Harimau! Antara Fergie, Mou dan Mochtar Lubis

Selasa malam yang cerah di Old Trafford, Manchester, 9 Maret 2004. Cahaya lampu stadion memberkas pada raut sumringah wajah-wajah pendukung tuan rumah yang suaranya terus membahana sejak tandukan Paul Scholes, destroyer Manchester United, merobek gawang kiper veteran kesebelasan Porto, Vitor Baia, pada menit ke- 31. Detik-detik penghujung laga telah menjelang. Cakrawala stadion angker itu terus menggemuruhkan rapalan puluhan ribu fan Setan Merah yang berharap wasit segera menyudahi laga yang menegangkan itu. Jarum jam di stadion seolah bergerak amat lambat. Anak-anak Manu berusaha mempertahankan kemenangan. Mereka pikir tandukan semata wayang Scholes cukup untuk memulangkan kesebelasan elite Portugal itu kembali ke pelabuhan mereka di Lisbon sana. Apalagi Manu memiliki keunggulan gol tandang, meskipun mereka kalah 1-2 pada laga pertama. Namun begitulah sepakbola, selalu ada keajaiban yang menyertainya.

Di bench, Alex Ferguson, pelatih gaek asal Skotlandia itu tampak tegang sambil sibuk mengunyah permen karet. Sesekali dia melirik jam tangannya, juga ke papan skor raksasa yang terletak di sebelah utara stadion. Seolah itu adalah waktu yang berbeda. Semua hati menanti lengking merdu peluit panjang Valentin Ivanov, sang pengadil pertandingan dari Rusia. Pesta sesungguhnya telah siap digelar, tapi kenapa peluit tak juga dihembuskan, padahal sekarang waktu telah menunjukkan menit ke-90? Lalu takdir menggiring sejarah pada detik-detik berikutnya. Penyerang Benni McCartney mengambil tendangan bebas. Umpannya melambung ke arah gawang Tim Howard. Seperti mata berjiwa, gelandang Porto Fransisco Costinha melompat mendahului dua bek yang menempelnya dengan ketat, Wes Brown dan Philip Neville. Tandukannya memutar arah bola dengan kencang ke sudut kanan tiang yang gagal diantisipasi Tim Howard, kiper yang direkrut dari negeri Paman Sam. Gol yang kemudian menjadi musabab kenapa Howard tersingkir ke Everton yang dilatih David Moyes.

Sementara itu di kubu Porto, bersamaan dengan peluit panjang yang membunuh Old Trafford, pelatih fenomenal mereka yang malam itu mengenakan mantel hitam panjang sedikit di bawah lutut juga tengah menorehkan sejarahnya. Dia berlari ke lapangan dan melampiaskan kegembiraannya di depan bench Fergie yang hanya bisa terpana sekaligus tampak kesal melihat gaya tengil pelatih muda yang empat tahun berikutnya bakal menjadi musuh bebuyutan yang seru di Liga Primer Inggris. Dia adalah Jose Mourinho alias Mou yang setelah kemenangan sensasional itu sukses melindas AS Monaco 3-0 dalam partai final Champions 2004 di AufSchalke Arena, Gelsenkirchen, Jerman. Setelah sukses menakhodai Porto, era kepemimpinan Mou beralih ke Inggris. Di Chelsea kepemimpinan modern Mou segera membuahkan hasil. Berbeda dengan Fergie yang cenderung memimpin dengan otoriter, maka Mou adalah pelatih demokratis yang sesungguhnya. Dia bekerja mirip dengan etos yang digarap Larry King dan Oprah Winfrey di pentas jurnalisme televisi mereka.

