SELAMAT DATANG DI HOTEL PARADISO

Mengambil tempat di cafe Beranda, akhir pekan silam (22/10), kawasan KH Ahmad Dahlan, Kebayoran, sudah ada senyum merekah dari penghulu, kedua mempelai, keluarga, kerabat dan segenap undangan. Sepekan sebelumnya mendung menggelayut, sejak keranda Saiful Hadi Chalid dimasukkan ke dalam ambulan, usai disalatkan di masjid Darut-Taqwa, kompleks Darul Ma’arif, milik keluarga besar KH Idham Chalid.

Prosesi itu didahului dengan Ijab Kabul di hadapan jenasah, memenuhi hasrat almarhum menyaksikan pernikahan putri tercintanya Shahira Rianti denga suami pilihan hatinya, Rama Krishna Wardhana. Rombongan segera menempuh perjalanan ke pemakaman keluarga di kawasan Cisarua, Bogor. Di sisi makam ayahanda, KH Idham Chalid dan ibunda tercinta, jenasah Saiful disemayamkan di tanah yang gembur basah, Senin (16/10), karena awan duka mencurahkan hujan pada saat pemakaman berlangsung.

Selepas Ashar, terlihat kembang dan bunga segar terhampar di tanah, di pusara dengan nisan kayu belum bernama. Aroma pewangi masih mampir di penciuman, saya menatap makam yang telah kosong dan senyap ditinggalkan satu demi satu para pelayat. Dari timbunan tanah yang tegar, dalam aroma cairan pewangi dan bunga-bunga pemakaman, saya seperti masih melihat gelak tawa dari sahabat saya yang amat mencintai pernak-pernik kehidupan yang tulus dan toleran dalam sebentuk persahabatan yang sesungguhnya.

Pagi di awal Februari itu hari terasa lebih terik dari hari-hari di musim kemarau. Mengenakan kemeja putih sebagai kamuflase menutupi blue jins belel yang setia menemani sejak di bangku kuliah, saya menumpang bus PPD no 101 (Lapangan Banteng-Blok M). Bus melambat ketika mendekati perhentian di Gedung Juang, jalan Menteng Raya 31, saya melompat turun dari kepadatan penumpangnya pada pagi hari di musim penghujan itu.

Saya berjalan santai ke arah Gedung Trisula, lokasi tujuan saya. Saya terkesiap, belum sampai ke tujuan, kok banyak banget pemuda sebaya saya yang seperti bergerombol berbaris berjalan bergegas ke arah yang sama. Semuanya memasuki ruangan yang tersedia dan segera mengambil tempat yang telah disediakan panitia tes saringan masuk calon pewarta Kantor Berita Antara. Rupanya itu lembaga misterius yang memasang iklan lowongan di koran nasional, yang mencari anak-anak muda untuk bergabung sebagai pewarta baru di institusi pers yang katanya terkemuka. Dalam sepotong iklan itu, panitia perekrutan hanya menyertakan nomor PO Box tanpa alamat dan identitas lainnya.

"Wah... under dress nih gue," pikir saya ketika melihat secara sepintas penampilan ratusan pesaing saya yang tampil dengan chic pada pagi yang sejuk, namun bagi saya rasanya semakin sumuk saja. Ada yang mengenakan kemeja batik, beberapa lainnya berkemeja rapih jali, yang bahkan masih terlihat lipatan seterikanya. Rasanya lebih dari 600 peserta yang mengikuti tes saringan tahap pertama untuk menjadi insan jurnalistik, profesi yang masih asing di mata saya. Padahal sesuai dengan iklan yang saya lihat beberapa pekan sebelumnya, cuma tersedia lowongan bagi calon 11 pewarta dan 17 penyunting saja.

Saya pasrah dan menyerahkan diri pada nasib. Nothing to lose, begitu cara saya menghibur diri. Apalagi setelah mengingat belasan panggilan lamaran pekerjaan telah saya jalani, semuanya berakhir dengan kegagalan. Bagi saya, kali ini, anggaplah ini upaya iseng-iseng berhadiah, semacam padanan dari pengertian kata nasib.

Jika dikaitkan dengan kondisi pada pagi hari itu. Bolehlah saya sedikit saja berharap, apabila semua berjalan sesuai dengan skenario keajaiban, berarti seseorang yang tersaring masuk, dia harus mampu lolos dari 6 tahap seleksi yang ketat, termasuk serangkaian tes tertulis, wawancara, psikotes dan tes kesehatan.

