RONA LESTARI PAYUNG GEULIS

Hanan Sumarna (74), perajin Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Hanan Sumarna menyelesaikan pembuatan Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perajin menyelesaikan pembuatan Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perajin menganyam benang untuk membuat kerangka Payung Geulis di Taman Sari, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perajin menjahit Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Tangan perajin mecelupkan cat untuk melukis Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perajin melukis motif batik Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Perajin melukis motif Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Pertunjukan seni tari yang menggunakan Payung Geulis di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Deretan Payung Geulis terpasang menghiasi taman kota di Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.
Aah (72), perajin Payung Geulis di Panyingkiran, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat.

Tidak banyak yang tahu jika lorong sempit di sudut Kampung Panyingkiran, Kelurahan Panyingkiran, Kecamatan Indihiang, Kota Tasikmalaya, Jawa Barat adalah saksi bisu asal muasal Payung Geulis (elok atau cantik).

Di tepian Sungai Ciloseh itu, pasangan perajin Payung Geulis generasi awal, Aah (72) dan Hanan Sumarna (74) masih berkarya mencipta payung yang menjadi kerajinan khas Tasikmalaya itu.

Payung Geulis merupakan payung yang dilukis dengan motif hias geometris dengan bentuk bangunan maupun non geometris yang diambil dari bentuk alam.

Umumnya payung ini memiliki rangka bambu. Rangka itu dirangkai dan dipasang kain serta kertas sebelum dirapikan menggunakan kanji. Lalu payung setengah jadi itu dilukis dengan berbagai warna dan corak.

Payung itu pernah populer di sekitar tahun 1960 sebagai alat pelindung panas dan hujan. Aah dan Hanan adalah saksi dari masa kejayaan payung itu. Kala itu hampir seluruh penduduk di Panyingkiran berprofesi sebagai perajin payung.

Namun masa keemasan Payung Geulis tak berlangsung lama. Sejumlah sumber menyebutkan era Payung Geulis meredup karena pemerintah membuka diri untuk barang impor pada 1968.

Sementara menurut Hanan, hilangnya kepopuleran Payung Geulis terjadi pada 1963 karena serbuan payung buatan Jepang.

Hanan mengingat bahwa tahun sebelum payung Jepang merajalela, rombongan orang Jepang datang ke Panyingkiran untuk mempelajari keseluruhan proses pembuatan payung lukis itu.

“Kita ajari mereka semua, tidak tahu kalu tujuannya untuk meniru. Eh tidak tahunya, setahun kemudian payung Jepang masuk ke Tasikmalaya, di situlah payung lukis mati,” kenang Hanan.

Payung Geulis mulai bergeliat kembali pada 1980 dan dikenal bukan lagi sebagai alat pelindung namun lebih sebagai barang kerajinan untuk hiasan rumah.

Hanan mengatakan bahwa nama Payung Geulis sendiri mulai tenar di era 90an, kala itu Sahron, kakak Hanan, dipanggil Presiden Soeharto karena ketenaran payung lukisnya, dan Sahron menamakan payungnya dengan Payung Geulis.

Payung cantik itu memiliki berbagai ukuran dari 20 hingga 60 sentimeter dan kini dikenal sering digunakan sebagai pelengkap penampilan artis tradisional maupun sebagai unsur desain dalam dan luar ruang.

Meski dikenal luas dan permintaan payung semakin meningkat, namun menurut Aah pendapatan perajin payung tidaklah besar. Hal ini membuat generasi muda di kampung itu termasuk anak Aah memilih pekerjaan lain dari pada meneruskan tradisi keluarga.

"Harapan kami ada penerus yang mau melanjutkan tradisi keluarga sebagai perajin Payung Geulis, bagaimanapun membuat Payung Geulis itu bukan hanya pekerjaan, tetapi tradisi yang harus dilestarikan," kata Aah.

Harapan yang sama juga dilontarkan pengusaha payung tradisional, Bagus Judowono Tadiri (70) yang khawatir akan respon generasi kini untuk menjadi perajin payung.

"Saya ini bukan orang asli Tasikmalaya, tetapi saya jatuh cinta dengan Payung Geulis. Kinerja pemerintah sudah maksimal, bantuan juga diberikan, termasuk memberikan pelatihan juga. Tetapi sudah saatnya yang tua-tua ini istirahat, digantikan dengan yang muda," harap Bagus.


Foto dan Teks: Adeng Bustomi

Pewarta: Adeng Bustomi | Editor:

Disiarkan: 18/11/2017 21:00