Labirin Suaka

Chinatown alias pecinan, adalah salah satu sanctuary budaya bangsa perantau keturunan Cina di suatu pekarangan ibukota negeri-negeri di bumi. Dia menjadi suatu "cagar budaya leluhur" yang sekaligus menjadi penanda bagi pusat pengendalian bisnis di suatu negeri. Sebentuk simbol peradaban kota yang berisi elemen tradisi, adaptif, etos kerja dan persaudaraan yang kental. Tak sedikit yang tertulis dalam kenyataan sejarah yang buram dan berdarah-darah. Entah itu berupa pembumihangusan atau kebiadaban kemanusiaan, seperti yang terjadi di kawasan Glodok. Pecinan Jakarta, medio Mei 1998.

Pameran foto karya Zhuang Wubin, "10 CHINATOWNS of Southeast Asia" mencoba mengetengahkan secara visual bagaimana kehidupan dalam keseharian warga pecinan di kawasan Asia Tenggara yang populasi warganya tercatat meliputi 80 persen dari seluruh penduduk yang dikenal sebagai Cina perantauan di seluruh planet bumi. Melalui kamera Wubin, kita seolah mengikuti perjalanannya mencari perihal dari akar dalam darahnya sebagai seorang Singapura keturunan Cina.

Suatu tetirah pada peradaban leluhurnya. Melacak jejak yang mengingatkan kita beragam kisah lama, atau seperti yang pernah ditorehkan mendiang penulis AS berkulit hitam, Alex Haley, ketika menemukan akarnya di Gambia, Afrika dalam tokoh Kanta Kinte dalam karya sastranya yang sangat terkenal, Roots: the Saga of An American Family (1976).

Wubin sendirian berkelana menjelajah di 10 pecinan di sepuluh ibukota negara-negara Asia Tenggara. Ke kawasan yang disebut warga setempat sebagai Chinatown (Bandar Seri Begawan, Phnom Penh, Vientiane), Yaowarat (Bangkok), Cholon (Ho Chi Minh City), Petaling Street (Kuala Lumpur), Binondo (Manila), Kreta Ayer (Singapura), Tayote Tan (Yangon) dan Glodok (Jakarta). Dia tak hanya menyajikan pada kita petualangan matanya, namun juga menyajikan laporan-laporannya yang diterbitkan dalam buku CHINATOWNS In a Globalizing Southeast Asia (Chinese Heritage Centre, Singapura, Januari 2009).

Meskipun fotografi yang ditawarkan Wubin sesungguhnya menjadi lebih semacam ilustrasi dalam bukunya, namun dalam pameran fotografi ini, komposisi yang di abadikan Wubin dirancang kembali sebagai suatu kesatuan yang mengemukakan warga pecinan Asia Tenggara sebagai unit besar. Sebentuk penekanan pada fungsi fotografi sebagai gerbang ke dalam pecinan Asia Tenggara dan komunitasnya.

Ada benang merah yang serupa dalam keseharian, karakter, permainan, kuliner, ibadah, dan tentu pembauran yang terjadi di masing-masing negara dengan budaya lokalnya yang kuat. Seperti di Kuala Lumpur, Bandar Seri Begawan, Bangkok, Manila dan Yangon. Dari sana kita bisa menyimak bagaimana sinergi budaya tercipta dan diserap menjadi budaya lokal yang tersamar. Keberadaan pecinan di sepuluh negara Asia Tenggara tersebut memiliki sejarahnya sendiri-sendiri. Tercatat di antara kebijakan diskriminatif di sejumlah pemerintahan, dan juga kecurigaan, atau bahkan kecemburuan sosial penduduk bumiputra. Meskipun dalam keterbatasannya, mereka tinggal di semacam suaka yang lebih mirip ghetto, daya survival komunitas pecinan sangatlah tinggi. Ada elemen etos kerja yang sangat dihargai dan dijunjung tinggi, kepaduan solidaritas persaudaraan yang erat, ditambah kemampuan beradaptasi yang lentur, mereka membuat pecinan tak akan pernah mati.

Mereka bertahan dalam tekanan apapun. Dalam rezim seganas apapun. Mirip seperti etos para pekerja kasar Cina Amerika yang tetap eksis merampungkan kerja mereka menghubungkan alas baja bantalan kereta api yang melintas padang, terjalnya gunung, medan sulit dan cuaca yang sangat berat. Dalam upaya mempertemukan jalur kereta api bagian Timur dan belahan Barat AS itu, pekerja Cina Amerika sesungguhnya yang paling berjasa bagi sejarah perkereta-apian di AS.

Dalam peresmiannya, pada 1869, foto resmi Central Pacific Railroad Company bahkan tak memperlihatkan satupun pekerja Cina ketika mereka melakukan pose bersama, padahal pada kenyataannya, terdapat sekitar 4.000 pekerja Cina (2/3 dari seluruh jumlah pekerja) yang membanting tulang dalam diam untuk merampungkan komitmen mereka, untuk negeri mereka, meskipun sebagian besar pejabatnya pada masa itu, sangat rasis dan diskriminatif pada mereka.

Masih dalam semangat pecinan yang terus hidup di antara warna-warni budaya lokal yang menyerbak di seluruh dunia, maka kebangsaan kontemporer sesungguhnya tak pernah beranjak dari cita-cita mulia setiap insan untuk meraih kebebasannya. Bahwa kebersamaan dalam majemukan adalah niscaya. Seperti slogan yang terlontar dari rakyat ketika mengelukan revolusi Prancis, "manusia dilahirkan sama dan . MERDEKA.".

* Oscar Motuloh adalah kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA)

(Foto oleh Zhang Wubin)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 05/02/2010 08:58