Musik u/ Demokrasi

Di stadion utama Gelora Bung Karno. Pernah sebentuk fenomena baru datang menjelma. Saat 90 ribu-an fans berat sepakbola mendadak mengelukan timnas Garuda Muda dengan gempita. Dimana puluhan juta pemirsa lainnya dengan antusias menonton laga final melawan Harimau Malaya secara langsung pada layar kaca masing-masing. Senin malam itu, 21 November 2011, partai puncak sepakbola SEA Games tersebut segera dimainkan. Kegandrungan masif yang membuat dukungan sedepa lagi menjadi anarki. Sehari sebelumnya, loket penjualan tiket bahkan sempat dibakar para fans yang kalap karena sistem yang lelet, padahal antrean sudah keburu mengular sampai jauh keluar area stadion.

Para pengamat dan komentator sepakbola ramai berkicau mencoba memecahkan ada apa gerangan sehingga supporter kita mendadak begitu menggandrungi tim Garuda Muda dengan begitu gempitanya. Lupakanlah skor yang membuat timnas kita dan segenap fansnya merana, sebab kita kalah adu penalti usai bertarung lebih dari 120 menit. Namun yang jelas misteri rindu dendam pada tokoh idola yang dimaksud belum terjawabkan dengan meyakinkan sampai 1.060 hari kemudian.

Hari itu adalah suatu Sabtu dalam bulan suci Ramadhan, 5 Juli 2014. Siang itu adalah empat hari menjelang puncak laga pilpres 2014. Suatu kurusetra politik yang nantinya bakal berlangsung sungguh dramatis hingga di penghujung jalan. Sungguh menegangkan, sebab dua petarung seolah mewakili salah satu dari sebentuk politik hitam putih. Yang satu mewakili statusquo masa silam dan lainnya semacam envoy determinasi untuk perubahan. Inilah laga pilpres paling menegangkan sejak gerakan Reformasi yang menumbangkan kekuasaan 32 tahun Soeharto dan rezim Orde Barunya. Politik praktis Republik Indonesia ternyata memang sungguh mengecewakan setelahnya. Lembaga eksekutif dan legislatif hanya menyajikan pertunjukan tonil murahan.

Tak ada pendidikan politik yang mencerahkan rakyat. Partai-partai politik hanya menjual-beli sapi perah dan sejumlah adegan ritsleting orang dewasa. Mereka sibuk mengisi celengan babi dengan segala macam cara. Amanat Reformasi semakin jauh panggang dari api. Sejak tumbangnya Orde Baru, odyssey pemerintahan silih berganti dengan mengecewakan. Bahkan dalam sepuluh tahun kekuasaan presiden ke enam RI, SBY hanya mampu membangkitkan pencitraan sebagai panglima tapi korupsi mewabah subur. Aroma busuknya terus merebak hingga ke sekujur jiwa pemerintahan, karena sejumlah menterinya masih tertangkap KPK di ujung kekuasaannya. Kemajemukan Indonesia terancam, dibiarkan terundung ketakutan. Sementara penegakan hukum diabaikan bermuram durja.

Sekarang, gerakan mahasiswa angkatan baru seolah tak lagi punya gigi untuk turun ke jalan seperti 16 tahun silam. Padahal pilpres ke tujuh Republik ini harus disambut sebagai momentum penentuan bagi harapan akan suatu perubahan. Harapan pada penuntasan amanat Reformasi. Pilpres 2014 malah membelah negeri menjadi dua sungai yang tak bermuara ke laut. Mendukung pangeran Orde Baru yang impulsif, ekstrim dan ambisius, atau memilih mantan tukang mebel cengengesan yang sosok ndesonya seperti mewakili kawula jelata ?

Selama masa kampanye kita hanya disuguhi adegan politik yang menjijikkan. Termasuk hadirnya kampanye-kampanye hitam yang begitu rendah selera politiknya. Juga gejala kerinduan pada kepemimpinan gaya fasis tampaknya kembali digandrungi sebagian kalangan budayawan, kaum cendekia, serta generasi pemilih pemula yang buta sejarah. Mirip seperti dukungan pada kalangan serupa yang terjadi pada awal keberadaan partai Nazi tempo hari di pelataran politik Jerman. Akankah kita merelakan kepemimpinan ala Orde Baru kembali ke pentas utama sebagai pemimpin lakon?

