REQUIEM DARI BUKIT TENGKORAK

Kabar duka itu berhembus pada Kamis Putih yang sakral (24/3). Saat itu, umat Katolik Katalunya memperingati prosesi saat-saat terakhir Kristus sebelum kematiannya di bukit tengkorak, Golgota. Pembasuhan kaki dan perjamuan terakhir menjadi salah satu rangkaian penting dalam simbol penebusan yang mengingatkan kita pada salah satu adikarya Leonardo da Vinci yang termasyur itu. Pada detik-detik itu, legenda hidup sepakbola dunia, Hendrik Johannes Cruijff, yang beken dengan nama Johan Cruyff, berpulang dalam usia 68 tahun. Situs resmi keluarga menyatakan Cruyff pergi dengan tenang di kediamannya di Barcelona, dikelilingi segenap anggota keluarga yang tabah menunggui sekaligus merelakannya, mengingat perjuangan dirinya melawan kanker paru-paru akut yang diderita dalam beberapa tahun belakangan ini.

Di Stadion de Kuip Rotterdam, pada Kamis itu, wasit yang tengah memimpin pertandingan persahabatan Feyenoord vs Sparta sontak menghentikan laga pada menit ke-14 begitu panitia pertandingan mendapat berita duka langsung dari Barcelona. Begitu juga ketika laga persahabatan timnas Belanda berlangsung pada esok harinya, tepat pada peringatan Jumat Agung, saat melawan kesebelasan Perancis di stadion Amsterdam Arena yang nota bene adalah markas besar kesebelasan Ajax. Klub kota kelahirannya, yang menemukan bakat dan membesarkan nama Cruyff. Masing-masing wasit memberi jeda untuk menghormati jasa-jasa Cruyff yang mengukir sepakbola menjadi seni, menjadikannya begitu menarik untuk ditonton dan tentu menjadi kenangan indah yang tak terlupakan.

Ibrahim Affelay, ujung tombak klub Stoke City, yang pernah bermain di Ajax dan Barcelona, melakukan selebrasi khusus saat pemain timnas Belanda itu mencetak gol penyeimbang kedudukan menjadi 2-2. Mengenakan kostum dengan nomor punggung 20, Affelay berlari mengangkat kedua telunjuknya ke langit, seolah menyapa Cruyff yang mungkin tersenyum dari balik langit sana. Tersenyum melihat anak-anak muda kedua timnas yang menganut permainan menyerang, yang bagaimanapun berakar dari filosofi dan ajaran sepakbola atraktif ala Cruyff. Meskipun Belanda kalah 2-3 akibat gol Blaise Matuidi di penghujung laga, Arena telah menjadi stadion yang tepat untuk mengenang Cruyff. Setelah gol Olivier Giroud di babak pertama, wasit menghentikan pertandingan sejenak pada menit ke 14. Angka yang mengacu kepada nomor punggung sakral Cruyff.

Seluruh penonton, pemain dan offisial berdiri menghormati jasa-jasa Cruyff dalam belantara sepakbola, sementara pada layar raksasa terlihat foto kenangan dirinya. Penonton di tribun tampaknya juga telah siap untuk melakukan selebrasi, mereka mengibarkan aneka poster, termasuk ukuran raksasa yang dikebas ratusan penonton sekaligus, memperlihatkan Cruyff dari arah belakang mengenakan kostum oranye dengan nomor punggung 14. Usai laga, pada pers Affelay mengenang bagaimana inspirasi Cruyff ikut membentuk karakternya. "Cruyff mempunyai makna besar bagiku. Kami sempat bersua beberapa kali. Dia sangat spesial dan sungguh menginspirasi. Dia selalu menyatukan pemain tanpa batasan, dia tak memandang asal-usul dan warna kulit. Dia menjadi contoh dari setiap langkahku. Tak cukup kata-kata untuk melukiskan sosok terbaik itu," kenang Affelay.

