KISAH GEE-GEE SANG PENAKLUK DUNIA

Sekitar 15 ribu pelayat ditaksir akan menghadiri upacara pemakaman Muhammad Ali, salah satu atlet – jika tak ingin menyebutnya terbesar - sepanjang sejarah dunia olahraga yang dimiliki planet bumi. Menurut CBS News, stasiun televisi yang memiliki hak siar programa tayangan prosesi pemakaman itu, siaran langsung akan dapat disaksikan pada Jumat (10/6), pukul 14 waktu setempat (Sabtu dini hari WIB). Upacara pemakaman Ali yang tutup usia pekan silam dalam usia 74 tahun itu akan dilangsungkan dengan tata cara Islam, namun sesuai dengan wasiatnya, Ali ingin pemakamannya melibatkan suara antar iman.

Jenasah Ali akan disemayamkan di KFC Yum! Center, stadion basket dengan kapasitas 22.000 orang. Panitia pemakaman tokoh dunia itu menyediakan tiket gratis bagi siapapun yang mendaftar paling awal. Namun belakangan disinyalir beberapa pihak ada yang mulai memperdagangkan tiket itu secara komersial. Pihak keluarga besar Ali, melalui juru bicaranya, Bob Gunnell, sangat geram akan itikad buruk itu seraya menghimbau untuk menghentikan kegiatan tak terpuji itu, "almarhum menginginkan pemakamannya terbuka bagi siapapun, mohon tak melakukan transaksi komersial atas tiket terbatas itu".

Di Freedom Hall, Louisville, Kamis atau Jumat dinihari tadi, telah dilangsungkan salat jenasah yang dipimpin imam California Zaid Shakir. Upacara yang berlangsung khidmat tersebut dihadiri keluarga besar dan sahabat-sahabat Ali. Tampak hadir Lennox Lewis, Sugar Ray Leonard, Don King dan Jesse Jackson. Presiden Turki Tayyip Erdogan juga terlihat dalam acara tersebut. Mantan presiden AS dari Partai Demokrat dan comedian Billy Crystal akan hadir saat prosesi pemakaman sekaligus penghormatan terakhir bagi atlet dan aktivis kemanusiaan paling popular sejagat itu.

Setelah 32 tahun berjuang melawan Parkinson dan sejumlah penyakit komplikasi lain, Ali akhirnya menyerah. Petinju dan aktivis yang dicintai dunia itu wafat pada Sabtu (4/6) di RS Phoenix, Arizona. Kurang dari dua bulan sebelumnya, Ali masih tampak bersemangat saat fotografer Inggris Zenon Texeira yang diundang mengunjungi kediamannya di Phoenix, hadir untuk melakukan sesi fotografi atas dirinya. Mengenakan kemeja polo hijau gelap dengan bercak hitam kecil-kecil, Ali sempat berpose dengan gaya favoritnya, mengepalkan dua tinju ke arah kamera. Namun kita tak lagi dapat melihat sinar matanya yang jenaka, penuh vitalitas, usil dan sangat percaya diri, karena kaca hitam menutupi matanya yang tampak hampa akibat penyakit menahun yang dideritanya. Potret itu adalah imaji terakhir dari sang idola sebelum malaikat el-maut menjemputnya.

Dunia tak akan melupakan bagaimana tatapan membelalak Ali dengan mulut yang menganga lebar seraya mengucapkan jumlah ronde yang akan menaklukkan lawannya ketika timbang badan tengah berlangsung menjelang laga digelar dimanapun Ali bertanding. Pentas tinju kelas berat merasakan puncak keemasan dan kejayaannya karena Ali dan segala "ulah publikasi"-nya.

Di Jakarta dan kota-kota negara sedang berkembang, Ali adalah jaminan pertunjukan. Aktivitas di kota-kota itu seakan terhenti, karena mayoritas warga bergegas menonton layar kaca karena tak mau melewatkan Ali berlaga. Semua senang bergembira, saat Si Mulut Besar, begitu dia dijuluki, menggungguli lawannya sambil menari-nari dengan lincah. Dan segenap warga dunia juga tertunduk lesu saat Ali tumbang oleh bogem Joe Frazier, Ken Norton, Mike Sphinks, Larry Holmes dan Earnie Shavers. Pencinta Ali selalu ingin lakon "happy ending" dari setiap pentas yang dimainkannya.