Meskipun agak gugup karena begitu banyak rival yang harus dihadapi, tapi saya perlahan mencoba menguasai keadaan, apalagi setelah mengetahui para pengawas tes saringan masuk hari itu ternyata santai-santai saja, meskipun awalnya mereka memasang raut muka galak saat mengatur peserta yang berebutan tempat duduk. Mereka kemudian saya kenal sebagai pak Lutfi, bu Lies dan bang Jos Mandagi (semuanya kini telah almarhum). Pak Lutfi hanya mengawasi dari kejauhan, bu Lies malah duduk manis, sibuk membaca koran dengan rokok yang setia menempel di bibir. Hanya bang Jos yang mondar mandir menyusuri lorong-lorong bangku peserta yang tampak khusuk sekaligus tegang.

Mereka sangat ramah dan fasih membantu saat kita membutuhkan penjelasan dari soal-soal yang tertera di lembar pertanyaan. Saya mulai berani menghubungkan opini bahwa rasanya profesi ini cocok dengan keseharian saya yang sembrono dalam berpakaian, trio pengawas yang bertugas hari itu sama sekali tak terganggu dengan keberadaan saya yang kumal dengan rambut gondrong acak-acakan yang sama sekali tak mengenal sisir itu.

Selintasan saya berpikir sesungguhnya benda apa yang bernama kantor berita itu. Meskipun makna pers dan dunia kewartawanan saya pahami meskipun hanya permukaannya saja. Otak saya bercampur mirip gado-gado, antara soal yang sulit, kantor berita yang misterius dan tentu hantu lowongan kerja yang bernama kegagalan.

Selagi saya termangu gara-gara beberapa soal mandeg akan jawabannya, mendadak imajinasi saya buyar oleh sebentuk aroma yang sekonyong-konyong menyebar di atmosfir sekitar saya. Beberapa peserta lain saling tolah-toleh mencoba menjejak aroma yang sangat akrab dengan masa kecil jika ibunda tengah mengusap badan kita yang terkena selesma. Siapa gerangan oknum konyol yang gene aree masih pakai minyak angin di ruangan senyap dimana seluruh pesertanya tengah bersaing untuk lolos tes dari institusi pers nasional terkemuka seperti yang tertera pada advertensi lowongan kerja tempo hari?

Akhirnya muasal dari aroma menyengat itu tertangkap mata. Peserta itu duduk persis di bangku kiri depan saya. Seorang anak muda parlente, meskipun agak gondrong. Berkemeja kotak-kotak tipis di atas warna off-white, memasang kumis tipis, tangan kanannya mengetuk-ngetukkan pena ke meja, mungkin dia juga mentok untuk menemukan jawaban dari lembar pertanyaan yang terhidang di depan hidungnya.

Tapi, nah ini dia, tangan kirinya memegang sapu tangan handuk berwarna putih yang jadi sumber persoalan. Di dekatnya tegak teronggok sebotol kecil minyak angin cap Kampak berwarna kehijauan yang rupanya dituangkan ke sapu tangan yang kemudian barangkali dihirupnya saban ada soal yang menyulitkan. Dari sana aroma yahud itu menyebar mengisi di relung cakrawala gedung Trisula yang padat oleh peserta pencari nasib dan masa depan.

Pemuda ini celingak-celinguk seperti bocah tak berdosa, seperti ge-er melihat peserta lain yang menengok ke arah dia, tentu tak disadarinya bahwa kami semua menatapnya dengan perasaan kesal. Dia senyum-senyum, menatap berputar, matanya menyipit di balik kaca mata lebar ala Bruce Lee yang dia kenakan. Wah... si tengil ini tampaknya tak paham bahwa aroma minyak angin favoritnya itu bikin kami kehilangan konsentrasi. Saya dan peserta yang duduk tepat di sebelah kanan saya, Mantik namanya, yang saya kenal di lokasi karena kami duduk bersebelahan, hanya saling menatap mencoba mafhum sambil menggeleng-gelengkan kepala secara otomatis.

