Sakratul Maut di Altar Sepakbola
Kabut duka tengah menyelimuti liga sepakbola profesional Italia yang sekonyong-konyong menaikkan bendera hitam tanda berkabung pada Sabtu malam. Saat dua kasta liga Italia asyik menggelar laga-laga akhir pekan mereka yang amat menentukan, Federasi Sepak Bola Italia (FIGG) seketika menunda seluruh pertempuran di arena menyusul kematian tragis seorang atletnya di lapangan hijau.
Piermario Morosini namanya dan usianya baru 25 tahun. Saat tengah membela Livorno dalam laga tandang di kandang Pescara, saat timnya ketinggalan dua gol, Moro --begitu dia disapa-- jatuh terjerembab di wilayah kotak penalti pertahanannya sendiri. Upaya tim media memulihkan kondisinya gagal dan Moro dinyatakan meninggal dunia. Tragedi sepakbola teranyar ini amat mengejutkan. Sontak dunia sepakbola Italia dilanda duka. Belasungkawa merebak kemana-mana dan simpati segera berdatangan dari seluruh penjuru bumi. Maklum, sepakbola adalah olahraga rakyat yang sangat dicintai tua-muda dari segala bangsa.
Foto diri Moro, yang kala itu masih mengenakan seragam Udinese (almarhum kemudian dipinjamkan ke Livorno) segera dipasang sebagai breaking news di layar raksasa stadion-stadion Italia. Para pemain di Serie A dan B, lunglai memperoleh kabar pria yang menjadi tulang punggung keluarganya dan yatim piatu sejak berusia 21. Moro jatuh terkapar pada menit ke 31 di Stadion Adriatico, kandang Pescara. Menurut rekan setimnya, sebelumnya Moro sempat terjatuh, bangkit dan terjatuh kembali hingga dia benar-benar terkapar tak sadarkan diri dalam posisi tertelungkup. Keterpanaan melanda lapangan hijau itu, sampai sejawatnya Pasquale Schiattarella memekik minta pertolongan tim medis untuk segera datang. Bahkan wasit yang kebetulan membelakangi Moro terlambat meniupkan peluit sampai dia mendengar teriakan Schiattarella yang panik.
Ketika ambulan bersiap menghampiri, tulis kru reportase Soccernet.com, kendaraan tersebut terhalang sebuah mobil polisi yang kebetulan diparkir di pintu stadion. Dibutuhkan sekitar enam menit untuk menyingkirkan mobil polisi tersebut sebelum tubuh Moro berhasil dibawa ke rumah sakit untuk menyelamatkan nyawanya. Namun takdir tidaklah berada dalam genggaman manusia. Moro dinyatakan wafat sesampainya di RS Civilio Spirite Santo di kota pesisir Italia Tengah yang indah.
Presiden FIFA Sepp Blatter melalui akun Tweeter-nya menyatakan, "Tragedi Moro adalah air mata. Tak ada kata yang bisa diungkapkan saat saya beroleh kabar kepergiannya yang sungguh mendadak. Tragedi itu begitu memukul siapapun, apalagi yang mengenalnya secara dekat. Ini merupakan kepedihan luarbiasa bagi pencinta sepakbola di manapun mereka berada". Koran-koran Italia meletakkan peristiwa tragis bagi dunia sepakbola tersebut di halaman utama. Koran olahraga terkemuka di Italia, Gazzetta dello Sport, memajang foto dirinya dengan teks "Pieromario Morosini 1986-2012" seraya menulis, "Kematian di Lapangan, Sepakbola Italia Berhenti". Lalu koran olahraga terkenal itu menambahkan kata "Kontroversi Seputar Penanganan Medis".
Dalam foto yang disiarkan media terlihat petugas medis stadion tengah memberikan bantuan darurat, termasuk resusitasi, terhadap Moro. Di jaket petugas medis tersebut tertera sulaman "Pescara 1936". Itu adalah tahun kelahiran klub sepakbola Italia yang terletak di pesisir Laut Adriatik itu. Pada tahun yang sama, tepatnya pada tanggal 5 Februari, di Roker Park bertarung tim tuan rumah, Sunderland melawan Chelsea. Dalam suatu scrimage, penjaga gawang tangguh Sunderland bernama James Horatio Thorpe, alias Jimmy, bertabrakan keras saat merebut bola. Dada dan kepalanya terkena tendangan lawan. Dia tersungkur dan dilarikan ke rumah sakit untuk mendapatkan perawatan darurat. Sayang, setelah dirawat empat hari nyawanya tak tertolong lagi. Jimmy tutup usia dalam tangis mendalam keluarga dan pencinta sepakbola Inggris dan Eropa. Usianya baru berusia 22 tahun. Setelah peristiwa itu, penguasa sepakbola Inggris mengeluarkan regulasi baru bahwa tak ada seorang pemain pun yang boleh melakukan tendangan saat kiper menguasai bola. Pada tahun itu, Sunderland akhirnya berhasil memenangi piala Championship (divisi satu) Inggris dan medali untuk Jimmy dikalungkan pada leher jandanya tercinta.
Tragedi Moro segera menjadi catatan bagi perlindungan kesehatan untuk atlet tak hanya pesepakbola pro yang memang memiliki jadwal pertandingan yang teramat ketat, seperti yang kerap dikeluhkan pelatih sohor macam Arsene Wenger, Fabio Capello, Alex Fergusson atau Jose Mourinho. Di ranah Inggris sebelumnya, kesigapan petugas medis berhasil menyelamatkan nyawa pesepakbola Fabrice Muamba dari tim divisi utama Bolton Wanderers yang jatuh pingsan saat bertarung melawan Tottenham Hotspurs pada 18 Maret lalu di ajang penyisihan Piala FA. Saat ini kondisi Muamba dinyatakan mengalami kemajuan berarti.
Kepergian Moro, menambah panjang daftar para pesepakbola yang gugur demi membela klubnya. Sebutlah Eri Irianto (Persebaya), Marc-Vivien Foe (Manchester City), Mikhlos Feher (Benfica), Antonio Puerta (Sevilla), Naoki Matsuda (Matsumoto Yamaga FC) dan Phil O’Donnel (Motherwell). Mestinya tak ada lagi nama-nama lain yang menyusul.
Saat dunia mendoakan agar arwah Moro abadi di dunia sana, belantara sepakbola Eropa yang begitu ketat jadwalnya tengah berada dalam puncak persaingan ketat menuju yang terbaik. Di ajang piala FA, Liverpool melaju ke final setelah menekuk klub sekotanya Everton dengan skor 2-1. Di Wembley, mereka akan berhadapan dengan Chelsea yang menggunduli Spurs 5-1. Sementara itu Manchester United membabat Aston Villa 4-0 di Liga Premier Inggris, pada Senin tengah malam.
Ketika dinihari besok perhatian Eropa dan penggila bola dunia tertuju pada semifinal Liga Champions yang menggelar partai-partai sengit di Muenchen, Madrid, London dan Barcelona, ada baiknya kita renungkan kewajiban industri sepakbola untuk menemukan "obat mujarab" alias sistem medis yang memadai agar tak ada lagi Moro-Moro lain yang bergelimpangan dalam belantara sepakbola di masa depan.
oscar motuloh
kurator GFJA
Foto: Para pemain Sporting Gijon mengheningkan cipta bagi Piermario Morosini sebelum bertanding melawan Real Madrid, 14 April 2012. (Antara/Reuters/Andrea Comas)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 17/04/2012 08:48