Kosmetika Fotografi Jurnalistik Internasional

November 1979. Setting ceritanya di Tehran ketika anti-AS melanda seluruh negeri yang baru saja menumbangkan rezim Shah Iran Reza Pahlevi. Ratusan pemuda Revolusioner menerobos kedubes AS di ibukota Iran tersebut dan menyandera 56 warga AS sampai setahun kemudian. Namun enam di antaranya berhasil kabur dan minta perlindungan di kediaman resmi Dubes Kanada saat itu, Ken Taylor.

Karena penyanderaan terus berlarut maka CIA dan Setneg AS mulai merancang cara untuk menyelamatkan mereka dengan melibatkan seorang agen penyusup bernama Tony Mendez yang menyarankan misi penyelamatan sandera dengan kedok melakukan pembuatan film sci-fi di Tehran berjudul "Argo", lengkap dengan casting dan elemen produksi bahkan publikasinya sekaligus.

Di The Dolby Theatre, California, AS, Senin siang (25/2), film "Argo" arahan bintang Hollywood, Ben Affleck, yang sekaligus memerankan tokoh Mendez tadi, diputuskan memenangi Film Terbaik versi Academy Award alias Oscar, setelah menyisihkan kandidat kuat lainnya, macam "Lincoln", "Life of Pi", "Zero Dark Thirty", "Beasts of the Southern Wild", "Silver Linings Playbook", "Les Miserables" dan "Django Unchained".

Begitu pentingnya film pembebasan sandera AS yang kisahnya baru diperbolehkan dipublikasikan pada 1997 tersebut, sekaligus menghormati anugerah Oscar yang telah memasuki tahun penyelenggaraan ke 85, sampai ibu negara AS, Michele Obama yang mengumumkan penghargaan tersebut melalui sambungan video khusus langsung dari Gedung Putih.

"Lincoln", film besar Steven Spielberg dengan aktor Inggris Daniel Day Lewis yang memenangi Oscar untuk peran utama pria dalam ajang kali ini dan digadang-gadang majalah Time sebagai pencapaian besar dunia akting sepanjang masa, akhirnya harus mengalah pada "Argo" yang diarahkan oleh sutradara yang sebelumnya hanya dikenal luas dalam perannya di film-film "action" romantis macam "Pearl Harbour", "Armageddon" atau yang benar-benar "pop-corn" macam "Gigli".
Argo diangkat dari kisah nyata berdasar buku Mendez, "The Master of Disguise", digabung dengan materi dari artikel "Escape from Tehran" yang ditulis Joshuah Bearman. Adaptasi Penulisan Skenario Terbaik juga disabet "Argo" melalui Chris Terrio, sementara kategori Penyuntingan Terbaik diraih William Goldenberg untuk film yang sama.

Seperti film unggulan lainnya, "Lincoln" dan "Zero Dark Thirty", sutradara dan kru "Argo" juga sangat saksama untuk membuat film mereka menjadi karya sinematografi yang serealistis mungkin produksinya. Tentu demi pencapaian logika agar drama tutur visual dari kisahnya mampu menyentuh sanubari para pemirsa film-film bermutu. Ketika para insan film berjibaku meraih atmosfir realitas ke dalam dunia penciptaan sinematografi mereka, justru belantara fotografi jurnalistik internasional yang sangat puritan melandaskan nafasnya pada atmosfir dan momentum kenyataan, kini cenderung lebih genit dan tak lagi sepenuhnya realistik. Mereka terlalu sibuk berdandan ria membedaki wajah dan menggincu bibir. Meskipun tetap konsisten menangkap momentum dalam peristiwa yang sesungguhnya.

Sepuluh hari sebelum perhelatan ajang Oscar tadi, penghargaan paling prestisius bagi para kuli citra sedunia yang diselenggarakan Yayasan World Press Photo (WPP) diumumkan di markas besar mereka, Amsterdam. Untuk kesekian kalinya pewarta foto dari tanah Skandinavia memenangi "Photo of the Year" alias karya fotografi jurnalistik terbaik dari seluruh kategori anugerah paling akbar sedunia yang kini telah memasuki pelaksanaan tahun yang ke-56. Sang pemenang, Paul Hansen, adalah kuli citra Swedia yang menetap di Stockholm. Dia bekerja sebagai staf fotografer di harian lokal Dagens Nyheter.

