ke-MERDEKA-an!

Seiring perjalanan pengabdian dalam waktu. Galeri Foto Jurnalistik Antara (GFJA) saat ini tengah menjelang kiprah dalam dekadenya yang ketiga. Dalam kurun tersebut, program prioritas telah tergenapi, meskipun dalam segala keterbatasannya. Kegiatan demi kegiatan mengudara bak komunitas kunang-kunang yang menyinari lorong cakrawala para kuli citra dan penikmat imaji samudra jurnalisme fotografi kita seluas-luasnya. GFJA memang terlahirkan untuk tumbuh dan mengabdi pada pendidikan serta apresiasi jurnalisme visual khususnya fotografi, di tanah air. Mengusung sebentuk idealisme bagi siapapun insan yang percaya pada fotografi sebagai bahasa, sarana, sekaligus menjadikannya pentas medium ekspresi.

Adalah Yudhi Soerjoatmoddjo, sebagai kurator pertama GFJA yang menekankan urgensinya pendirian wadah kegiatan pendidikan fotografi dokumenter-jurnalisme di kawasan pinggir kali Ciliwung yang sarat sejarah itu. Meskipun Yudhi belum memiliki pengalaman sebagai kurator, saya dan kemudian manajemen Kantor Berita Antara yang saat itu dipimpin Handjojo Nitimihardjo yakin bahwa dia adalah pilihan terbaik untuk menggulirkan misi jurnalismenya Antara. GFJA baru berusia 2 tahun pada tahun 1994, saat pendidikan non-formal yang kemudian dikenal sebagai bengkel kerja (workshop) tahunan GFJA resmi hadir dan berkiprah sampai detik ini. Kiranya untuk seterusnya, generasi demi generasi.

Kami memandang bengkel kerja reguler setidaknya dibutuhkan untuk meneroboskan jalan menuju cara melihat dan menjiwai dunia fotografi jurnalistik yang ketika itu bak rimba raya yang tertutup rapat. Yang seolah tak memberi kesempatan pada seberkaspun cahya untuk menembus kanopi profesionalisme tempat bumi kita berpijak. Sementara itu kita tahu, para pewarta foto pada jaman itu adalah eranya fotografer otodidak. Mereka wajib menemukan sinarnya sendiri dalam kegulitaan referensi dan belum terbangunnya lembaga pendidikan fotografi jurnalistik formal.

Kesinambungan di bidang pendidikan hakikinya adalah semacam perpanjangan tangan untuk menjawab kebutuhan jaman. Dari sana siklus jiwa antar generasi citra tersebut diuntai dalam komunitas yang kolegial sifatnya. Saat ini, angkatan XVIII tengah menyiapkan pameran karya kolektif seiring berakhirnya masa belajar mereka. Tim Pendidikan GFJA dewasa ini dipimpin Mosista Pambudi dengan kru relawannya yang secara sporadis juga bergerak mengkampanyekan fotografi jurnalistik ke ruang-ruang pendidikan dari tingkat SMU sampai di sejumlah kampus di tanah air.

Kehadiran GFJA sesungguhnya dirancang sebagai magnet untuk menarik pengunjung bagi Museum Pers Antara yang menempati lokasi di lantai 2 dari Graha Bhakti Antara. Meskipun gedung tersebut memiliki nilai sejarah bagi pers perjuangan Indonesia menuju kemerdekaannya, namun sempat ditinggalkan karena Kantor Berita Antara mendapatkan gedung baru di kawasan Merdeka Selatan. Setelah direktorat redaksi sebagai roh institusi berkantor di gedongan kawasan elite itu, maka gedung Antara di Pasar Baru sempat terbengkalai beberapa tahun karena hanya digunakan sebagai gudang dan percetakan buletin warta berita Antara.

Beruntung muncul keputusan manajemen Antara yang kemudian menghidupkan kembali gedung bersejarah klasifikasi A tersebut sebagai Museum Pers Antara dan Galeri Foto Jurnalistik Antara. Areal gedung no 57, 59 dan 61 tersebut lalu disebut Graha Bhakti Antara yang peresmiannya dilakukan pada 27 Desember 1992 ditandai dengan pembukaan pameran perdana karya pewarta foto Antara bertajuk KILAS BALIK.