Waktu habis, kertas jawaban dikumpulkan, sidang peserta boleh istirahat, meskipun masa itu tak ada larangan merokok, saya dan Mantik merokok agak di sudut ruangan. Saya melihat si pemuda minyak angin datang menghampiri kami berdua, mengulurkan tangan seraya memperkenalkan diri dengan gaya James Bond, sambil tersenyum dengan percaya diri. Saya tak begitu ingat nama yang diucapkannya. Emang gue pikirin, kata anak-anak jaman now. Tapi kami lalu terlibat pembicaraan ngalor ngidul, suasana mencair. Kami bubar ketika tes berikutnya dimulai. Sayang Mantik, pemuda pintar asal Kawanua itu, gugur dalam saringan tahap ini.

Saiful Hadi, nama pemuda minyak angin ini, baru terucap lagi saat kami ternyata lolos dari seluruh tes tertulis dan berkumpul di Wisma Antara untuk pertama kalinya. Kami terkumpul karena info tes selanjutnya hanya tertera pada papan pengumuman di gedung yang kala itu terasa megah dan urban banget. Peserta tersisa empat puluh saja. Saya masih terkesima, kok masih bisa bertahan dalam kancah ini?

Di kemudian hari saya tahu dari teman di personalia, bahwa saya adalah peserta terbodoh, alias berada di urutan paling bontot dari daftar kelulusan tes saringan masuk pewarta Kantor Berita Antara. Kami berhak mengikuti Kursus Dasar Pewarta (Susdape) angkatan V.

Kami membaca petunjuk di papan pengumuman di dekat pintu masuk ke ruang redaksi lantai 20, untuk mulai mengikuti psiko tes, wawancara dan tes kesehatan. Saya dan Saiful sempat melongokkan kepala dan terkesima melihat suasana kerja para wartawan di gedung yang amat megah ketika itu. Kami mulai akrab, apalagi Saiful meskipun kelihatan formal, tapi dia punya sense of humour yang baik, dia juga menggemari musik yang kebetulan juga saya gemari. Sayang, sebagian dari 40 peserta yang hadir hari itu, masih ada yang harus meninggalkan gelanggang, karena saringan semakin ketat.

Saiful ketika itu masih tinggal di jalan Mangunsarkoro di bilangan Menteng, dengan istri tercinta Rina Hermina, teman sekelas di jurusan hubungan internasional Universitas Jayabaya yang dinikahi Sef pada tahun 1983.

Pengumuman terakhir dipasang di papan pengumuman dekat lokasi absen ruang wartawan Antara lantai 20. Dari saringan mutakhir hanya satu orang yang kemudian mengundurkan diri, Gusparli namanya, alumnus Hukum UI, yang lebih memilih bergabung dengan kantor Kejagung yang juga tengah merekrut pegawai baru ketika itu.

Hari-hari awal peserta Susdape V berlangsung pada awal tahun 1988. Saya beserta Saiful, Nurani Ida Rosvita, Raymond Rondonuwu dan Irmanto adalah geng kongkow yang kemudian bersahabat hingga masa-masa kami mulai menjejakkan kaki untuk mulai magang sebagai calon pewarta di Wisma Antara akhir tahun 1988. Ketika itu hanya Sef, begitu kita menyapanya, yang ikut pendidikan pakai sedan Civic berwarna merah. Sementara si bangor Emon (Raymond) sesekali mengendarai mobil pikap mini milik ibunya yang sehari-hari adalah seorang florist.

Kami sering bolos dari pendidikan untuk nonton bioskop di kawasan Djakarta Teater atau El Dorado di kawasan Monas. Biasanya kami numpang kendaraan Emon. Mobil pikap itu dinamai mobil pewarta. Ita Roso yang memang tomboy dari sononya duduk di depan bersama sang supir, sementara Nday (Irmanto), Sef dan saya duduk di bak terbuka seperti monyet-monyet sirkus. Sesekali Emon sengaja menumbukkan roda mobilnya di gundukan polisi tidur, di dekat rumahnya di kawasan kali Gresik di jalan Sutan Sjahrir. Kami terlempar-lempar di belakang, sementara Emon dan Ita terkekeh-kekeh di kemudi.

Kami juga sering bertandang belajar bahasa Inggris di rumah berasitektur kolonial Saiful, sambil menikmati makan malam bikinan Rina sambil bermain dengan Irfan yang ketika itu baru berusia 2 tahun.

Waktu bergeser, persahabatan kami semakin akrab dan melebar, Eddy Supriyadi alias Ndog, OE (Ahmad Kusaeni) dan alm. Teguh Djauhari (kita sering memanggilnnya Bapet) kemudian begabung dengan geng pewarta-pewarta rusuh ini. Beruntung persahabatan itu berlangsung dengan erat hingga hari ini, meskipun Ita Roso kemudian keluar dari Antara karena menikah, dan Emon bergabung dengan RCTI sebagai produser di bagian pemberitaan.