Berkat penugasan dari kantornya, termasuk reportase yang diprakarsainya sendiri, dia berkelana jauh di seputaran jagad ini. Hansen memilih bekerja dengan gaya multimedia, termasuk menuliskan sendiri kisah jurnalistiknya. Akibatnya, Hansen mendapat kredibilitas positif dari khalayak pembaca korannya. Dalam situs WPP, Hansen disebutkan sebagai pewarta foto kawakan dan tangguh di negerinya. Dia telah meraih tujuh kali anugerah pewarta foto terbaik secara domestik. Ada empati dalam karakter foto-foto yang diabadikannya.

Pencapaian Hansen menjadi semacam perampungan titian kiprah para pewarta foto kawasan Skandinavia yang meraih penghargaan tertinggi dari kontes paling bergensi sedunia sejauh ini. Dia meneruskan kisah sukses dari para pewarta foto tanah Viking yang meraih penghargaan dari reportase mereka sebagai musafir jurnalistik visual jauh dari tanah air mereka yang damai sejahtera. Tanah air regional orang-orang beradab, tenteram, meskipun sempat ternoda oleh secuil tindakan chauvinistik di Oslo pada bulan Juli 2011 ketika Anders Behring Breivik membantai 77 remaja di perkemahan Liga Pemuda Buruh. Hansen menjadi penerus para pewarta foto kawasan yang melanjutkan suksesi keberadaan mereka.

Adalah fotografer Denmark, Mogens Van Haven, yang pertama kali dalam sejarah WPP meraih penghargaan terbaik dalam penyelenggaraan kontes perdana pada tahun 1955 di Amsterdam. Imaji yang dimaksud adalah cuplikan momentum dari suatu kecelakaan yang menimpa seorang pebalap dalam ajang Kejuaraan Dunia Motorcross yang diadakan di Volk Molle. Setelah itu para pewarta foto Skandinavia terus berkiprah dalam kontes yang tahun ini diikuti 5.666 pewarta foto dari 124 negara yang menampilkan 103.481 karya. Sementara di awal dekade ini (1999), baru sekitar 3.733 yang tercatat sebagai peserta, 116 negara dengan 36.836 karya foto jurnalistik.

Hansen meraih citra terbaik WPP tahun ini dari cuplikan peristiwa berdarah yang terjadi di jalur Gaza. Kawasan Palestina ini merupakan areal yang tahun ini menjadi lokasi terbanyak kedua yang memperoleh pemenang (3 pewarta foto), di bawah lokasi berdarah di Suriah (5 pemenang).

Keberadaan ini agak mengabaikan perihal kembalinya "wabah" kejahatan bersenjata oleh pelaku tunggal yang dilakukan warga AS di negeri mereka sendiri. Dimulai dari akhir Juli pada 2012, nyaris setahun persis setelah pembantaian remaja yang dilakukan Breivik di suatu pulau kecil di Oslo, Norwegia. Di bioskop Century di kota kecil Aurora di Colorado, AS, saat penggemar fanatik Batman baru saja duduk menyaksikan penayangan perdana film Batman: "Dark Knight Rise". Sekonyong-konyong seorang psikopat bernama James Eagan Holmes mengamuk lalu menembaki penonton dengan senjata otomatisnya. 12 penonton wafat dan 60 lainnya luka-luka.

Pewarta foto dari Agensi Magnum, Paolo Pellegrin, mengabadikan cerita kemiskinan dan kekerasan narkoba di kawasan berbentuk bulan sabit di Rochester, New York. Karyanya kemudian dicuplik menjadi pemenang kedua dalam kategori General News. Reputasi pria kelahiran Roma tahun 1964 itu tentu adalah suatu jaminan kredibitas dalam fotografi jurnalistik dunia, namun bukankah cerita serupa di AS sudah berkali-kali ditampilkan dalam ajang ini, termasuk yang secara khusus oleh Anthony Suau, Eugene Richards bahkan Mary Ellen Mark. Mereka bahkan mengaitkannya dengan industri militer yang menjadi biang keladi dari seluruh perang dan kriminal secara global.

