Saat Kematian Menjadi Pilihan

Menyusul kematian tragis Whitney Houston di kamarnya di lantai 4 Hotel Hilton Beverly, AS, Minggu siang, prahara selebritis yang menggunakan narkotika dan obat-obatan terlarang sebagai jalan menuju keabadian semakin meningkat dan tampaknya akan terus bertambah panjang daftarnya di masa datang.

Dalam selang tiga tahun belakangan ini saja kita melihat setidaknya sejumlah seleb, katakanlah Britanny Murphy, Heath Ledger, Michael Jackson dan Amy Winehouse, telah memilih narkoba sebagai jalan eksistensial untuk menutup lembaran kehidupan fana mereka di bumi. Statistik buram popularitas itu sekaligus meletakkan kerapuhan insan manusia yang dalam kesehariannya hidup dalam kilatan blitz kamera, puja-puja penggemar, seperti kejora di langit yang jauh.

Whitney, pesohor yang lebih dari satu dekade (awal 1980-an hingga 1992-an) mendapat sorotan utama media, gemerincing dolar showbiz dan pendar kilau panggung pertunjukan, akhirya menutup kisah hidupnya dengan tragedi.

Whitney mengenal narkotika dari rapper yang menjadi suaminya selama 14 tahun, Bobby Brown, yang diceraikannya pada 2007. Awal karirnya meroket pada akhir delapan puluhan dan terus berjaya hingga awal sembilan puluhan, tapi menjelang akhir dekade sembilan puluhan kehidupan pribadinya berantakan dan sikap profesionalnya terbenam. Setelah perceraiannya, dia tak lagi sanggup untuk come-back dengan sukses. Karirnya hancur dan finasialnya ambruk. Lalu makin larutlah dia dalam dunia obat-obatan terlarang. Dalam suatu wawancara televisi bersama suaminya pada 2004, Whitney dengan enteng berkata, "Iblis terbesar adalah diriku sendiri. Saya adalah kawan atau musuh terbaik bagi diri saya sendiri," kata sang Mahadiva kepada wartawan ABC Diane Sawyer. Dunia narkoba telah menghancurkan karir emasnya. Setelah album come-back-nya yang dirilis pada 2009 hanya menyabet penjualan satu juta album dan begitu singkat di tangga lagu, sehingga single-nya tak keburu dikeluarkan. Maka, bintang kehidupannya seolah meredup seperti lilin yang kehabisan paraffin.

Meskipun predikat Mahadiva yang disandangnya perlahan mencair di tangannya sendiri, Whitney tak harus kecewa karena biduan setelahnya nyaris semuanya terpengaruh oleh teknik vokalnya yang tak tertandingi, katakan macam Mariah Carey, Christina Aquilera, Mary Blige, ataupun Alicia Keys.

Popularitas Whitney menarik perhatian Hollywood dan melalui Kevin Costner yang menjadi aktor sekaligus produser mengajak sang mahadiva berperan dalam film yang kemudian box-office secara global “The Bodyguard” (1992, sutradara Mick Jackson), meskipun ceritanya sangat lebay alias "cengeng abis". Film ini dibuat untuk mengiringi kesuksesan film komedi romantis “Pretty Woman” (1990, sutradara Garry Mashall), tapi tak berhasil mencapai ekornya sekalipun, walaupun secara penjualan film yang mengisahkan sang pengawal yang diperankan Costner terlibat percintaan dengan sang diva itu laku keras di pasaran. Belum lagi salah satu tembang andalan dari soundtrack film itu, “I Will Always Love You” meroket ke tangga teratas Billboard. Setelah itu Whitney sempat juga tampil dalam film drama yang sama buruknya, “Waiting to Exhale” (1995), arahan sutradara Forest Whitaker. Meskipun the “Bodyguard” dan “Exhale” gagal secara cinematografi, namun para kritikus masih meratingnya lebih baik ketimbang film Mariah Carey, “Glitter” (2001, Vondie Curtis-Hall) yang tercatat sebagai salah satu film terburuk yang pernah di produksi Hollywood.

Whitney bukan biduanita sembarangan. Dalam penjualan album sepanjang karir yang dibangun oleh produser bertangan dingin Clive Davis itu, album Whitney secara total terjual lebih banyak ketimbang album kelompok Beatles dan Beegees. Mahadiva bersuara malaikat ini lahir di Newark, New Jersey AS pada 9 Agustus 1963, mulai aktif bernyanyi gospel sejak berusia 11 tahun. Dari pelataran gereja baptis di lingkungannya, dia menjejakkan awal karirnya. Di samping bakat alamnya di bidang tarik suara, wajahnya yang cantik dengan tubuh semampai dengan cepat membawanya ke panggung model AS. Biduanita yang dikaruniai suara emas sehingga tak perlu tampil seseronok seperti showgirls di Las Vegas, dia hidup dalam suasana kebintangan sejak dilahirkan. Ibunya Cissy Houston adalah penyanyi gospel dan RB, bibinya tak lain Dionne Warwick, dan ratu RB Aretha Franklin merupakan ibu baptisnya. Perempuan Leo yang menguasai dapur rekaman dan panggung pertunjukan internasional pada era lebih dari satu dekade itu lalu oleng oleh pilihan hidupnya sendiri.

