Karakter Dari Tiga Jalanan

Michael Keaton adalah aktor pilihan utama sutradara Tim Burton ketika mengangkat kisah Batman (1989) ke layar lebar pada era modern untuk pertama kalinya. Ketika itu usia Keaton mencapai 38 tahun. Suatu masa kematangan seorang aktor. Keaton bukanlah aktor berwajah bintang film box-office macam Johnny Depp, Leonardo DiCaprio, apalagi Brad Pitt. Dia hanyalah aktor dengan tampang orang biasa. Tongkrongannya malah lebih mirip dengan Franz Beckenbauer, bintang sepakbola Jerman, libero terkenal tahun tujuhpuluhan.

Rasanya Tim Burton benar ketika menyerahkan casting Batman pada Keaton. Bukankah dia pilihan yang tepat? Toh lebih dari separuh scene film Batman yang akhirnya box-office itu menampilkan wajahnya yang diselimuti topeng kelelawar. Burton juga tepat karena tak memberinya peran itu pada salah satu bintang kesayangannya, Johnny Depp. Mungkin karena parasnya terlalu cakep dan pada saat itu usianya belum matang sebagai aktor.

Kala Keaton pensiun sebagai tokoh superhero ciptaan Bob Kane dari DC Comics itu, peran Batman berlangsung silih berganti. Tapi tak ada yang karakternya sesukses film yang dibintangi oleh aktor berwajah biasa-biasa saja itu. Sampai sutradara Chris Nolan memainkan teori Burton, untuk memasang bintang kurang terkenal, juga berwajah orang kebanyakan. Christian Bale ditetapkan sebagai Batman. Faktanya, Keaton dan Bale adalah dua aktor yang paling pas menjalankan karakter Batman pada masing-masing jamannya.

Fenomena superhero terus menggema. Banyak bintang terangkat karenanya. Dari Chris Reeves almarhum, Halle Berry, Scarlett Johannson, sampai "Iron Man" yang diperankan Robert Downey Jr.

Senin siang (22/2), aktor kawakan Sean Penn mengenakan setelan gelap, naik ke podium Dolby Theatre untuk mengumumkan kampiun pada puncak Anugerah Oscar alias Academy Awards yang ke-87. Nama sang pemenang tertera dalam amplop tertutup yang digapitnya. Acara paling prestisius dalam dunia sinema global yang diselengarakan Academy of Motion Pictures Arts and Sciences tersebut akhirnya menobatkan "Birdman", yang perannya dimainkan oleh Michael Keaton, di bawah arahan sutradara Meksiko, Alejandro Gonzalez Inarritu, sebagai film terbaik Oscar 2015.

"Birdman" seperti melanjutkan kisah artis seni peran lawas dalam perjuangannya melawan popularitas masa lalu dan harga diri dalam keluarga. Empat tahun silam, "The Artist" meraih film Oscar terbaik. Film drama komedi romantis Perancis arahan Michel Hazanavicius juga menyajikan tema serupa dalam setting tahun 1920-30an ketika awal dari periode film suara yang mendepak aktor terkenal periode film bisu yang menjadi sentral cerita ke periferal post-power syndrome yang berat. "The Artist" digarap dengan ide sinema yang segar namun dengan cerita yang renyah seperti popcorn.

Inarittu adalah legenda hidup sinema Meksiko yang kuat akar tradisinya. Sejak "Amores Perros", dia terus menggali kekuatan akting, karakter tokoh, plot dan aliran arus dari tak sekadar sebentuk karya sinematografi yang membunuh cerita demi memanjakan mata seraya menghilangkan logika-logika akal sehat. Innarittu adalah oase kreasi. Dia juga meraih sutradara terbaik atas skenario yang juga ditulisnya, melengkapi potensi dirinya sebagai pembela hakekat dunia perfilman dalam semangatnya yang paling mendasar.

"Birdman" adalah jalan keberanian dari sebentuk arah sinema global yang makin rentan terhadap pasar yang sewaktu-waktu mampu menumbangkan kredibilitas sinematografi. Film ini bercerita tentang pergulatan Rig Thomson (Keaton), seorang aktor yang pernah sukses memerankan karakter superhero bertopengkan rajawali perkasa. Meskipun dia sukses menyingkirkan para kandidat Oscar lainnya, namun kisah pergulatan hidup selalu mampu menghidupkan sebentuk film karena karakter para tokoh yang memerankan kreativitas karakter-karakter dengan prima.

Kata-kata berkelindan dengan baik dalam "Birdman". Sehingga dia melebur menjadi kekuatan yang menggabungnya dengan sempurna sebagai tontonan yang berjiwa. Jika Keaton menggangkasa, menatap tegaklurus horison di bawahnya, maka akan terlihat garis-garis jalan yang berkelok di gurun yang menyisakan degup perasaan dan karakter seorang penembak-runduk (sniper) seraya mengincar mangsanya. Di gurun-gurun Irak pada settingan pasca serangan menara kembar di New York, September 2001.