Ali adalah primadona panggung kehidupan. Dia paham benar kehendak publik. Dengan gaya mumpuni, dia membuat arena ganas di ring tinju menjadi tontonan yang "nyeni" dan sangat menghibur. Sejumlah pakar setuju bahwa Ali kerap memperpanjang ronde agar penonton benar-benar puas menikmati suguhannya di panggung. Sayang, pentas Ali adalah taruhan reputasi, bukan pentas "boong-boongan" seperti yang dilakoni Dwayne Johnson alias Rock atau Hulk Hogan yang membawa mereka ke layar lebar. Akan tetapi dari pentas mereka, Ali mendapat inspirasi yang amat mewarnai sepak terjangnya kelak di ring tinju dunia.

Ketika remaja Ali kerap menyaksikan pentas gulat hiburan di kota kelahirannya, Louisville, yang pada saat itu masih penuh dengan aroma rasis yang melecehkan martabat orang-orang kulit hitam dan warga kulit berwarna. Namun dalam diri pegulat Gorgeous George, Ali sungguh-sungguh menaruh hati. Dalam buku "Muhammad Ali the First Heavyweight Champion of Rap" yang disusun oleh George Lois, sahabatnya, mantan desainer majalah Esquirer yang tersohor itu, Ali mengenang masa remajanya, "gila...saya melihat 15.000 orang berbondong datang menonton bagaimana aksi Gorgeous menghabisi lawannya lengkap dengan celotehan yang sungguh mantap. Saya lalu berpikir 'penampilannya adalah ide yang sungguh cemerlang!'".

Kecerdasan dan bakat alam membuat Ali mampu membangun karakternya tak hanya sebagai petinju komplit yang paling hebat seantero jagat, tapi juga sikapnya yang tegas terhadap suatu ketidak-adilan. Dunia masih ingat kala Ali lebih memilih masuk penjara ketimbang harus ikut wamil dan berangkat ke Vietnam bertempur melawan orang-orang Vietcong yang tak membencinya. Statusnya sebagai juara dunia dicopot oleh Komite Tinju Nasional AS ketika itu. Ali bergeming, dia telah memutuskan pilihan. Keputusan yang sama dengan generasi muda AS yang ingin perang Vietnam segera diakhiri dan militer AS harus segera ditarik mundur.

Ali adalah tokoh yang dibutuhkan dunia ketika pemerintah AS kelu atas kritik dunia internasional yang menggugatnya untuk tak mengintervensi Vietnam. Sementara itu, Ali yang baru berusia 22 tahun, telah siap menjadi penantang juara dunia kelas berat WBA/WBC yang amat ditakuti, Sonny Liston. Laga seru itu digelar di Convention Hall, Miami Beach Florida pada 25 Februari 1964. Liston yang diunggulkan mempertahankan mahkotanya, tak terduga tumbang secara mengejutkan dengan TKO pada ronde ketujuh. Ali meluapkan karakternya pada malam itu pada dunia. Dunia menyambut sang juara baru, tokoh hingar bingar yang selalu menjadi headline surat kabar. Sejak saat itu Ali menyebut dirinya, "The Greatest", yang terbesar, dan kelak itu terbukti benar adanya.

Ali memang berjodoh dengan Angelo Dundee, pelatih yang turut menghantarnya ke puncak dunia, dengan segala suka dukanya. Pelatih besar itu mengenang suatu percakapan telepon dari lobi hotel Louisville yang dilakukan oleh seorang anak muda yang terdengar tengil dengan dirinya di dalam kamar suite hotelnya. Suara Ali terdengar dari lobi, "Nama saya Cassius Marcellus Clay, Jr. Saya telah memenangi 6 turnamen Golden Gloves di Kentucky. Saya memenangi turnamen para juara di Chicago. Saya menjuarai National Golden Gloves, dan saya akan meraih medali emas pada Olimpiade Roma nanti".

Di kamar, Dundee tengah bersama petinjunya Willie Pastrano. Kata Dundee kepada Pastrano, "Willie, ada seekor kacang di bawah ingin bicara dengan saya". Willie menjawab, "Yah acara TV juga jelek-jelek nih, mending suruh dia naik". Dan itu adalah awal Ali berjumpa Dundee, dan sejak itu angin selalu menghembuskan kemenangan kepada strategi mereka berdua. Sampai jaman keemasan itu berakhir dan Ali memaksakan bertarung melawan anak muda bernama Ernie Shavers dan kalah telak di panggung yang telah penat menatapnya.

