Kisah Rempah Berdarah Dari Banda

Aroma dan cita rasa rempah Nusantara telah mengundang bangsa-bangsa di dunia untuk mengecapnya. Banyak guratan sejarah lahir dari perburuan rempah-rempah itu. Pada abad pertengahan, Kepulauan Banda menjadi rebutan karena menjadi satu-satunya tempat tumbuh pohon pala (Myristica fragrans). Biji buah pala yang dijadikan rempah konon harganya bersaing dengan logam mulia emas. Imperium besar di Eropa, Spanyol, Portugis, Inggris dan Belanda, berlomba menguasai Banda dan penduduk kepulauan itulah yang menjadi korbannya.

Repihan memori atas sejarah kelam imperialisme bangsa Eropa abad 17 di Kepulauan Banda berusaha dirangkai kembali oleh Jay Subyakto dalam film "Banda the Dark Forgotten Trail". Film berdurasi 94 menit ini mengajak kita memahami asal mula terbentuknya Nusantara, serta perlawanan terhadap kolonialisme Belanda, hingga lahirnya sebuah bangsa bernama Indonesia. Sebuah upaya rekonstruksi visual dari realitas masa lalu yang pantas diapresiasi.

Bagai Belanda minta tanah, diberi sehasta minta sedepa. Pemeo melayu itu sangat pas untuk menggambarkan sifat rakus dan ngelunjak pemerintah kolonial. Istilah "kompeni" untuk menyebut sedadu Belanda pun telah dibakukan dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia). Terbayangkan bagaimana sepak terjang kongsi dagang Hindia Belanda, VOC (Vereenigde Oost-Indische Compagnie), saat beroperasi di bumi Nusantara, lantas tertancap dalam ingatan bangsa, dibakukan dan menjadi kata yang lazim.

"Sangat penting Banda Neira buat bangsa kita, karena di sini lahir banyak pemikiran, lahir banyak kepedihan, lahir banyak semangat, dan lahir banyak ironi yang terjadi sampai hari ini," tutur Jay, sang sutradara.

Fragmen pembantaian orang-orang Banda, lantaran menolak keras monopoli dagang komoditi rempah pala, tersaji dalam film itu. Sesosok bayangan hitam bergaya rambut chonmage menebaskan katana, terarah pada tiga bayangan hitam lain yang bersimpuh dengan tangan terikat ke belakang. Tembok lusuh Benteng Nassau di Pulau Banda Neira, seakan menjadi kelir saat diterangi api blencong yang temaram dihembus angin.

Awan pekat menyelimuti langit Banda malam itu. 8 Mei 1621 menjadi hari nahas bagi 44 Orang Kaya Banda. Enam Ronin Jepang (samurai bayaran, tanpa tuan) diperintahkan masuk, memenggal kepala delapan Orang Kaya, membelah badannya jadi empat, dipancung dengan bambu, lalu memenggal sisanya yang masih hidup. Waktu itu beredar mitos bahwa rakyat Banda adalah orang sakti, untuk membunuhnya harus dimutilasi. Jacobus Anne Van Der Chijs menceritakan ulang kejadian itu dalam laporannya yang ditulis 50 tahun setelah VOC bubar.

Pembantaian pemuka masyarakat Banda dipimpin oleh Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-empat (1619-1623), Jan Pieterszoon Coen (berumur sekitar 32 tahun saat itu). Coen yang dijuluki “Mur Jangkung” makin pede melancarkan aksi kejinya karena didukung oleh komisaris VOC, Heeren XVII (1615). Ia menganggap rakyat Banda sebagai pemberontak karena enggan menjual rempah pala dengan harga murah kepada Belanda. Ditambah lagi, Coen masih "baper" saat bosnya, Laksamana Pieterzoon Verhoeven (Komandan Armada Belanda), dijebak dan dibunuh orang Banda pada tahun 1608.

Dari 14.000 orang warga Kepulauan Banda, pasca pembantaian di tahun 1621, jumlah penduduk asli tinggal 480 orang saja. "Jan Pieterszoon Coen menulis sejarah dirinya dengan darah orang-orang Banda," ungkap sejarawan Dr. H Usman Thalib. Hegemoni VOC telah dipertontonkan di depan orang rakyat Banda yang tersisa. Nafsu untuk berkuasa telah menumpahkan darah.