Pada prasasti peresmian yang ketika itu ditanda-tangani pemimpin umum Kantor Berita Antara Handjojo Nitimihardjo tertulis, “Graha Bhakti Antara ini dipersembahkan bagi para perintis dan pendahulu Kantor Berita Antara sebagai tanda penghargaan atas jasa-jasanya“. Hembusan apresiasi itulah yang menjadi nafas bagi keberlanjutan misi GFJA selanjutnya. Penghormatan pencapaian karya atas generasi demi generasi. Semangat kebersamaan profesi yang egaliter merupakan inti dan roh jurnalisme. Sebab apresiasi atas pencapaian selalu memicu inspirasi dan kreativitas baru dalam setiap karya jurnalistik, khususnya fotografi jurnalistik. Detik demi detik. Sebagaimana keberadaannya yang selamanya beriringan dengan Sang Kala.

GFJA oleh manajemen Antara ketika itu juga disepakati sebagai rumah kreatif bagi masyarakat “dunia melihat“ secara luas. Namun demi kelaikan kwalitas maka ditetapkan berlakunya saringan kuratorium agar parameter karya-karya dapat dipertanggung-jawabkan sesuai dengan gradasinya. Pelajar, mahasiswa, komunitas fotografi, pers, pendatang baru dan para maestro. Sejarah sebagai pondasi jurnalisme menemukan atmosfir jiwanya di sini. Karena seluruh kegiatan berlangsung di kawasan yang memiliki karakter sejarah pers yang sesungguhnya. Kenyataan sejarah mencatat bahwa pendirian Antara sebagai kantor berita Indonesia untuk menyaingi keberadaan kantor berita kolonial (Aneta dan Domei) yang begitu mapan dan kuat, adalah sebentuk persembahan jiwa sekelompok pemuda yang percaya pada kekuatan pena. Kobaran jurnalisme dalam perjuangannya menentang kolonialisme.

Dalam salinan seperti yang dikutip Soebagijo I.N. dalam buku "Lima Windu ANTARA" (1978), terdapat drama yang melandasi keputusan perlawanan yang heroik itu. Adam Malik Batubara (20 tahun), Pandu Kartawiguna (21), Albert Manumpak Sipahutar (23) dan yang paling senior, Sumanang Suriowinoto (29), adalah sekelompok pemuda yang masih seumur jagung, namun memiliki visi yang begitu benderang. Empat serangkai itu adalah wartawan muda idealis, berkarakter, penuh integritas, sekaligus aktivis gerakan yang memanfaatkan bidang jurnalistik sebagai senjata.

Inspirasi berjuang via kancah jurnalistik bermula pada tahun 1935 . Tempatnya: hotel prodeo jalan Salemba Tengah, dimana Adam Malik ditawan karena ikutan rapat gelap sebagai simpatisan Partai Republik Indonesi (PARI) bentukan idolanya, Tan Malaka. Di dalam bui, Adam berkenalan dengan Pandu, anggota Persatuan Pemuda Rakyat Indonesia. Mereka segera akrab, karena idealisme mereka begitu sebangun. Dari sel-sel lembab itulah lahir ide jurnalisme perlawanan yang menerangi lorong-lorong kegelapan melawan kolonialisme. Selepas menjalani tahanan, keberadaan Adam dan Pandu terlengkapi dengan kehadiran Sumanang dan Sipahutar. Kepaduan mereka berempat nantinya bakal menggelindingkan konsep jurnalisme kantor berita yang mereka yakini dan kelak integritasnya tercatat dengan tinta emas dalam sejarah pers Indonesia. Integritas yang melahirkan begitu banyak wartawan berwatak nan tangguh.

Dari sepetak “kantor“ yang sangat bersahaja di kawasan Pinangsia no.30, perlawanan itu dimulai. Ruang yang dikatakan kantor itu sesungguhnya adalah seujung bilik ruang yang berada di tempat indekos Adam Malik yang ketika itu baru berusia 20 tahun. Bangunan itu adalah kediaman paman Bung Adam. Jahja Nasution namanya. Dia menjalankan perusahaan ekspedisi “Pengharapan“ dimana mesin tik nya di “bon“ Bung Adam dan kawan-kawan untuk menuliskan tajuk dan berita perdana buletin Kantor Berita Antara. Di lokasi itu pula, pada tahun 1934 Bung Adam ditampung sejak dia bertekad merantau ke tanah Batavia demi memperjuangkan idealismenya. Dalam maklumatnya, di atas kertas buram agak dekil, terbaca tulisan "Maka moelai hari ini ditetapkan berdirinya persbureau itoe dengan nama ANTARA. Alamat Buitentijgerstraat 30, Batavia, telefoon Bt 1725". Itulah sepenggal Senin, 13 Desember 1937, yang kemudian tercatat sebagai hari bersejarah bagi pers Republik Indonesia.