Almanak menunjukkan tanggal 30 April 1970 ketika seorang gelandang muda Ajax menggiring bola. Manuvernya selincah kijang, sementara dribling-nya sungguh mematikan. Bersama Cruyff, Ajax akhirnya berhasil menekuk lawannya, PSV Eindhoven, dengan skor 2-0. Pada hari itu, Cruyff bermain kembali setelah cedera otot yang memaksanya parkir di ruang perawatan selama beberapa pekan. Itulah pertama kalinya dia bermain dengan nomor punggung 14. Sebelum cedera, Cruyff turun ke lapangan dengan kostum bernomor 9, tetapi sejak dia cedera, nomor itu digunakan oleh Gerrie Muhren. Peraturan pada saat itu menetapkan hanya pemain inti yang diperkenankan menggunakan nomor 1 sampai 11.

Hingga detik-detik terakhirnya sebagai pemain, entah di klub maupun di timnas Oranye, Cruyff konsisten mengenakan kostum bernomor punggung 14. Konsistensi Cruyff menggunakan nomor punggung itu sejak dini, sejatinya adalah cara dia memelihara eksistensinya sebagai pemain bertalenta yang mampu mengukur potensi dirinya. KNVB, Komite Nasional Sepakbola kerajaan Belanda, tak dapat berbuat apa-apa kala dia menggunakan nomor itu. Cruyff memang fenomenal. Dia tak ingin menjadi Pele baru, Superstar Brasil yang menggunakan nomor punggung 10. Cruyff adalah Cruyff, gelandang serang maut yang cerdas dengan nomor punggung 14.

Moncernya penampilan Cruyff dan angkatan muda Ajax, meluncurkan klub itu seperti tanpa henti. Memainkan konsep "totaal voetbaal" yang sangat kreatif, Ajax menjadi juara Eropa dengan menekuk Inter Milan yang bermain sangat negatif. Total football menjadi fenomena, dan segera menjadi kesayangan penonton di seluruh jagad raya. Saat Cruyff berada di puncak karirnya, Barcelona melirik dan membelinya sebagai pemain termahal pada jamannya. Di klub kaya itu, Cruyff kembali bergabung dengan pelatih legendaris Rinus Michels, arsitek sepakbola Ajax yang memperkenalkan metode total football yang hingga detik ini menjadi penemuan canggih dalam dunia sepakbola yang begitu kompetitif.

Kala Eropa dan AS menjadi ladang sekaligus tempat lahirnya revolusi musik yang dikenal sebagai generasi bunga, maka puncak dari periode itu terjadi pada tahun 1974. Tahun di saat Jerman Barat (ketika masih terpisah dengan Jerman Timur) menjadi tuan rumah penyelenggaraan Piala Dunia. Penggila bola sedunia berharap tampilnya juara dan bintang baru, setelah dunia seolah hanya menjadi milik Brazil dan Pele yang menguasai sepakbola planet bumi sejak mereka berjaya di Swedia (1958), Chile (1962) dan Mexico City (1970). Pada 7 juli 1974, Stadion Olympia Munich kemudian tercatat sebagai lahirnya sebentuk perjalanan dari puncak petualangan renaisans sepakbola Eropa ketika kesebelasan tuan rumah bertemu tim kesayangan dunia, Belanda, pada partai final yang akhirnya melelehkan airmata penggemarnya. Setelah laga berlangsung sepanjang 90 menit, tak ada juara baru kecuali seorang bintang bernama Johan Cruyff.

Performa tim Oranye, sang kuda hitam Piala Dunia 1974, sampai ke pentas puncak sungguh mutlak dan luar biasa. Sejak babak penyisihan grup, mereka hanya kebobolan satu gol dan memasukkan 14 gol tanpa terkalahkan, termasuk membungkam juara bertahan Brazil 2-0 (Neeskens menit 50, dan Cruyff menit ke 65) pada partai semifinal yang sejatinya menjadi partai puncak kesebelasan nasional Belanda yang begitu disanjung dunia. Timnas Belanda dan kapten tim Johan Cruyff menjadi selebritas olahraga di seantero bumi. Mereka seketika dipuja bak bintang rock dan penampilan timnas Oranye saat itu seperti menjadi representasi fesyen generasi bunga yang mengidolakan mereka lebih dari penampilan timnas Jerman Barat yang cenderung konservatif dan ortodoks.