Daya tarik Banda di gugusan kepulauan Maluku sebagai pusat penghasil rempah, pernah membuat panas persaingan imperium besar Eropa. Saking ngebet-nya berkuasa, Belanda rela menukar daerah koloninya yaitu pulau Nieuw Amsterdam (Manhattan, New York AS) dengan pulau Rhun sebagai penghasil utama biji pala di Banda. Pulau Rhun yang sebelumnya milik Inggris, diserahkan kepada Belanda dengan perjanjian Breda pada tahun 1667.

Eksotika alam dan kisah Banda menjadi magnet bagi orang-orang untuk mengkajinya, melukiskan kembali, hingga “mempersoalkan realitas” yang terjadi di sana. “Mempersoalkan” berarti mempertanyakan kembali suatu makna atau peristiwa, di dalamnya terdapat unsur dialektika. Sedangkan “realitas” merujuk pada kenyataan atau pengalaman hidup manusia (Budi Hardiman, 2003). Realitas itu bukan sekedar sebuah “potret”, statis. Melainkan juga “film”, yang bermakna dinamis, bergerak, mengalir, atau singkatnya, selalu dalam “proses menjadi”.

Di zaman imperialisme Eropa abad 16, komoditas rempah-rempah terutama pala, lada, cengkih dan kayu manis, sudah lama dikenal kaum ningrat di sana. Rempah dibawa ke pusat perdagangan Venesia di wilayah Mediterania, melalui saudagar India, Arab, China dan Persia. Mereka membawa rempah-rempah itu dalam kafilah atau ekspedisi darat.

Rempah dibawa bersama komoditas lain yaitu sutra, gading dan emas; yang hanya bisa dimiliki raja-raja dan kaum bangsawan. Pedagang India, Arab dan China menganggap pasar di Eropa sangat menguntungkan. Rempah pala masa itu, bak gadis perawan desa yang cantik, semlohai, wangi, polos, hangat, lemah lembut namun tangguh dan tentunya...“seksi”. Saking seksinya, pedagang India, Arab dan China menutupi informasi lokasi penghasil pala dari orang-orang Eropa dengan cerita-cerita mistis nan fantastis seperti mitos monster penjaga pulau. Eksotisme itu juga ditafsirkan dalam film Banda, saat seorang perempuan mengenakan tenun ikat, berdiri di pantai dengan tekstur karang landai berombak tenang, menatap jauh ke depan menghadap Gunung Api Banda yang berdiri kokoh.

Di kalangan raja-raja dan penguasa, pala tidak cuma sekedar penambah citarasa masakan, wewangian, obat, serta bahan pengawet makanan, tapi juga simbol keningratan di Eropa. Sebagian besar wilayah Eropa beriklim sedang hingga dingin, menjadikan permintaan terhadap rempah sangat tinggi. Selain bisa mengawetkan daging, pala juga membuat rasanya menjadi lebih enak dan harum. Kaum ningrat Eropa mulai kelabakan pasca ditutupnya jalur perdagangan darat saat kekhalifahan Utsmani berhasil merebut kota Konstantinopel (Istanbul-Turki) pada 29 Mei 1453. Akibatnya, suplai rempah ke Eropa mulai seret. Bisa dibayangkan bagaimana rempong-nya keluarga kerajaan menghadapi musim dingin tanpa pasokan pala.

Era penjelajahan Eropa pun dimulai. Diawali oleh Bartholomeu Dias (Agustus 1487) yang merintis jalur pelayaran dari Portugis hingga Tanjung Harapan (Cape of Good Hope) di ujung selatan Afrika. Disusul Vasco da Gama (1497-1498) yang berhasil tiba di India. Penjelajah kelahiran Italia, Christopher Columbus (1492–1504) dengan sponsor Ratu Isabella I, juga berlayar mencari rempah di dunia Timur. Sampailah Columbus bersama penyelidik Amerigo Vespucci di Pulau Guanahani yang terletak di Kepulauan Bahama, Karibia. Ia merasa telah sampai di Kepulauan Hindia Timur yang merupakan sumber rempah-rempah, dan menamai penduduk asli di kawasan itu sebagai Indian.

Portugis yang berhasil menambatkan kapalnya di kepulauan Nusantara merupakan titik awal dominasi perdagangan rempah selama abad-16. Belanda yang saat itu berseteru dengan Portugis tentu tidak mau kalah. Penjelajah Jan Huyghen van Linschoten dan Cornelis de Houtman yang dimodali saudagar-saudagar Belanda menemukan "jalur rahasia" pelayaran Portugis. Sampailah pelayaran pertama Houtman ke Banten (pelabuhan utama Jawa 1595-1597). Kencan pertama Belanda dan Nusantara tidak berlangsung mulus, ketika rombongan Houtman berulah dengan bersikap kasar, berseteru hingga membunuh penduduk lokal. Akhirnya ‘wong londo’ ini didepak oleh Sultan Banten dan kembali ke Belanda pada tahun 1597. Mulanya, saudagar Eropa datang untuk berdagang, namun mereka akhirnya menjalankan politik permukiman (kolonisasi) yang dilandasi doktrin imperialisme kuno (gold, gospel, glory).

