Kisah Anak-Anak Srigala

Saujana perkotaan bisa menjadi bingkai masuk bagi sebentuk detil visual bernama atmosfir. Dari sana, atmosfir seperti tergiring menjadi detil-detil fotografi yang membawa kita seolah melangkah tergopoh pada suatu lorong panjang di bawah kanopi bernuansa buram. Pada sisi dinding-dindingnya garis-garis diagonal memberkas terpantul oleh cahya penerangan kota. Bayangan gelap seperti mengejar langkah-langkah yang semakin bergegas. Lensa pada mata fotografer yang sensitif nyaris selalu mampu menggerakkan sebentuk diam. Lalu meneroboskan konten kemana pun imajinasi menginginkannya. Gejala ini adalah antitesis dari teori freezing, atau membekukan gerak yang kita kenal dalam fotografi.

Dari gerbang kota dan jutaan persoalan serta hipokrasi yang membelitnya, baiklah kita mencoba menelisik kilasan fakta politik dari arsip-arsip visual yang seolah membeku. Meskipun vonis demi vonis telah dijatuhkan kepada para tersangka koruptor yang mewabah di parlemen dan juga menjamur subur di kalangan pemerintahan.

Cerita anak-anak serigala metropolis bermula dari sini. Melalui imaji-imaji kontemplatif yang dipetik pewarta foto Kantor Berita Antara Fanny Octavianus. Dari situ kita dapat menyimak bagaimana busuknya moral pengelola partai politik pasca Reformasi. Yang hanya menjerumuskan masyarakat pada rentetan teladan memalukan yang jauh dari sebentuk idiil bernama pendidikan politik. Media menyiarkan kasus korupsi nyaris seperti dosis minum obat. Pemeo Lord Acton yang menyitirkan tendensi kekuasaan adalah menyalahgunakannya, tetap relevan berkilau sinarnya di tanah air bahkan hingga di penghujung pemerintah yang sedang berkuasa sekarang.

Budaya korupsi dan nepotisme yang dahulu tersentral dan digarap dengan manajemen yang rapih selama 32 tahun pemerintahan Orde Baru. Kini terfriksi dalam faksi-faksi kecil yang sejatinya justru lebih tamak dan jauh lebih berbisa ketimbang pagutan ular biludak. Usia bagi para politisi muda partai berkuasa dan satelitnya tak dimatangkan untuk mewujudkan amanat Gerakan Reformasi lima belas tahun silam. Tapi seperti menguburkannya sedalam mungkin demi mengejar setoran parpol. Yang muda, yang korupsi. Begitulah barangkali pemeo mereka. Mumpung kekuasaan berada dalam genggaman gerombolannya.

Simak juga, telah berapa ratus Kamisan yang digelar masyarakat dalam suasana perkabungan panjang di pelataran Monas? Tepat di seberang halaman Medan Merdeka Utara, persemayaman resmi Presiden Republik Indonesia. Gerakan yang secara konsisten mengingatkan rezim demi rezim pasca Reformasi untuk mampu menghadirkan keadilan atas kehidupan masyarakat yang terzalimi. Sepuluh tahun kekuasaan dari periode maksimal SBY telah tiba di ujung jalan. Satu dasawarsa tampaknya akan berlalu dengan sia-sia. Tanpa sedikitpun warisan pendidikan politik yang dapat diestafetkan bagi generasi masa kini. Apalagi bagi mereka yang tak sempat merasakan gejolak gerakan Reformasi.

Tak ada yang mengemuka kecuali politik pencitraan yang sungguh semu. Politik Indonesia pasca Reformasi adalah serigala berbulu domba. Setelah masa transisi tiga presiden, mestinya sepuluh tahun terakhir ini adalah ajang lepas landas yang pas untuk mewujudkan amanat dari Gerakan Refomasi. Sebentuk gerakan moral yang berhasil menumbangkan induk semang rezim serigala. Meskipun belakangan, salah satu tokoh penting gerakan Reformasi, sekarang malah membelotkan jiwa dan raga demi kembalinya kekuasaan pewaris tahta Orde Baru dalam drama pilpres 2014 yang berlangsung sungguh mencekam. Hukum memang telah gagal ditegakkan. Sehingga keadilan merana dan membiarkan kebencian merebak sampai nanti bom itu akan meletus dan memporandakan keberagaman yang sejatinya merupakan kekuatan Indonesia.

Dalam hikayat Yunani kuno - ditanah kelahiran trio filsuf politik Socrates (469-399 SM), Plato (427-347 SM) dan Aristoteles (384-322 SM) - metamorfosis manusia menjadi serigala juga telah menjadi kisah paradoks yang kerap dikenakan kepada mereka-mereka yang menjadi generasi penerus dari dunia kegelapan. Orang-orang yang merancang kejahatan dari balik kekuasaan, harta benda dan agama. Likantrofi alias tahapan metamorfosis manusia berubah bentuk menjadi serigala telah menginspirasi dunia kreatif sehingga lahir karya sastra macam manusia serigala dan segala bentuk metamorfosis manusia hewani lainnya. Entah telah berapa banyak versi film yang telah dibuat untuk mitos wer-wuhlf, atau werewolf. Dedemit manusia jejadian yang memangsa manusia pada saat bulan purnama penuh.