James Nachtwey, pewarta foto perang yang kini begitu pasifis suaranya akhirnya harus melakukan reportase di kampung halamannya yang hancur oleh tindakan teroris yang meleburkan Menara Kembar New York pada 11 September tempo hari. Kota tua yang dicintai dunia, namun dilumat sekejap oleh pengguna jasa industri militer yang menjadi bisnis utama negaranya.

Meskipun adalah tepat memilih kepingan peristiwa Gaza yang diklik oleh Hansen sebagai perlawanan suara hati pers internasional atas keterlibatan AS dan sekutunya di Timur Tengah yang menjadi ikhwal utama konflik dunia, namun dewan juri WPP tahun ini yang dikomandoi oleh Sebastian Lyon dan 16 anggota dewan juri lainnya yang datang dari kantor pers di 5 benua mestinya juga berhasil menyampaikan konten peristiwa yang signifikan yang berasal dari cikal bakal peralatan yang memicu kekerasan.

AS adalah tanah air senjata api dan rudah balistik nuklir yang sewaktu-waktu dapat digunakan para anarkis dan siapapun pencinta kriminal di seluruh penjuru dunia. Suatu hasil pencapaian teknologi mutakhir peralatan pemusnah manusia yang ironisnya dikembangkan dari Swedia, tanah airnya Alfred Nobel sang penemu dinamit yang kemudian masyhur dengan penghargaan Nobel-nya yang sangat prestisus itu.

Tak ada kejutan berarti yang muncul dalam WPP tahun ini kecuali kekuatan momentum peristiwa yang terekam melalui kamera milik Hansen tadi. Namun yang menggembirakan adalah keberhasilan Lutfi Ali, seorang pewarta foto Solo, kontributor koran berbahasa Inggris Jakarta Globe yang berhasil meraih penghargaan sebagai pemenang kedua kategori Nature dalam format foto tunggal. Dia menambah panjang daftar insan pers Indonesia yang beroleh tempat terhormat di WPP, macam Sholahuddin, Kemal Jufri, Kartono Ryadi, Tarmizy Harva, Zaenal Effendy dan Piet Warbung. Lutfi mengabadikan suatu imaji yang sederhana namun kuat dari sepenggal persiapan penampilan seekor kera bertopeng manusia sebelum melakukan pertunjukan topeng monyet. Foto tersebut diberi judul "Mimin".

Satu lagi lokasi Indonesia yang menjadi tempat kemenangan adalah dalam kategori Sport Action. Namun momentumnya diabadikan Chen Wei Seng seorang fotografer salon anggota perhimpunan The Photographic Society of Malaysia yang dibentuk pada tahun 1956. Chen sendiri baru bergabung dengan perkumpulan para hobbis tersebut pada tahun 2005. Imaji yang diabadikannya dengan lensa panjang adalah foto aksi atraksi tradisional Pacu Jawi, di kawasan Tanah Datar, di Sumatera Barat.

Atraksi lomba ketangkasan mengendalikan sepasang sapi pacu tersebut merupakan suatu kegiatan di antara panen dan dimulainya musim tanam.
Ekspresi joki yang tertangkap kamera Chen mungkin yang menjadi daya tarik utama dari para juri foto olahraga yang diketuai oleh Bill Frakes, fotografer Sports Illustrated yang mengingatkan orang pada adu kereta kuda dalam film klasik Hollywood, "Ben-Hur". Imaji yang mengesankan dewan juri WPP itu adalah atmosfir yang sudah lima tahun belakangan tak lagi menarik bagi para juri foto lokal karena kemungkinan besar akan menggesarnya dari meja pertarungan begitu imaji tersebut tampil dalam suatu lomba.

Namun satu hal lagi yang menarik dari WPP 2013 ini adalah pengaruh dari fenomena post-processing laboratorium alias kamar gelap jaman digital yang menghiasi majalah-majalah berita besar di dunia termasuk Time. Mirip seperti program yang kerap digunakan para fotografer wedding kala mendandani wajah para kliennya. Para pewarta foto dapat melakukan sendiri post-pro ini, atau bagi sejumlah nama besar, cukup menyerahkan file-nya pada ahlinya.