Ali adalah merk dagang yang amat menjual, dia adalah media darling-nya pers dunia. Bahkan untuk tiket pentas yang paling buruk, termasuk saat melawan pegulat Jepang, Antonio Inoki, tiket dan hak siar televisi laga tetap laris manis dan disaksikan luas melalui televisi secara langsung oleh penggemarnya di seantero jagat dengan riang gembira, asal Ali jangan sampai kalah. Jika ingin jujur, panggung tinju kelas berat tak akan pernah lagi semeriah dan semenarik saat Ali aktif di dalamnya. Bahkan – dengan segala hormat - oleh dua orang Mike Tyson, plus dua sosok Evander Holyfield sekaligus, apalagi hanya dengan penampilan Klitscho bersaudara.

Mari kita putar ulang waktu ke 62 tahun silam, tepatnya tahun 1954 di Louisville. Kala itu Ali masih bernama Cassius Clay dan baru berusia 12 tahun. Dia meradang akibat sepeda Schwinn "Flying Star" berwarna merah-putih kesayangannya lenyap digondol alap-alap yang marak di lingkungan tempat tinggalnya di kawasan ghetto warga kulit hitam Kentucky. Ali melapor ke polsek setempat sambil bergumam, "Akan saya sumpal mulut siapapun yang berani mencuri sepeda saya". Petugas polisi ketika itu bernama Joe Martin, yang dalam waktu senggangnya suka melatih tinju anak-anak muda di kawasan melihat bakat dan sinar mata Ali. Lalu sang polisi menantang, "jika kamu ingin menyumpal mulut maling sepedamu, kamu harus melatih dirimu untuk berkelahi".

Di bawah pengawasan Martin, enam bulan kemudian, Ali telah siap berlaga untuk pertama kalinya sesuai kelompok umurnya. Dalam debutnya, Ali menang angka dalam laga tiga ronde. Sejak itu Ali yakin bahwa tinju adalah masa depannya. Selain persoalan teknis dan printilan dunia tinju, politik, dan paradoks segregasi yang melekat pada diri warga kulit hitam, motivasi yang lebih kental menyertai keputusannya. Sejak berusia 13, dia selalu ketakutan setiap kali mengingat foto menyeramkan dari jasad seorang remaja kulit hitam bernama Emmett Till yang sebaya dengannya, dibantai dan dibakar massa di Missisippi hanya gara-gara menyuit seorang perempuan kulit putih.

Ali terlahirkan sebagai Cassius Clay Jr, nama yang menurutnya mencitrakan perbudakan dan kelak diubahnya menjadi Muhammad Ali ketika memeluk Islam saat dewasa. Pada saat Ali dilahirkan, suara yang keluar dari mulut yang kelak menjadi ciri khasnya itu adalah, "gee-gee, gee-gee". Menurut sang ibu, Odessa Clay, dari suara itu dia memanggil Ali dengan "Gee-gee", panggilan yang terus digunakannya sampai hari wafatnya, 20 Agustus 1994. Ali remaja yang banyak akal lalu mengkaitkan panggilan ibunya itu identik dengan Golden Gloves, turnamen domestic bergengsi yang kemudian hari dirajainya.

Ketika masih bayi, secara tak sengaja Gee-gee sempat menggerakkan tangannya dan mengenai dagu ibunda yang mengakibatkan dua gigi Odessa rontok. Sejak remaja Gee-gee gemar berolahraga, kecuali renang. Saat remaja Ali selalu minta saudaranya Rudy untuk melemparinya dengan batu. Pertama Rudy heran, lama kelamaan dia paham bahwa dari lemparan itu Ali melatih keseimbangannya untuk menghindar. Apalagi tak ada satupun batu yang mengenai tubuhnya hingga bertahun-tahun. Tubuh Ali berkembang atletis ditunjang dengan wajah yang ganteng. Lois mengomentari Ali mirip seperti David, patung terkenal ciptaan Michelangelo. Black David.