Sampai tiba saatnya. Bung Karno dan Bung Hatta memproklamirkan kemerdekaan Republik Indonesia di Pegangsaan Timur 56, sekitar pukul 10.00 waktu setempat. Pada pagi cerah di bulan Ramadhan. Janin yang dinanti segenap rakyat Indonesia telah dilahirkan.

Sementara di lantai dua Kantor Berita Domei (sekarang Graha Bhakti Antara), tepatnya di satu sudut lantai gedung jalan Antara 59 sekarang, oleh Bung Adam berita kemerdekaan yang telah diproklamasikan Bung Karno-Bung Hatta berhasil disusupkan ke kantor penyiaran Kantor Berita Antara yang kala itu bertempat di Tanah Abang Barat no.90. Kabar bahagia itu akhirnya berhasil diselundupkan untuk dipancarluaskan ke seluruh dunia melalui pesawat Morse oleh markonis Wua dan Syafrudin yang merupakan staf lokal Kantor Berita Jepang Domei. Dengan bulat hati mereka melepas berita itu di bawah pengawasan ketat pihak Jepang. Dengan sabar mereka menanti saat yang tepat, dan ketika para pengawal jedah sejenak untuk makan siang maka kabar gembira tersebut seketika telah menyelinap di cakrawala kebebasan di luar negeri.

Kelahiran janin perjuangan untuk kemerdekaan melalui kekuatan jurnalistik itulah yang kita rayakan malam ini. 75 tahun kemudian. 20 tahun setelah GFJA didirikan pada 1992. Suatu selebrasi jiwa, sebagai sebentuk ritual bersama untuk mempertahanakan kebebasan pers kita dalam berpikir, berpendapat, berekspresi dengan merdeka. Mewujudkan kebebasan dari rasa takut yang hingga detik ini korban-korbannya masih bergelimpangan di sejumlah titik di tanah air. Masih kental aroma kebencian yang menyelinap di benteng keberagaman kita yang rapuh karena penguasa konservatif negeri ini tak kuasa membungkam tuntas bara-bara yang menyempal dibalik paham kebencian yang mereka anut.

Dengan jejak semangat perjuangan yang telah menjadi catatan sejarah, kita menapak ke depan. Memanfaatkan percikan spritual kebebasannya yang terus di hembuskan dalam program-program yang disajikan GFJA. Seluruh program apresiatif dan pendidikan yang hadir adalah berkat partisipasi dan dukungan sejumlah individu yang perduli, sejumlah pula institusi yang dengan ikhlas mendukung terwujudnya kegiatan-kegiatan yang penuh liku untuk mewujudkannya. Pameran, gallery talk, panerbitan buku, program workshop Perjalanan ke-Tanah Leluhur, workshop regular GFJA termasuk kelas Khususnya adalah kegiatan yang telah rutin berjalan. Workshop Kota Kita dengan kurator tamu akan kembali dihidupkan mulai 2013. Kegiatan penunjang lainnya seperti gallery shop, titik temu (Neo Journalism Club) dan program musik untuk demokrasi (Blues4Freedom) terus digiatkan kiprahnya untuk menunjang kegiatan pokok GFJA.

GFJA adalah oase jurnalistik kita. Dari sana mengalir program GFJA yang diciptakan demi keberlangsungan masyarakat yang percaya pada kekuatan fotografi sebagai alat untuk menghargai keberagaman kita sebagai perekat bangsa yang sesungguhnya. Pluralisme, egaliter, semangat persaudaraan dan mengapresiasi perbedaan telah terbukti menjadi kekuatan Republik ini dan disuarakan visinya dari berbagai opini dan ekspresi yang hadir dari gedung bersejarah ini. Sejalan dengan misi GFJA yakni juga menarik anak-anak muda untuk mencintai dunia fotografi jurnalistik dan menggenggam sejarah sebagai landasan mereka berkarya dengan merdeka. Lalu dikaitkan dengan waktu dan keberadaan GFJA sejauh ini, maka kemerdekaan dalam maknanya yang luas menjadi kata kunci dalam berkarya. Dari sana semboyan "Home of Freedom", alias rumahnya kemerdekaan dipilih sebagai tagline 20 tahun GFJA. Rumah atau oase yang selalu dirindu.

oscar motuloh
kurator

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 20/12/2012 10:34