Simak saja kala kamera televisi menyorot satu-persatu para pemain Belanda saat mereka berdiri menyanyikan lagu kebangsaan tim Oranye, "Wilhelmus", menjelang partai final dimainkan. Pemain Belanda tampil modis dengan potongan rambut gondrong dan kalung, ala budaya pop yang tengah berkibar pada saat itu. Tak lupa nomor punggung yang dikenakan timnas inti yang tak lagi konvensional. Kiper Jan Jongbloed menggunakan nomor punggung 8, bek Wim Rijsbergen (17), Wim Suurbier (20), gelandang enerjik Johan Neeskens (13), Johnny Rep (16), Rob Rensenbrink (12) dan tentu sang empunya nomor 14, Cruyff.

Jack Taylor dari Inggris menjadi pengadil pada partai puncak itu. Bola digulirkan dari titik tengah. Sekonyong-konyong Cruyff telah berada di garis 16 meter gawang Sepp Maier sebelum dijatuhkan bek Jerman Barat itu. Penalti yang dilesakkan Neeskens memberi Belanda keunggulan pada menit pertama, sebelum pemain Jerman Barat sempat menyentuh bola. Gol yang terlalu cepat melenakan timnas Belanda seolah-olah mereka telah meraih trofi sepakbola paling bergengsi sejagat itu. Permainan Belanda tak lagi fokus, mereka masih terbuai dengan kemenangan telak 2-0 atas Brazil, sang juara bertahan yang mereka hajar hingga terkapar tak berdaya. Sementara timnas Jerman Barat, ibarat mesin diesel, perlahan tapi pasti menanti celah dari kepongahan pemain-pemain Belanda. Mereka kemudian mendapatkannya dari titik penalti dan gol penentu yang dicetak ujung tombak legendaries mereka, Gerd Mueller.

Setelahnya, kutukan arogansi Belanda seperti menyertai partai-partai final yang mereka mainkan. Di Buenos Aires pada 1978, timnas Oranye kembali mencapai final dan lagi-lagi gagal karena dihancurkan Mario Kempes cs 1-3 melalui perpanjangan waktu dalam partai yang sungguh dramatis. Final itu tak disertai kehadiran Cruyff yang menolak ikut timnas meskipun dia berperan besar dalam partai kualifikasi yang memasukkan Belanda ke Piala Dunia 1978. Belakangan Cruyff mengungkapkan bahwa dia enggan berangkat karena keluarganya mendapat ancaman, menyusul kritik dia atas keberadaan rezim militer tangan besi yang berkuasa di Argentina.

Cruyff adalah figur jenius yang kontroversial. Dia adalah atlet sepakbola yang fasih berbicara dalam lima bahasam, mencintai sastra dan musik. Ketika tim Belanda bertanding di Piala Dunia Jerman Barat, seluruh pemain taat pada ketentuan yang mengharuskan mereka menggunakan kostum produk Adidas, kecuali Cruyff yang menolak karena secara pribadi dia menggunakan produk Puma. KNVB akhirnya berhasil membujuk Cruyff untuk tetap menggunakan produk Adidas, tapi pihak Adidas harus mencabut satu dari tiga strip brand mereka pada kostum yang dikenakan Cruyff dalam partai-partai yang dimainkan timnas Belanda. Belakangan, tim Adidas membujuk untuk membuatkan Cruyff kostum dengan rancangan khusus. Dia kembali menolak dan mengatakan dua strip cukup, karena itu adalah miliknya.