Ada scene lain yang menarik dari masa lalu Gee-gee seperti yang dikisahkannya pada Lois, "Idola saya sejatinya adalah Sugar Ray Robinson, saya sangat ingin seperti dia. Menjelang keberangkatan kontingen AS untuk berlaga di Olimpiade Roma 1960, saya menyempatkan waktu untuk mendatangi klub Sugar Ray dengan tujuan menyampaikan rasa kagum padanya sekaligus keinginan saya untuk menjadi juara dunia seperti dirinya. Usia saya 21 ketika itu. Saya berjalan kaki sepanjang Fifth Avenue sampai ke 125th street. Setibanya di sana saya menunggu sepanjang hari di luar. Saya siap menunggu hingga seminggu sekalipun. Akhirnya dia muncul juga pada pukul 10, saya sangat gembira karena dapat melihatnya untuk pertama kali sepanjang hidup saya. Mulut saya terkunci. Saya mengiringi langkahnya dan mengatakan betapa jauh saya datang hanya untuk berjumpa dengan pahlawan hati saya. Tanpa menoleh sedikitpun dia hanya berkata, 'Anak muda, nanti saja. Saya sangat sibuk saat ini.' Saya hanya dapat terpana, melepasnya berjalan menjauhi saya, tanpa melihat lawan bicaranya sedikitpun juga. Sejak saat itu saya bersumpah untuk tak boleh pernah mengecewakan penggemar saya".

Sejak 10 tahun silam, kala kesehatannya terus merosot, Ali mulai mengumpulkan keluarga dan dengan terbuka membicarakan perihal pemakamannya kelak. Melalui jubir keluarga Bob Gunnell, terungkap keinginan Ali untuk menyelenggarakan pemakaman seterbuka mungkin bagi orang-orang yang mencintainya. Dia tak ingin prosesi pemakaman terbatas hanya bagi keluarga, sahabat dekat dan tamu-tamu VIP lainnya. Tadinya pihak keluarga menyiapkan Muhammad Ali Center sebagai tempat persemayaman jenasah tokoh yang dicintai dunia itu, namun janda Ali, Lonnie, kuatir tempat itu terlalu kecil sehingga memutuskan untuk menggunakan KFC Yum! Center yang terletak di pusat kota Louisville sebagai lokasi persemayaman terakhir sebelum di makamkan di Cave Hill Cemetery, pemakaman tua bersejarah nan eksklusif yang indah dan hening di Louisville, Kentucky.

"Keluarga sudah memilih titik ini. Mereka sebelumnya berkeliling makam dan melihat di mana Ali akan dimakamkan. Ini tempat yang sangat damai, di mana keluarganya dapat membaringkannya dengan tenang untuk memberikan penghormatan di tahun-tahun mendatang," ujar seorang pekerja pemakaman seperti yang diutarakannya pada Mirror.co.uk.

Cave Hill Cemetery dibangun pada awal abad 19. Komplek pemakaman nasional seluas 120 hektar ini juga melingkupi makam para pahlawan. Beberapa orang terkenal yang dimakamkan di sini, termasuk adalah George Rogers Clark, pendiri kota Louisville yang wafat 200 tahun lalu, dan juga Colonel Sanders, pendiri restoran ayam waralaba Kentucky Fried Chicken yang wafat pada tahun 1980.

Ali sempat mengenang, Martin Luther King adalah pemimpin kulit hitam pertama yang mengiriminya ucapan selamat setelah dia meraih juara dunia kelas berat. "Hanya dia, tak ada yang lain". Pada batu nisan Ali, tengah diukir salah satu kutipan aktivis kemanusiaan dan pemimpin pergerakan hak sipil untuk warga Afro-Amerika yang menjadi idola Ali sejak awal karirnya. Kutipan Luther King yang dikehendaki Ali untuk dipahatkan pada nisannya adalah kutipan King yang kurang dikenal publik.

I tried to love somebody
I did try to feed the hungry
I did try, in my life, to clothe those who were naked
I want you to say that I tried to love and serve humanity


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto: Mendiang Muhammad Ali (kiri) berpose dengan pesepakbola David Beckham untuk pemotretan selama berlangsungnya Beyond Sport Summit di London, 24 Juli 2014. (REUTERS/Action Images for Beyond Sport/John Marsh/Pool)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 10/06/2016 19:37