Tahun 1603 VOC memperoleh izin di Banten untuk mendirikan kantor perwakilan dan pada 1610 Pieter Both diangkat menjadi Gubernur Jenderal VOC pertama (1610-1614). Maka dimulailah era monopoli dagang di Nusantara. Di masa itu, terjadi persaingan sengit di antara negara-negara Eropa (Portugis, Spanyol, Inggris, Perancis, Belanda), untuk memperebutkan hegemoni perdagangan di Asia Timur. Monopoli dagang VOC disuburkan dengan hak istimewa yang diberikan pemerintah Belanda (tercantum dalam Oktrooi), yaitu memelihara angkatan perang (tentara), membuat koloni, menyatakan perang terhadap suatu negara, membuat mata uang, serta memungut pajak.

Namun, tiada kejayaan abadi yang terlahir dari konflik. Scene close-up kaca jendela dengan goresan Spock, seorang pegawai VOC asal Perancis di Istana Mini Banda Neira, tak lepas dari bidikan tim departemen kamera film Banda. Goresan itu berisi curhatan Spock yang dibuat dengan menggunakan cincin. Beberapa bulan sebelum ia gantung diri pada 12 April 1832, karena depresi kerja dan kangen kampung halaman. Imperialisme dan kolonialisme telah melahirkan pelaku sekaligus korban. Hancurnya kehidupan manusia adalah hal yang tidak pernah diharapkan. Sesuatu yang membuat kehidupan manusia berhenti (mati), merupakan sesuatu yang ingin dijauhi, ditolak atau dinegasikan, dan sebisa mungkin tidak berurusan dengannya.

Rasa sakit yang diderita korban tak selamanya berbuah pahit. Rupanya ungkapan itu ditafsirkan apik dalam film Banda pada adegan seorang anak berlari menuju instalasi berbentuk kerang yang menjadi hiasan beranda salah satu bangunan di Banda. Sang anak digambarkan meringkuk di dalam cangkang kerang, bak mutiara, berpose seperti bayi dalam kandungan ibunya. Konstruksi realitas yang menggiring pemahaman kita tentang terciptanya sebutir mutiara. Ia terbentuk dari reaksi iritatif saat sebutir pasir laut masuk terbawa air laut, menggores dinding selaput dalam cangkang tiram. Ia lantas mengeluarkan zat nacre yang menjadi cikal mutiara yang padat dan berkilau. Indah sekaligus menyakitkan.

Perjalanan anak-anak dalam film Banda berlanjut pada penelusuran kanal bawah tanah. Dengan membawa suluh, mereka menerangi dinding kanal itu. Pemahaman ditarik menuju jaman purba, tatkala manusia membuat goresan di goa sebagai catatan peristiwa yang pernah dialaminya. Ketika manusia-manusia di masa depan menemukan catatan itu, mereka akan menemukan identitas dan jatidiri para pendahulunya serta kehidupan yang pernah dilalui.

Banyak catatan sejarah yang tertulis di Kepulauan Banda. Pulau Neira, salah satunya, adalah penjara sekaligus surga bagi para tahanan politik zaman Hindia Belanda pada awal abad ke-20. Sejumlah tokoh besar seperti Tjipto Mangunkusumo, Iwa Kusuma Sumantri, Sutan Sjahrir, dan Mohammad Hatta pernah diasingkan (1936-1942) di sana.

Film Banda mengisahkannya dalam kolase scene kacamata tergeletak di kusen jendela rumah pengasingan dan mesin ketik yang selalu digunakan “Om Kacamata” (Moh. Hatta) untuk menulis hasil perenungannya. Sebuah pemahaman dimana cara pandang diawali dari bingkai yang kecil untuk melihat dunia yang luas di luar sana. Dari pulau kecil itu lahir pemikiran dan gagasan besar kebangsaan. Dari rasa sepi, terasing dan rasa sakit yang sama, lahirlah konsep sebuah bangsa bernama Indonesia.