Lima tahun belakangan sejumlah perusahaan yang bergerak dalam jasa citra ini terus bermunculan. Sebagai penyelaras akhir secara visual sebelum digunakan klien-klien mereka, 10b Lab, misalnya, adalah salah satu penyedia jasa kamar gelap digital paling berpengaruh di dunia fotografi jurnalistik saat ini. Pewarta foto dari agensi Magnum, Noor bahkan VII, adalah klien mereka.

Pendiri lab digital itu adalah Claudio Palmisano, seorang pemrogram komputer, dan sohibnya Francesco Zizola. Pewarta foto Finbarr O’Reilly, Paolo Pellegrin, Marcus Blesdale dan Yuri Kozyrev adalah pengguna jasa mereka sejak lama. Pada karya Hansen, meskipun post-pro tak dikerjakan oleh 10b, namun polesan kamar gelap digitalnya cukup kental terasa.

Mari simak dramatisasi keselarasan atmosfir warna pada peristiwa yang terekam dalam lensanya.

Suatu pengontrolan diri yang luarbiasa dilakukan Hansen dalam pusat pusaran konflik di dunia. Dengan speed 1/800 dan ketajaman ruang f.5, di suatu pencahayaan yang cerah, dengan kamera canggih Canon 5D Mark III, Hansen berlari kecil di depan iring-iringan jenasah kakak beradik Suhaib dan kakaknya Muhammad Hijazi yang digendong sanak keluarga menuju ke masjid terdekat untuk prosesi pemakaman.

Anak-anak Palestina ini adalah korban serangan roket maut Israel yang menghantam kediaman mereka di Gaza. Ayah mereka, Fouad, wafat seketika setelah serangan sementara ibu mereka tengah menjalani perawatan darurat di RS Gaza. Rekaman momentum peristiwa yang diabadikan Hansen tentu adalah peristiwa lapangan yang sesungguhnya.

Namun penentuan dramatisasi polesan kamar gelap digital Hansen atas kondisi atmosfir lapangan rasanya tak lagi sepenuhnya realistis. Apalagi pencapaian teknologi fotografi digital kini dapatlah dikatakan telah melampaui kemampuan teknis penglihatan aktual mata manusia. Sehingga pengertian realistis secara konvensional tetaplah suatu landasan pokok perihal kesaksian yang diabadikan dalam nurani kamera setiap pewarta foto.

Macam pengertian pleonasme, suatu majas atau gaya bahasa yang artinya kurang lebih seperti kalimat yang menggunakan kata-kata lebih dari yang dibutuhkan. Semacam kosmetika dalam fotografi jurnalistik.

Jika tata rias yang simpel telah cukup membawa kesaksian visual seorang pewarta foto dalam karya fotografi jurnalistiknya yang jujur, kenapa imaji tersebut harus didandani secara berlebihan dan menor seperti para programer yang memoles wajah para balon eksekutif sedemikian rupawan dalam spanduk pilkada yang mengotori sudut-sudut pemandangan kota.

Pesta gemerlap di The Dolby Theatre telah usai, para pembuat imaji fiksi dalam cinematografi dunia telah kembali ke kediamannya masing-masing, barangkali untuk membersihkan kosmetika basa-basi yang menempel di wajah dan bibir ranum para aktris pendukung. Sorot lampu perlahan memudar seolah mengantar mereka kembali ke alam realita kehidupan yang berputar seperti detak jam di dinding. Atau mungkin seperti detak jantung seorang pewarta foto yang tengah berjalan menyusuri lorong terakota usai meliput perhelatan besar yang barusan berlalu. Kemudian dia sempat membaca selintas tagline dalam baliho film "Argo" yang tersapu kilatan lampu mobil. Begini bunyinya, "The movie was fake, the mission was real".

oscar motuloh
pewarta foto Antara

Foto: Sutradara dan produser Ben Affleck (kiri) dan produser Grant Heslov dan George Clooney (kanan) menerima Piala Oscar untuk kategori Film Terbaik untuk "Argo" di ajang Academy Awards ke-85 di Hollywood, AS, Minggu (24/2). (ANTARA/REUTERS/Mario Anzuoni)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 26/02/2013 11:07