supremasi kejayaan di benua biru.

Dia menyewa pelatih-pelatih kelas dunia dan kemudian memecatnya karena tak kunjung mampu mempersembahkan fakta atas mimpinya. Sebut saja keapesan yang dialami Mou, Felipe Scolari, Carlo Ancelotti dan Andre Villas Boas. Namun anehnya, saat ditangani pelatih medioker macam Avram Grant, Chelsea berhasil mencapai final Liga Champions 2007-2008 sebelum tumbang dalam adu penalti yang sungguh mendebarkan karena kegagalan kapten John Terry menyarangkan bola ke gawang Manchester United yang kala itu dijaga Edwin Van der Sar.

Mimpi sang taipan akhirnya justru dipenuhi oleh pengganti Villas Boas. Pelatih sementara itu adalah asistennya sendiri, mantan gelandang elegan Chelsea, Roberto Di Matteo. Karena potongan rambutnya yang plontos di atas wajah bayinya, dia dijuluki “Little Buddha“. Di bawah besutan dan kesabarannya, Chelsea berhasil meraih trofi Champions 2011-2012 usai menaklukan Bayern Muenchen dalam adu penalti yang dramatis. Final yang hasilnya mengejutkan banyak kalangan karena anak-anak Muenchen berada dalam form terbaiknya. Belum lagi partai final tersebut dimainkan di markas besar mereka, Allianz Arena yang keramat itu.

Gaya Chelsea ala Di Matteo dalam partai final tersebut sejatinya menganut paham “cattenaccio” juga. Aliran sepakbola yang jika diperlukan tak ragu digunakan oleh Ancelotti dan terutama oleh Mou. Sekarang Ancelotti mengisi posisi pelatih Real Madrid yang ditinggalkan Mou untuk bergabung kembali ke Chelsea, kesebelasan yang dahulu membesarkan namanya. Setelah laga Muenchen vs Real Madrid berlangsung, Mou harus kembali berhadapan beradu taktik dengan Diego Simeone yang masih penasaran dengan permainan super-grendel yang berhasil meredam Atletico dikandangnya. Vicente Calderon.

Sebagai mantan gelandang bertahan yang memiliki lebih dari 100 caps di timnas Argentina, Simeone mestinya dapat menemukan kunci untuk membuka grendel pintu bus tingkat yang dikemudikan John Terry cs, dengan Mou yang terus memberi aba-aba dari tepi lapangan hijau. Apalagi gaya serupa baru saja menghentikan laju Liverpool dalam kemenangan beruntunnya di liga primer hari Minggu yang baru lalu. Di La Liga, anak asuh Simeone juga baru meraih satu kemenangan penting dengan menekuk Valencia di kandangnya sendiri. Sejarah seperti membentang di hadapan tim nomor dua di Madrid yang dikenal sebagai Atleti.

Dengan taktik bus tingkat yang sukses dikemudikan Mou di Madrid, maka Simeone harus menyiapkan sejumlah rencana. Pekerjaan sangat sulit bagi Simeone untuk menaklukkan pasukan Mou di kandangnya. The Bridge bukan stadion seangker Old Trafford ataupun Anfield. Apalagi Camp Nou dan Santiago Bernabeu. Mou adalah pelatih cerdas yang kemungkinan besar tak lagi menggunakan bus tingkat untuk menutupi gawangnya. Dia kemungkinan harus memanfaatkan Fernando Torres sejak awal untuk mencuri gol. Ujung tombak berbahaya yang meskipun tengah menurun tapi paham benar filosofi permainan Atleti tempatnya bergabung sebelum merantau ke tanah Inggris.

Saat wasit kawakan Italia Nicola Rizzoli meniupkan peluit tanda kick-off, maka pencinta sepakbola akan menanti taktik apalagi yang bakal diterapkan Mou saat menjamu Atleti yang sangat berambisi lolos ke markas besarnya tim Benfica, di Lisbon pada partai final yang akan dimainkan pada 24 Mei mendatang. Secara psikologis pencinta bola tentu tak menginginkan Atleti berhadapan dengan saudara tuanya, Real Madrid, dalam partai final yang pasti akan menyurutkan wibawa sepakbola bergengsi di seantero dunia karena cenderung membosankan.

Ingat bagaimana Muenchen diporakporandakan oleh Mou tempo hari saat memimpin Inter memenangi kembali trofi Champions yang telah begitu lama pergi dan melanglang dari satu ke klub ke klub lainnya. Mou tampaknya akan merenggangkan permainan ultra grendel yang lebih negarif dari metoda "cattenaccio" itu. Yang jelas Mou adalah pelatih yang sangat zakelijk pada hasil. Dia rela melepaskan permainan indah dan menerapkan permainan ultra defensif dan membuat penonton mendesah rasa tak puas.

Mou adalah arsitek sepakbola, dia bukan Diego Simeone yang masih mengadopsi semangat sepakbola adonan power dan gaya indah Cesar Menotti. Meskipun teori itu masih mampu membenamkan Liverpool, namun dia tak lagi efektif pada laga melawan Atletico Madrid yang tengah membara. Mou sadar bahwa Atletico membawa semangat gempur macam kala dirinya membawa Porto bertarung di Old Trafford tempo hari. Porto bukanlah tim sebesar dan seglamor Manchester United yang dipenuhi bintang-bintang sepakbola. Keberadaan Porto yang berhasil menjuarai Liga Champions tahun 2003-2004 itu mirip dengan keberadaan Atletico sekarang. Mereka bukan kesebelasan yang bertabur bintang seperti Real Madrid dan tentunya Chelsea. Karenanya semangat juang mereka pasti berbahaya potensinya.

Esok dini hari nanti si biru borjuis itu akan membuktikan betapa sulit bertarung dalam posisi superior. Atleti berada dalam posisi underdog. Meskipun Mou adalah peracik strategi paling canggih dalam sepakbola modern yang ekstra ketat persaingannya. Dia bukan penganut sistem kepelatihan sepakbola indah dan atraktif macam Johan Cruyff. Atau Ernst Happel. Atau Vicente del Bosque. Apalagi sang Sphinx-nya sepakbola Eropa, Rinus Michels. Tapi siapa yang mengenang permainan cantik namun keok di semifinal. Seperti timnas Brasil yang luar biasa indah namun gagal melaju ke final Piala Dunia pada 1982 dan 1986.

Pengalaman Mou meracik taktik dan strategi sepakbola tak perlu diragukan lagi. Ambisinya untuk meraih trofi Champions yang ketiga pada tiga klub yang berbeda pasti ingin digapainya. Suatu upaya yang gagal kala dia menangani Real Madrid. Macam Cristiano Ronaldo yang juga orang Portugal seperti dirinya, Mou tentu berharap Real Madrid dan Chelsea yang akan saling berhadapan di Estadio da Luz (Stadium of Light) di Lisbon, pada malam final tanggal 24 Mei mendatang. Kehadiran mereka tentu bakal menghibur pencinta sepakbola Portugal yang masih terluka, karena di stadion yang disebut "katedral" rancangan Damon Lavelle itu, timnas Portugal yang difavoritkan justru terjungkal dengan sangat mengejutkan oleh gol tunggal Angelos Charisteas yang memenangkan tim anak bawang Yunani dalam partai final Piala Eropa 2004.


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto: Dua pemain Atletico Madrid menjaga pergerakan pemain Chelsea David Luiz (kanan) pada pertandingan leg pertama antara kedua tim di babak semifinal Liga Champions, 22 April 2014 (Reuters/Javier Barbancho)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 29/04/2014 16:16