Pada tahun 1988 Cruyff kembali ke Barcelona sebagai pelatih. Dia membawa pemain seperti Pep Guardiola, Jose Mari Bakero, Trixi Begiristain, Andoni Goikoetxea, Ronald Koeman, Michael Laudrup, Romario, Gheorghe Hagi dan Hristo Stoichov. Itulah inti dari tim impian versi Cruyff yang merajai La Liga empat kali (1991-1994), meraih UEFA Cup Winners' Cup (sekarang Liga Eropa) pada 1989 dan tiga tahun kemudian meraih Piala Champions dengan mengalahkan Sampdoria pada partai final di Wembley dengan gol tunggal yang dibuat Ronald Koeman dari tendangan bebas di luar kotak penalti klub Italia itu.

Keberadaannya di Barcelona tak sekadar meraih trofi demi trofi. Dia sangat antusias membentuk tim yunior demi keberlanjutan tim senior yang selalu membutuhkan bakat baru. La Masia, akademi sepakbola Barcelona, telah kita kenal menghasilkan figur semacam Lionel Messi, Andres Iniesta, Xavi Hernandes, Gerard Pique, Sergio Busquets dan penjaga gawang Victor Valdez. Mereka adalah aset berharga yang ditempa oleh pendidikan yang dibangun dengan meniru akademi sepakbola Ajax.

Pola menyerang 4-3-3 yang agresif dilanjutkan Cruyff di era kepemimpinannya di Barcelona setelah Rinus Michels pensiun dari tim Katalunya tersebut. Gaya operan pendek ala Barcelona yang kita kenal sebagai tiki-taka itu berakar dari style yang diterapkan Cruyff pada tim Barcelona, yang kemudian diadopsi oleh timnas Spanyol, juara Piala Dunia 2010 di Afrika Selatan setelah menekuk timnas Oranye Belanda.

Seperti pelatih legendaris Argentina 1978, Cezar Luis Menotti, Cruyff adalah perokok berat. Kecanduan itulah yang membuatnya menderita di kemudian hari. Kanker paru paru yang akhirnya merengut nyawanya, berawal dari kebiasaan buruknya mengkonsumsi rokok. Kepergian Cruyff jelas memberi banyak pengaruh secara psikis atas kesebelasan Barcelona yang oleh dirinya dicekoki label "bukan sekadar klub" yang hingga saat ini digunakan dengan bangga oleh Barcelona sebagai representasi bangsa Katalunya. Sejak pensiun dari lapangan hijau, baik sebagai pemain dan pelatih, juga sebagai anggota kehormatan tim besar yang dikagumi dunia, Cruyff terus mengamati tim Blaugrana dan memberinya masukan-masukan yang konstruktif.

Cruyff mangkat saat induk sepakbola dunia mulai digerogoti kasus korupsi yang amat memalukan. Kasus yang menumbangkan Presiden FIFA Sepp Blatter dan Presiden UEFA Michel Platini, mantan legenda Perancis yang ironisnya sangat mengagumi atraksi Cruyff. Beruntunglah dunia masih memiliki Barcelona, kesebelasan yang teguh memainkan filosofi Cruyff dan mentornya, Rinus Michels. Dua tokoh Belanda yang memberi warna meriah tak hanya pada Barca, namun juga pada industri sepakbola global. Peringatan paskah tahun ini pasti berbeda, karena mesias sepakbola itu tengah melempar langkah menyusul Rinus, sang mentor yang telah pergi terlebih dahulu. Mati satu tumbuh seribu. Sekarang ada Lionel Messi, sang mesias sepakbola angkatan baru, yang wajib melanjutkan amanatnya yang terkenal itu.

"In my teams, the goalie is the first attacker, and the striker the first defender."
--Johan Cruyff


oscar motuloh
penikmat sepakbola indah

Foto: Legenda sepakbola Belanda Johan Cruyff memberi instruksi dalam pertandingan persahabatan di London, 22 Juli 2006 (REUTERS/Toby Melville)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 27/03/2016 01:16