Des Alwi (1927-2010) dalam Sejarah Banda Naira mencatat, Hatta-Sjahrir secara diam-diam menyusupkan pendidikan patriotisme kepada anak-anak setempat. Mereka menjelaskan bahwa Teuku Umar dan Diponegoro adalah pahlawan yang menentang penjajah. Bukan pemberontak seperti yang dikatakan kompeni.

Hatta diceritakan pernah menyuruh seorang anak mengecat sebuah kole-kole (perahu kecil) dengan warna merah putih, yang sempat membuat kompeni berang. Belanda melarang keras segala kegiatan yang berbau nasionalisme dan semangat patriotisme. Hatta-Sjahrir tak kalah pintar dan sempat ngeles. “Meneer, kole-kole berwarna merah putih jika mengarungi lautan akan berpadu membentuk triwarna Belanda, merah-putih-biru,” ujar Oscar Motuloh, 2nd cameraman film itu, menirukan kata-kata Hatta. Sedangkan Sjahrir menebarkan semangat patriotisme dengan mengajak anak-anak naik kole-kole menyeberang ke Pulau Pisang sambil menyanyikan lagu Indonesia Raya.

Filosofi dwi-warna Merah-Putih pernah dipaparkan Soekarno dalam pidatonya di Surabaya, 24 September 1955, yang bermakna keseimbangan hidup manusia. Panji-panji merah putih sudah ada sejak kerajaan Singosari dan Majapahit. Lantas ditegaskan kembali pada 1908 dalam pergerakan organisasi Boedi Oetomo. Merah Putih sebagai bendera negara diresmikan pada saat Proklamasi Kemerdekaan Indonesia 17 Agustus 1945. Sedangkan Lagu Indonesia Raya pertama kali dikumandangkan pada 28 Oktober 1928, menjadi lagu pembakar semangat patriotisme. Lagu ini menandakan kelahiran pergerakan nasionalisme seluruh nusantara yang mendukung ide satu "Indonesia" dan penolakan atas kolonialisme bangsa Eropa.

Superioritas bangsa Eropa yang bersifat merendahkan penduduk pribumi (inlander) menjadi ingatan kolektif yang dominan di bumi Nusantara. Betapa tidak, sebagai penduduk mayoritas, pribumi selalu ditempatkan pada urutan ketiga (terakhir) dalam strata sosial setelah orang-orang Eropa dan Timur Asing (Anton Haryono, 2009). Stigma bangsa Nusantara yang selalu direndahkan, sering dikenakan ketika pribumi tidak pernah keluar dari belenggu keterbelakangan dan kemiskinan. Pada saat yang sama rakyat pribumi senantiasa dieksploitasi oleh kolaborasi penguasa-pengusaha yang rakus terhadap kekayaan Nusantara. Tidak heran jika kemudian orang-orang pribumi membuat generalisasi terhadap perilaku buruk bangsa Eropa.

Paham imperialisme berpadu politik kolonialisme merupakan fenomena agresi yang menjadi sifat dasar manusia. Agresi (dianggap) berfungsi positif bagi kehidupan komunal manusia. Manusia mempelajari bahwa yang paling berbahaya di lingkungannya adalah justru sesama manusia sendiri, sehingga muncullah kompetisi, kebencian antar kelompok. Jadi, di sini terdapat nilai-nilai kepahlawanan semu (imajiner). Segala upaya pertahanan diri dan pembelaan terhadap kelompok, terutama dengan kekerasan, dianggap sebagai penentu kelangsungan hidup kelompok tersebut.

Satu hal yang berperan terhadap dipergunakannya kekerasan adalah narsisisme (Fromm, 1973). Fenomena yang banyak ditampilkan para pemimpin politik, dan sesuatu yang juga dapat diyakini oleh kelompok. Kumpulan manusia yang mempunyai rasa keterikatan yang tinggi akan meningkatkan perilaku agresif dan kehilangan rasionalitasnya. Lantas rasa solidaritas meningkat, dibarengi rasa cinta diri yang berlebihan pula, hal ini menumpulkan penghargaan terhadap kelompok lain, terutama yang lemah.

Tidak adanya kendali atas sifat agresif terhadap diri sendiri merupakan titik kelemahan utama manusia. Seperti ungkapan Jean-Jacques Rousseau, yang pemikirannya mempengaruhi revolusi Perancis, bahwa "segala yang jahat berasal dari kelemahan..."

Yudhi Mahatma
penikmat film

Foto-foto: arsip film "Banda the Dark Forgotten Trail"

Pewarta: Yudhi Mahatma | Editor:

Disiarkan: 04/08/2017 17:34