"Hatiku redam, air mataku berlinang mendengar kabar wafatnya sahabat saya, Whitney yang tak ada bandingannya. Dia tak akan pernah terlupakan sebagai salah satu pemilik suara termerdu yang pernah terdengar di muka bumi," ujar Carey yang sangat sedih dengan wafatnya sang mahadiva yang juga adalah idolanya. Smokey Robinson, produser dan biduan seangkatan Cissy (ibu Whitney) meratap, "Aku mengenal Whitney sejak bocah. Aku amat menyayanginya karena dia sudah seperti anggota keluargaku. Aku selalu akan sangat merindukannya." Sedangkan penyanyi legendaris Tony Bennet menyatakan, "Sebuah tragedi. Whitney Houston merupakan biduanita terhebat yang pernah aku dengar dan dia benar-benar akan selalu dirindukan". Sementara produser masyhur Quincy Jones menyatakan, "Hatiku benar-benar hancur. Aku selalu menyesali kenapa belum pernah mendapat kesempatan bekerja sama dengannya. Dia bakat sejati tak tertandingi. Aku akan sangat merindukannya". Produser Simon Cowell yang di sini dikenal dalam paket "American Idol" berkata, "Whitney adalah legenda. Tak ada yang bisa menjual lagu seperti dia. Saya sedih". "Kiranya Tuhan memberkati mendiang. Whitney Houston, istirahatlah dalam damai. Dia baru 48 tahun," ucap sutradara kulit hitam AS yang paling berpengaruh, Spike Lee.

Sementara blantika musik dan dunia hiburan AS seperti terselimuti awan perkabungan, malam ini waktu setempat (Senin siang WIB), produser eksekutif Anugerah Grammy Ken Ehrlich tengah disibukkan oleh sejumlah perubahan mata acara yang terpaksa dilakukan karena seharusnya dilakukan Whitney. Ehrlich beberapa saat lalu telah mengumumkan bahwa penyanyi Jennifer Hudson akan tampil di atas panggung untuk mengisi acara sepotong “tribute” bagi sang Mahadiva. Betapa tidak, Whitney bagaimanapun adalah pemegang enam kali anugerah paling bergengsi di arena musik pop di AS dan dunia itu. Meskipun terlalu singkat waktunya, namun panitia tetap menjadwalkan selipan acara khusus mengenang talenta dan pencapaian Whitney pada masa jayanya.

Album Whitney setidaknya terjual 160 juta keeping secara global. Sesungguhnya dalam acara pre-Grammy, Jumat siang (WIB), Whitney sempat naik panggung bersama dengan Kelly Price and Friends melantunkan lagu “Yes, Jesus Loves Me”. Tampaknya itulah penampilan terakhir Whitney di panggung semasa hidupnya.

Saat undangan dan seluruh artis Grammy tertunduk mengheningkan cipta, serta juga puluhan juta pemirsa yang menyaksikannya secara langsung pada layar kaca di seantero dunia, sejumlah penggemar Whitney barangkali tengah termenung menatapi koleksi poster monokrom film “the Bodyguard” yang tertempel di rumah masing-masing, dimana tergambar sang pengawal, Kevin Costner tengah membopong Whitney dalam hujan yang menderas. Poster yang secara imajinatif justru mengesankan seolah Whitney yang tak tampak wajahnya, dalam geledek yang buram tengah dijemput oleh Gabriel, sang malaikat el-maut, yang mendekapnya dengan erat, penuh kasih, untuk membawanya pergi keluar dari kepekatan dunia obat-obat terlarang yang belakangan tak mampu ditinggalkan sang mahadiva dalam kehidupan realitanya di dunia yang fana ini. Mungkin, diiringi sepotong simfoni lirih yang melatari a-capella suara orang-orang yang mencintainya, termasuk putri tunggal Whitney, Bobbi Kristina. Dari bibir mereka terucap “We Will Always Loves You”.

oscar motuloh

(Foto: Whitney Houston saat menerima penghargaan dalam ajang Grammy Award ke-30, Maret 1988. REUTERS/Mark Peterson)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 13/02/2012 05:48