Sutradara gaek Clint Eastwood berhasil mengarahkan dengan baik karakter tokoh sentral Chris Kyle pada diri aktor Bradley Cooper. Buku "American Sniper: the Autobiography of the Most Lethal Sniper in US Military History (2012)" menjadi materi yang diangkat Eastwood ke layar lebar seraya membentangkannya lebar-lebar bagaimana profesi manusia sedingin Kyle (mencatatkan 255 nama korban yang terbunuh atas perintah) dalam target sekalipun adalah manusia dan ayah yang memimpin rumah tangga dengan segala permasalahannya.

Cooper di Indonesia lebih diingat karena foto-grup "selfie"-nya pada pergelaran Anugerah Oscar tahun lalu, serta rangkaian film-film action yang berbau komedi katakanlah sekuel "Hang Over", "The A Team", dan belakangan "Guardians of Galaxy". Namun sejak membintangi "Silver Linings Playbook" (2012) dan "American Hustle" (2013), namanya melejit menjadi aktor kawakan kebanggaan Hollywood karena film-filmnya juga selalu masuk kategori box-office. Dan "American Sniper" adalah puncak dari seni peran yang dia mainkan selama ini.

Jika peluru-peluru Kyle menghunjam daging hidup-daging hidup manusia di jalan-jalan kota di Timur Tengah, maka Inarittu menghantar kita menyelami dan terlibat dalam karakter para tokoh dalam suasana komedi gelap kemanusiaan pada filmnya. Ternyata berkas cahyanya juga membias pada jalan yang menuju pada suatu ruang kedap suara di Konservatori Musik Shaeffer.

Tanpa mayat bergelimpangan pada jalan-jalan di gurun, serta gambar-gambar puitis dari Emmanuel Lubezki yang mengantar "Birdman" tampil sebagai sinematografi terbaik Oscar tahun ini, "Whiplash" film indie yang dibuat oleh sutradara muda berusia 30 tahun, Damien Chazelle juga menukik dengan tajam pada persaingan Oscar kali ini. Pria berdarah Yahudi ini, dengan sempurna mengarahkan karakter utama dua tokoh pada dua aktor yang tepat. Diangkat dari sepenggal kehidupannya saat masih di SMA, Damien berhasil menghidupkan seni peran pada puncaknya.

Seperti Inarittu, Damien menuliskan cerita dan skenarionya sendiri. Dia mengajak seorang jebolan drummer Martin Teller (32 tahun) untuk memainkan karakter pengalamannya sebagai seorang anak muda yang berambisi menjadi drummer hebat bernama Andrew Nieman. Dia termotivasi dari keruntuhan ambisi ayahnya yang gagal menjadi seorang penulis terkenal. "Ayahku sesungguhnya hanyalah seorang guru SMA," kata Nieman pada tutornya, Terence Fletcher, yang kasar namun punya keinginan untuk melahirkan salah seorang muridnya dalam band sekolahan sebagai seorang jazzer sejati seperti idolanya, Charlie Parker.

Aktor kawakan Jonathan Kimble Simmons memainkan figur Fletcher yang saat diperankannya, menjadi begitu dasyat karakternya. Sehingga dengan mutlak, tampaknya, peran pendukung dalam Oscar tahun ini harus terganjarkan hanya untuknya.

Simmons, aktor kelahiran Detroit, AS, sebelumnya memerankan puluhan peran kecil dalam sejumlah film, termasuk dua box-office dari sekuel "Spiderman" yang disutradarai Sam Raimi. Namun detektif yang juga psiatris, Emil Skoda, dalam film serial televisi NBC, "Law and Order" baru menemukan tantangan akting yang sesungguhnya dalam film berlatar musik jazz, "Whiplash", yang konon dibuat hanya dengan budget 3,3 juta dolar AS.

Latar belakang musik dalam kehidupan Chazelle, Teller dan Simmons membantu film Indie yang luarbiasa ini menjadi sebentuk tontonan berkualitas di sela-sela film-film pop-corn Hollywood yang tak mendidik dan membiarkan seni bercerita, seni peran, sinematografi terbunuh oleh selera pasar yang tak lagi sanggup didiktenya.

Mereka bertiga, Eastwood, Inarittu dan Chazelle telah membuka pintu bagi para pencinta film untuk kembali menikmati tontonan sebagai cermin dari realitas kehidupan. Dari Simmons, Keaton dan Cooper, kita menatap sinematografi tak lagi layak terpinggirkan para produser plastis yang banal. Yang hanya melirik tontonan untuk mata yang verbal. Pada rambu pada jalan-jalan berkelok "Birdman", "American Sniper" dan "Whiplash" akhirnya menyatukan semuanya pada bulevar utama yang menebarkan karakter, ekspresi, kemerdekaan, cerita dan kecerdasan. Mari beranjak menerobos belantara-belantara kontinen mata, pikiran, pendengaran dan jiwa. Seperti tagline "Whiplash" yang tertera: "The road to greatness can take you to the edge."


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto: Piala Oscar (ANTARA Foto/Reuters/Phil McCarten)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 23/02/2015 17:52