Dan, kala partai politik kehilangan pamor dan tak lagi punya daya, maka rakyat turun kembali ke jalan dengan caranya sendiri. Mereka berbondong mendatangi Senayan. Bukan ke Gedung MPR/DPR untuk mendudukinya seperti tempo hari, melainkan menuju ke lapangan hijau stadion utama GBK. Di sana sebagian arealnya telah disulap pengarah artistik Jay Subyakto dan kawan-kawan relawan menjadi panggung megah putih berbentuk huruf T. Pada pentas Konser #Salam2Jari itu, sejarah akan segera dicatatkan dalam notasi demokrasi yang permanen.

Di sana, pada pentas rakyat yang dipadati seratusan ribu pengungjung itu, 240-an relawan lintas profesi yang dikoordinir musikus Abdee Negara, Bim-bim dan anak-anak Gang Potlot, kompak menyatakan maklumat hak politik mereka. Sebentuk manifesto politik untuk mengawal demokrasi Indonesia. Konser akbar yang digarap secara spontan itu, sekaligus berfungsi sebagai perhelatan "copy darat" bagi orang-orang kreatif sehati yang sepanjang masa kampanye berjuang dalam dunia maya. Ada sastra, karikatur, poster dan rekayasa foto digital bernada humor segar dan partisipasi kreatif varian lainnya. Pada puncaknya, semua racikan itu kemudian disajikan dalam invasi kampanye media sosial yang sangat jitu menyapa para pemilih muda. Generasi yang masih linglung menghadapi sejarah dan politik praktis buram negeri yang pluralistik ini.

Lengking musik yang membahana di GBK tak hadir dalam pengertiannya yang verbal dan harfiah. Dia menjadi suara jiwa rakyat yang kelak menitipkan roda pemerintahan bersih dan kreatif kepada figur yang dianggap mewakili keyakinan politik akan perubahan mereka tanpa pamrih dan embel-embel. Pada suara membahana dari segenap rakyat, kala bersama-sama menyanyikan Indonesia Raya yang menggetarkan. Kita percaya bahwa solidaritas politik dapat dihembuskan oleh kedasyatan musik. Konser #Salam2Jari lalu sekonyong-konyong menjelma menjadi gerakan budaya yang siap menggiring kembali politik, apabila dia tersesat.

Empat jam tengah berlalu menuju pada penghujung waktu. Jokowi barusan melambai pamit untuk bergabung dengan Jusuf Kalla mengikuti rangkaian terakhir debat capres di salah satu stasiun televisi nasional. Jika pada layar kaca kita melihat wajah optimis pada raut wajah pasangan itu, berarti mereka telah menerima energi positif yang terefleksi dari segenap hati pengunjung konser. Yang hadir dengan sukarela untuk menitipkan amanat mereka agar perubahan beroleh wujudnya yang nyata.

Waktu beranjak magrib. Konser "ngabuburit politik" itu akhirnya harus berakhir. Pada panggung megah yang berwarna putih itu, misteri 1.060 hari silam telah terkuakkan. Gerbang Istana Merdeka kini terbuka lebar mempersilahkan presiden ketujuh memulai kiprahnya. Sekaranglah saatnya Jokowi-JK membuktikan bahwa pilihan rakyat tak keliru, Mereka harus bertanggung jawab pada amanat nurani 70.997.833 suara sah (versi KPU dan MK) yang mendukungnya. Tapi rekonsiliasi juga harus segera digelar untuk melaju pada tujuan. Kekuasaan bukanlah ranah kawula rakyat, namun biarlah fenomena ini terbaca sebagai sebentuk katarsis partisipatif masyarakat yang berhasil menghadang mobilisasi otoriter yang sungguh ambisius. Seraya memberi teladan pada mesin parpol kita, bagaimana makna fundamental dari "vox Populi, vox Dei".

Karena rakyat bersatu tak bisa dikalahkan.

oscar motuloh
kurator

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 13/10/2014 14:07