World Press Photo & Mat Kodak Kita

Tulisan ini dikutip dari pengantar Katalog World Press Photo 2004 yang diselenggarakan di Galeri Foto Jurnalistik Antara pada tahun yang sama. Ed Zoelverdi, penulisnya, wafat dini hari tadi pada usia 68 tahun.

Kesibukan rutin sebagai 'orang jalanan' sudah lumayan menyita waktu. Namun panggilan dari Pengurus Pusat PWI untuk mengurus Kelompok Kerja Jurnalistik Foto (Pokja Foto), rasanya sulit ditolak. Ini kejadian pada awal Januari 1989. Saya pun menghimpun para sejawat wartawan foto dari Seantero media cetak nasional. Rapat pertama di kantor PWI Pusat, 23 Februari 1989. Dari kajian singkat didapat gambaran tentang kegiatan apa saja yang mungkin dilakukan. Misalnya, ada usul agar Program Hadiah Jurnalistik Foto Adinegoro diangkat ke tingkat nasional. Selama ini kegiatannya diselenggarakan oleh PWI Jaya, alias seputar DKI Jakarta saja. Rapat kedua Pokja Foto, 20 Maret 1989. Program Hadiah Adinegoro belum bisa pindah dari PWI Jaya. Kita pun sepakat membuat lomba sendiri. Sepanjang sejarah PWI, inilah pertama kalinya Lomba Jurnalistik Foto untuk tingkat nasional.

Cuplikan kegiatan Pokja Foto PWI Pusat ini penting saya kemukakan, sebab dari sinilah kemudian terjalin hubungan dengan Panitia World Press Photo (WPP) di Indonesia. Karya jurnalistik foto koleksi WPP itu pertama kalinya dipamerkan di Jakarta, tahun 1990. Sponsornya, World Trade Center Jakarta dan Kodak. Dalam rapat persiapan pameran di Balai Erasmus, sejak awal saya sudah menyampaikan isyarat bahwa pihak PWI kelihatannya tidak mudah mencari dana dari sponsor. Begitu pula pada pameran kedua tahun 1991.

Ketiga kalinya, 1992, kita diminta lagi menyelenggarakan pameran serupa. Kali ini Dutabesar Belanda untuk Indonesia - J.H.R.D. van Roijen, langsung mengirim surat kepada Menteri Penerangan, 8 September 1992. Surat itu pada intinya meminta kesediaan Menteri Penerangan Harmoko meresmikan pameran WPP di Jakarta, 2 November 1992. Juga diberitahukan, karya foto yang dimuat media cetak Indonesia sepanjang tahun 1991 dapat disertakan dalam pameran - setelah diseleksi oleh tim juri. Untuk itu disediakan hadiah khusus.

Sementara itu, timbul pertanyaan: dari sekian banyak wartawan foto di Indonesia, kenapa sedikit sekali yang mengirimkan foto ke arena WPP? Bahkan sebagian peserta dari Indonesia bukan wartawan tulen, melainkan dari kalangan foto salon. Usut punya usut, kendala bagi umumnya wartawan foto masuk arena WPP adalah biaya. Misalnya, mencetak foto harus pakai ongkos sendiri. Juga mengirimkannya ke Belanda. Pihak kantor mereka, rupanya belum paham manfaat hadir di gelanggang itu.

Situasi yang tidak cantik ini -- apa boleh buat -- saya ceritakan dalam sebuah pertemuan dengan kalangan Erasmus Huis. Dan di bagian akhir cerita, saya pun bertanya: "Apakah mungkin kita dapat jasa baik pihak Erasmus untuk urusan pengirimannya?"

Ternyata mereka bersedia. Beres? Belum! Ingat pemeo terkenal: "Bagai Belanda minta tanah", saya coba mengajukan satu permintaan lagi. Yaitu, menyangkut pembuatan caption foto ke dalam Bahasa Inggris. Sekali lagi, pihak Erasmus Huis ternyata siap membantu penerjemahannya. Permintaan yang mungkin agak janggal ini saya utarakan dari hasil bisik-bisik dengan sejumlah Mat Kodak. Mereka bilang masih kesulitan bikin keterangan foto dalam Bahasa Inggris. Untuk yang Bahasa Indonesia saja, kata mereka, adakalanya minta bantuan rekan wartawan tulis. Apa boleh buat, memang. Kalangan Wartawan Foto kita umumnya lemah dalam urusan tulis-menulis. Sayangnya, kelemahan ini belum luas disadari untuk tidak dipiara. Dalam berbagai kesempatan ngerumpi dengan para Mat Kodak, saya sering mengingatkan agar kita cermat menjaga "laboratorium di kepala" alias menata organisasi pikiran. Sehingga tak sampai ketularan menjadi zalim, baik terhadap diri sendiri maupun orang lain.

Profesi jurnalistik kehilangan marwahnya begitu para pelakunya -- termasuk wartawan foto -- abai menyadari pentingnya memelihara integritas pribadi, baik secara intelektual maupun spiritual. Bidang kerja sebagai jurnalis jelas merupakan profesi yang potensial untuk mengubah dunia. Wartawan foto yang serius niscaya mengenal ungkapan beken ini: "Kamera bukanlah sekadar alat reproduksi - memandang dunia apa adanya. Tapi melalui kamera kita memperlihatkan apa yang kita mau dari dunia ini..."

Itulah esensi pesan yang senantiasa disuarakan para wartawan foto sejagad yang tercermin di gelanggang bergengsi World Press Photo ini. Ada obsesi yang tak kunjung padam guna meraih suatu dunia yang lebih baik - dan lebih beradab!

Ed Zoelverdi
Jurnalis; Fotografer; Ketua Departemen Jurnalistik Foto PWI Pusat; Dosen Luar Biasa FISIP UI untuk Jurnalistik Foto.

Foto: Poster Katalog World Press Photo 2004

Pewarta: Ed Zoelverdi | Editor:

Disiarkan: 04/01/2012 20:14