Meskipun terkesan arogan, sesungguhnya Mou amat cerdik untuk melakukan perang urat syaraf dengan rival-rivalnya. Dia juga pandai memanfaatkan pers. Simbiosis mutualisme tepatnya. Mou adalah Muhammad Ali-nya para superstar pelatih sepakbola dunia. Dia pelatih flamboyan, bahkan dengan pede dia menyebut dirinya "The Special One", karenanya Sang Istimewa selalu ditanggapi pers dengan dahaga yang tinggi. Padahal Mou sesungguhnya hanyalah simbol di depan sebentuk tim riset, publikasi yang luar biasa kuat mendukung proyek kepemimpinannya. Mou memiliki kru sampai berjumlah lebih dari dua lusinan orang. Dia punya sejumlah asisten di bidangnya masing-masing. Dengan gaya kerja begitu, Mou seperti juga Oprah dan Larry segera menjadi ikon yang menjadi merek dagang tersendiri. Kepemimpinan empat tahun Mou di Chelsea sangat memberi warna. Bukan sekadar di pentas namun juga di belakang panggung teater sepakbola Inggris yang seru, kompetitif sekaligus menghibur. Pendelegasian kewenangan yang efektif tentu membuat Mou punya banyak energi untuk mengurusi hal-hal lain yang strategis sifatnya.

Sayangnya, setelah sukses mengantar klub Porto sebagai juara Champions, Mou kemudian berlabuh di Chelsea dan menebarkan energi positif di sana. Selepas dari Stamford Bridge, Mou hijrah lagi untuk mempersembahkan trofi Champions bagi raksasa Italia, Inter Milan setelah memimpikannya selama 26 tahun. Mou kemudian hengkang lagi ke klub kaya raya Real Madrid dengan obsesi meraihkan supremasi Eropa bagi Los Blancos, tapi sekaligus melampiaskan syahwat obsesinya untuk menjadi pelatih pertama di dunia yang mampu menggapai tiga trofi Liga Champions di tiga klub yang berbeda. Mou yakin Madrid adalah klub yang paling lengkap kualitasnya untuk memenuhi ambisinya. Tiga tahun penantian presiden Madrid Florentino Perez ternyata sia-sia, sementara buku biografi Sang Istimewa yang diberi tajuk lebih jumawa lagi, "Mourinho: the Only One" (Manuel Pereira, 2012) telah keburu beredar bahkan dengan prolog yang ditulis oleh Jorge Mendez, agen Mou sendiri. Penerbit tentu mengharapkan obsesi Mou menjadi kenyataan, tapi Juergen Klopp dan anak-anak BvB melindasnya pada partai semifinal Liga Champions untuk menjejakkan impian Mou tergeletak di tanah realita.

Berbeda dengan manajemen kepemimpinan yang dibangun Fergie. Dengan gaya konservatif selama 26 tahun, Fergie adalah pelatih langka pada awal milenium ini. Karakter keras kepalanya tegar bak karang di pulau Orkney. Di sesi latihan, kamar ganti dan di bench pertempuran, Fergie adalah harimau. Anak pesisir Skotlandia itu dikenal sebagai "Fury Fergie", alias Fergie Si Pemberang sejak dia masih menangani klub St. Mirren dan Aberdeen yang sukses dinakhodainya sebelum berlabuh di Old Trafford, rumah abadinya kelak. Di markas besar yang keramat itu, kekerasan hatinya selalu ditanggap sebagai bagian dari sifat kebapakan yang sangat protektif dalam melindungi anak-anaknya. Hanya kemenangan menjadi satu-satunya cara untuk menghibur sekaligus melindungi martabat keluarga besar Setan Merah. Fergie bagi anak anak-anak Manu barangkali mirip seperti mendiang Cus d’Amato di mata seorang Mike Tyson.

Tipikal kepelatihan Fergie nyaris absolut. Hampir seluruh keputusan sentral bertumpu pada dirinya. Seperti Mou, Fergie juga memiiki banyak kru tapi semua hanya berfungsi untuk menjalankan perintahnya. Dia tidak melakukan misi kreatif seperti yang dikembangkan Mou secara canggih. Meskipun dua-duanya anak pesisir, Fergie tentu lebih sarat perihal makan asam-garamya kehidupan, ketimbang Sang istimewa yang barangkali punya lebih banyak waktu untuk mengatur jadwal pencitraan sebagai coach yang digandrungi pers di negara manapun dia melatih. Mou menghormati Fergie, namun mereka selalu bersaing secara sportif. Sesekali Mou melontarkan kata-kata sinis bagi Fergie yang keburu menjadi "the capo" bagi para pelatih Inggris karena begitu lamanya dia bercokol di satu klub saja. Meskipun telah lama beredar isu pensiun di semilir riuh pertandingan dan berita internasional yang berdarah-darah, pernyataan rencana pengunduran diri Fergie yang kini telah berusia 71 tahun pada penghujung musim tahun ini tetaplah menjadi berita yang mengejutkan.