Sef memang senang bergaul, dia pelobi yang handal, tapi sekaligus juga tempat kita ngutang jika sedang boncos. Dia juga ringan tangan untuk mengantarkan kita-kita bepergian dengan kendaraan matic kesayangannya. Kami beruntung semasa pendidikan, Antara menjadi tuan rumah konperensi OANA (Kantor Berita Asia Pasifik) di kawasan Ancol dan NANAP (Kantor Berita Anggota Non Blok) di Hotel Indonesia.

Sef dan Edut alias Edi Utama jadi bintang ketika itu, karena mereka berdua yang terpilih menjadi ajudan presiden OANA (Edut) dan sekjen OANA (Sef), yang kebetulan adalah pemimpin umum Kantor Berita ANTARA, Handjojo Nitimihardjo. Dalam seloroh, kita sering meledek bahwa kelak Sef akan duduk di tampuk tertinggi Antara. Sef hanya tertawa, termasuk saat dia kemudian menjadi dirut beneran pada tahun 23 Oktober 2012 menggantikan Ahmad Mukhlis Yusuf yang telah habis masa baktinya.

Semasa Sef menjadi dirut saya mulai memasang jarak untuk tak terlalu mengganggunya dalam bertuga. Sejak itu hubungan kami juga menjadi terbatas di samping juga faktor jarak antara kantor pusat dan Antara Pasar Baru. Belakangan Sef, tak lagi mampu mengontrol selera makan yang membuatnya begitu tambun hingga melampaui berat 113 kg.

Dalam pertahanan tubuh yang rentan, Sef kemudian mulai mengeluhkan kesehatannya. Selepas jabatannya sebagai direktur utama Antara pada tahun 2016, Sef sadar untuk mulai menjaga kesehatannya. Namun terlambat, ginjalnya tak lagi berfungsi, sehingga dia mulai menjalani proses cuci darah yang amat membelenggunya dari keinginannya untuk menikmati kegemarannya bepergian menikmati alam ciptaan Sang Khalik dan negeri-negeri yang dicintainya.

Saya dan Hermanus Prihatna, Kepala Divisi Pemberitaan Foto Antara, sempat merencanakan liburan bertiga ke Penang. Kebetulan di kawasan itu tersedia rumah sakit rujukan untuk melakukan cuci darah dan sifat darurat lainnya.

Suatu hari Sef sempat mampir di Pasar Baru. Wajahnya agak pucat. Di tengah hari yang terik, dia minta diantarkan ke toko musik Wijaya untuk membeli drum mini merk Suzuki yang bakal dia berikan kepada cucunya tercinta. Saya dan Hermanus menemaninya, termasuk memenuhi keinginannya untuk menikmati soto Betawi kegemarannya di gang becek di samping Pasar Atom di ujung kawasan Pasar Baru.

Dalam perjalanan kembali ke Galeri Antara, Sef dengan terengah minta istirahat sejenak di dekat toko Levis, yang terletak di depan toko musik Wijaya tadi. Wajahnya agak pucat, dia melap keringat deras membasahi keningnya. Beberapa saat kemudian dia berkata, “Car, gua tak lagi sanggup melakukan rencana kita pergi ke Penang. Kondisi gua ternyata tak seperti yang gua duga.” Dengan tertatih kami sampai di tujuan. Sef segera duduk selonjoran, minum sedikit air putih. Sekitar 15 menit kemudian, raut wajhnya kembali terlihat cerah, dia pamit kembali ke rumah bersama Pono, pengemudi pribadinya, seraya membawa perangkat drums mini buat cucu tersayangnya.

Saya belum sempat menemuinya kembali, sampai suatu ketika di penghujung bulan September 2017, saya mendapat kabar yang memprihatinkan: Sef masuk ICU. Ketika itu saya tengah mengambil cuti melakukan perjalanan ke propinsi Upper Mustang, Nepal, yang letaknya berbatasan dengan Tibet. Saya melihat foto Sef terbaring tak berdaya di rumah sakit. Saya hanya dapat tertegun lesu, apalagi kemudian ada kabar yang menyatakan bahwa intensitas cuci darah Sef meningkat, dari dua kali menjadi tiga kali dalam seminggu.