Scene demi scene kebobrokan moral justru didengungkan sebagai berhala oleh parpol berkuasa. Realitas yang menghardik mimpi buruk seorang warga kota Jakarta yang kebetulan berprofesi sebagai sineas. Sutradara Lola Amaria kemudian menemukan metamorfosis itu pada ide kebobrokan politik yang diwakili oleh telinga seorang pemijat keliling bernama Naga (diperankan oleh Rifnu Wikana). Kuping yang mendengarkan begitu banyak kisah durjana di balik topeng-topeng politik yang dikenakan para pasien setianya. Lola menggandeng penulis Indra Tranggono untuk menuangkan ide itu ke dalam skenario yang diberi tajuk “Negeri Tanpa Telinga“ (NTT).

Diangkat ke layar perak sebagai film komedi hitam, NTT menggarap keberadaan politik busuk negeri antah berantah yang Komisi Pemberantasan Korupsi (KaPaK) nya kebetulan punya seragam tahanan yang juga berwarna oranye. Warna kostum seperti tahanan resmi KPK di tanah air. Dari still-movie yang diabadikan fotografer muda Sigit D. Pratama, maka kisah fiksi perihal mimpi Indonesia baru seperti menjadi nyata seperti imaji-imaji yang direkam Fanny Octavianus. Fanny dan Sigit kebetulan adalah dua fotografer yang nyaris konsisten merekam imaji Kamisan sejak kegiatan itu digelar untuk pertama kalinya. Realita dan rekaan yang berkejaran seperti bayangan yang memberkas dari program Fiksi Non Fiksi yang digarap Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) dengan sinematografi Indonesia sejak beberapa tahun belakangan ini. Kali ini kolaborasi konten NTT dan realita liputan Fanny dari lapangan realita.

Karakter dalam kisah fiktif namun terinspirasi dari fakta jurnalistik tersebut mengetengahkan segerombolan serigala yang semuanya adalah pasien dari Naga yang memainkan peran protagonis. Ada Piton (Ray Sahetapy), ketua Partai Martobat yang flamboyan, korup, gila perempuan tapi sangat berambisi jadi Presiden. Etawa (Lukman Sardi) rekan koalisinya adalah figur seorang culas, gemar berselingkuh, penjilat, tapi piawai menjajakan agama yang sekaligus digunakannya sebagai kedok yang ampuh untuk menggertak siapapun. Tentu Tikis, sang “femme-fatale“ yang diperankan dengan meyakinkan oleh Kelly Tandiono. Chita (Jenny Chang), anchor berita terkemuka dari jaringan TV 9, yang juga dipacari Piton. Chita pandai memelihara dendam membara di hatinya. Serta dokter Sangkakala (Landung Simatupang), yang gemar memainkan saksofon tenornya di sela-sela praktek. Namun karakternya disembunyikan dari pameran, mengingat porsinya akan lebih pas disaksikan di layar lebar bioskop kawasan Anda.

Seperti juga di Indonesia, maka satir dan sinisme film NTT, menegaskan bahwa pencitraan hanyalah melanggengkan kekuasaan yang Chauvinistik, sekaligus luarbiasa Maschiavelisnya. Ditambah dengan pemujaan materialistik masif dan tentu romansa-romansa selangkangan yang penuh dengan semangat hormonal. Kita sepakat dengan pendapat klasik Harold Lasswell yang menyatakan bahwa elite seperti ditakdirkan untuk memimpin kawula, “Many ruled by the few“. Namun ada saatnya rakyat yang mengajari parpol untuk berpolitik dengan elegan. Dari gapura ini, kita dapat menelisik betapa gambar statis dan gambar bergerak sesungguhnya seperti mata rantai yang berdimensi spektrum. Sekali waktu, yang bergerak menjadi diam, dan yang diam sekonyong-konyong bergerak. Untuk itulah program “Fiksi Non Fiksi” ini dipersembahkan sebagai alternatif yang kohesif.

Kekuatan visual adalah lestari. Melalui fotografi yang sensitif mampu terbangun imajinasi tanpa batas, begitu pula dengan sinema yang dibekukan dari karya-karya still-movie pada adegan demi adegan. Kita menatap optimisme pada ajang realita sosial bagaimanapun kelamnya. Dalam semangat satire, NTT menertawakan itu semua. Namun sekaligus memprovokasi perancangan visual sebagai monumen peringatan melawan lupa. Bahwa kebusukan tak boleh dibiarkan. Hentikan eksploitasi agama dan pencitraan sebagai berhala. Karena yang mendesak urgesinya adalah bagaimana hukum harus sungguh-sungguh ditegakkan. Agar gerombolan serigala dan vampir politik negeri dapat dimusnahkan setuntasnya.

Saujana perkotaan akhirnya juga menjadi bingkai untuk kembali. Dari sana, di pelataran aspal pelataran Monas nan gelap dan gersang, kita dapat berkaca pada topeng-topeng dan payung hitam yang setiap Kamis merelakan kehadiran mereka melawan lupa. Dari balik topeng-topeng bergambarkan wajah mendiang aktivis Munir, lagu Indonesia Raya sayup-sayup dikumandangkan dengan suara dan gumam yang lirih. Menyelinap dan merasuk ke halaman seberang sana. Ketika upacara mengenang detik-detik Proklamasi berlangsung dengan megah di antara tamu-tamu undangan Istana Merdeka yang mentereng. Menggugat pemerintahan yang penuh pencitraan, tapi bernyali bak benang basah. Meskipun lirih, suara itu masih ada dan akan terus berkumandang.

Tapi, adakah negeri ini masih bertelinga?

oscar motuloh
kurator

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 14/08/2014 17:25