Apalagi ini dilakukannya setelah Manu berhasil mencapai gelar juara Liga Primer-nya yang ke-13 dalam 26 tahun kepemimpinannya yang gilang gemilang. Fergie juga telah menghadirkan dua gelar paling prestisius di Eropa yakni Liga Champions bagi Manu. Belum lagi 5 Piala FA, 4 Piala Liga, 10 Community Shield, 1 Piala Winner, 1 Piala UEFA, 1 Piala Super Eropa, 1 Piala Interkontinental, serta 1 Piala Dunia Antarklub. Sejarah segera mencatatkan nama Fergie, sang harimau pengabdi setia Setan Merah dengan tinta emas. Di lapangan Ahad (12/5) malam lalu, pada laga ke seribu empat ratus sembilan puluh sembilan bagi legenda hidup Manu itu, poros halang veteran Rio Ferdinand berhasil merobek gawang Swansea, satu-satunya klub yang berasal dari Wales di Liga Primer Inggris, yang dijaga Gehrard Tremmel pada penghujung laga. Kemenangan 2-1 atas Swansea seperti mengulang memori dalam karir Fergie. Dua puluh tahun silam, Fergie meraih trofi pertamanya sebagai pelatih Manu juga oleh gol penentuan yang dilakukan mantan bek tengah legendaris Gary Pallister dengan cara dan waktu yang sama.

Kemenangan adalah kado istimewa dari seluruh pemain dan kru untuk menghormati sang legenda Setan Merah yang musim depan tak lagi akan berteriak-teriak dari pinggir lapangan dengan wajah cemberut sambil terus mengunyah permen karetnya. Tak ada lagi si pengering rambut, julukan internal bagi Fergie yang gemar menyemprotkan makian dan teriakan motivasi hanya beberapa milimeter dari jidat pemain-pemainnya yang tampil di bawah form. Minggu malam itu, cakrawala stadion penuh dengan wajah sukacita yang bermandikan berkas cahya gemerlap penganugerahan gelar ke-13 trofi Liga Primer Inggris yang berlangsung begitu meriah dan penuh kegembiraan. Wajah ceria tergambarkan dari Fergie yang tegar dan tetap berkharisma ketika dia mengangkat tinggi-tinggi lambang supremasi tertinggi bagi klub di daratan Inggris itu. Anak-anak asuhnya seperti Robin Van Persie, Shinji Kagawa, Nani, Phil Jones, Chicharito dan bek tangguh Rio Ferdinand yang menutup laga dengan gol penentuan tadi berteriak melampiaskan kegembiraan.

Kedatangan West Brom Albion di Old Trafford pada Minggu (19/5) malam nanti akan menggenapkan kiprah 1.500 pertempuran Manu bagi Fergie sepanjang karirnya. Pesta mesti berakhir, karena fiesta Liga Primer telah tiba di penghujung musim. Era kepemimpinan Fergie akhirnya ditutup dengan happy-ending. Pelatih anyar David Moyes segera hijrah dari Everton untuk mengisi pos yang ditinggalkan tentu atas restu Sang Harimau!. Musim baru nanti pasti sangat berbeda, karena Mou akan hadir kembali (barangkali) di Stamford Bridge. Rafael Benitez yang barusan mempersembahkan trofi Liga Eropa bagi "The Blues" pada Kamis (16/5) dinihari dipastikan akan pergi bersama takdir Roman Abramovich. Peter Drucker, junjungan manajemen dunia, mensyaratkan perihal pemimpin yang efektif adalah mereka yang berpikir berlandaskan pada misi organisasi yang telah dibangun, mendefinisikannya, menegakkannya secara jelas dan nyata. Fergie telah merefleksikannya dengan elegan. Di altar hijau saat bola-bola mengaumkan hasratnya, jiwa Fergie masih menggelinding di sana.


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Foto: Pelatih Manchester United Alex Ferguson bertepuk ke arah penonton saat tiba di Old Trafford untuk terakhir kalinya sebelum pensiun (Reuters/Phil Noble)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 17/05/2013 14:06