Sebagai sahabat saya optimis Sef pasti akan sembuh, namun secara medis saya mahfum bahwa kondisi Sef sudah masuk dalam kategori SOS. Sef konon kehilangan berat badan lebih dari 25 kilogram. Saya menyempatkan waktu membelikan dia oleh-oleh berupa t-shirt dan minyak wangi khas orang-orang Nepal, Patcholi, yang juga manjur sebagai cairan urut, di kawasan Thamel, Kathmandu, sebelum perjalanan kembali ke Jakarta. Saya tersenyum miris menimbang ukuran t-shirt yang saya bawakan untuk Sef. Kali ini cukup ukuran XL, tak lagi perlu ukuran triple XL seperti biasanya.

Rina, OE, Hermanus dan sahabat lain menghubungi saya menyampaikan info perihal kondisi medis terakhir Sef. Setibanya di Jakarta, saya bergegas menemui Hermanus dan bersama-sama berangkat menjenguk Sef yang ternyata sudah boleh kembali ke rumah. Di ruang tidurnya di lantai dua kompleks keluarga, jalan RS Fatmawati no. 45 J, Darul Ma’rif, saya melihat dirinya terbaring di samping Rina yang setia menemani.

Kami saling melempar senyum. Namun sorot matanya tak lagi secerah saat kami berseloroh perihal macam-macam kisah dan banyolan di sekitar kita. Kami bisa menertawakan apa saja, apalagi tentang kebodohan dan kekonyolan diri sendiri. Siang itu saya melihat ada gitar akustik di lantai bawah dekat bekas kamarnya Irfan. Saya mencoba menyetem dan membawanya ke lantai atas.

Saya dan Hermanus duduk di samping Sef yang mengenakan t-shirt kelabu bertuliskan Timberland XXL. Dia lalu mencoba duduk bersandar di ranjang pesakitannya. Permintaan maaf dia nyatakan berulang-ulang, tapi sekali-sekali matanya menunjukkan sinar jenaka dan kami bisa tertawa meskipun dilakukannya dengan tertahan.

Sef menanyakan perjalanan saya. Kami bertiga mengobrol sambil saya memetik dawai gitar sekenanya. Saat saya mulai memainkan intro satu nomor hit dari kelompok rock Amrik Eagles (komposisi Don Helder, Don Henley dan Glen Frey), mendadak raut muka Sef berubah. Matanya kembali berbinar. Saya sempat melihat Rina juga tertegun melihat perubahan Sef. Dia memperbaiki posisinya bersandar, lalu mulai mendendangkan lirik lagu yang misterius itu bait-demi bait.

Saya juga agak surprise, tapi Sef cuek. Dia terus menyanyikan "Hotel California" yang dirilis pada awal Desember 1976 dan tercatat mega hit dari kelompok itu. Saya sendiri tak hafal sepenuhnya lagu dengan lirik yang puitis dan sangat personal, menyangkut perasaan dan respons sinisme anak-anak Eagles, yang rata-rata berasal dari Midwest, perihal magnet California yang gemerlap dan menjadi impian, seperti kisah dalam film "La La Land" (2017), besutan sutradara muda Damien Chazelle.

Hermanus juga terkesima, sehingga niatnya untuk merekam adegan berhenti di ujung jarinya yang tak kuasa menekan tombol merah menandakan Rec. Bait demi bait dinyanyikan Sef secara terbata, mungkin dia mengenang saat dia SMA di Cairo tempo hari. Tanpa menyisakan kata yang tertinggal, dia menyanyikan refrain, kembali ke refrain hingga di bait terakhir yang membuat saya terenyuh sekaligus terharu.

Apakah ini suatu pertanda, dari belenggu kehidupan fana? Atau sebentuk kebebasan di balik kehidupan dalam savana keabadian sana? Seperti saat kita menatap pusara yang senyap, kala para pelayat, dalam rintik mendung yang menggantung, satu demi satu meninggalkan nisan kayu tak bernama?

Last thing I remember, I was
Running for the door
I had to find the passage back
To the place I was before
"Relax," said the night man,
"We are programmed to receive.
You can check-out any time you like,
But you can never leave!"


oscar motuloh
pewarta foto alumnus Susdape V Antara

Foto: Saiful Hadi (kiri) saat menyanyikan "Hotel California" bersama penulis.

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 24/10/2017 18:21