Achtung! Achtung! Achtung! Herr Guardiola

Gaya seseorang konon sangat sulit untuk diubah meski kiamat sudah di depan mata. Tapi demi tuntutan bos besar, maka semuanya mendadak bisa diatur. Kata orang, itulah hakekat yang sesungguhnya atas makna dari kata "profesional".

Josep Guardiola sekarang berpredikat seorang pelatih besar dunia. Tahun delapan puluhan Pep adalah gelandang andalan Johan Cruijff saat membesut tim kebanggaan orang Katalunya, termasuk kala Barca meraih trofi hegemoni Eropa pertamanya pada tahun 1990. Pep adalah alumnus akademi sepakbola La Masia bersama Tito Vilanova yang kemudian dia rekomendasikan sebagai pelatih tapi kemudian mundur karena menderita kanker. Setelah menikmati privasinya selama semusim, Pep kemudian menerima tawaran raksasa Jerman, Bayern Munich, untuk kembali berlatih.

Tadinya Pep diharapkan akan datang pada saat yang tepat setelah Jupp Heynckes menyatakan akan pensiun pada musim kompetisi lalu, musim dimana dia harus membuktikan bahwa vendetta atas trofi yang dicuri Chelsea harus menjadi kenyataan. "It's Now or Never", begitulah mungkin yang diingatnya dari belaian lagu Elvis Presley yang amat populer di Jerman Barat saat Heynckes masih remaja. Tapi dengan rumor yang beredar perihal kedatangan Pep yang kian menjadi kenyataan, maka Heynckes jelas akan menggandakan motivasinya untuk melakukan tak sekadar pembalasan. Dia harus meraih dua-duanya demi harkat dan wibawanya. Yang kedua tentu untuk membuat Pep menjalani pengembaraan sengsara yang penuh tantangan. Heynckess berhasil meraih supremasi Eropa saat timnya mempersembahkan kampiun Liga Champions sebagai buket perpisahannya.

Jadilah Pep yang keburu digunjingkan pers sebagai juru selamat Bayern harus menerima kredibitas dirinya kini lebih harum ketimbang dupa teragung di bumi. Suatu pujian yang terlalu dini. Beruntung Pep adalah pemain dan pelatih yang membumi sehingga dia tak membiarkan dirinya melayang ke langit ke-tujuh seperti Maradona saat melatih Argentina sebelum dipermalukan tim Jerman.

Pep harus mampu menjaga diri meskipun pers Jerman ramai menyambut sang pangeran baru yang telah menjadi raja terhebat Barcelona. Pangeran harus membuktikan diri pantas menggantikan raja tua yang mundur dalam ekstasi prestasi. Raja tua yang sempat melibas kerajaan Pep tanpa ampun. Bertekuk lutut di Allianz dengan skor 0-4, sementara di Camp Nou, tuan rumah dipermalukan di depan publik sendiri yang hanya bisa ternganga-nganga sambil mengucurkan airmata. Barca 0 - Bayern 3. Heynckes menutup sejarah suksesnya dengan kepala terangkat ke langit. Dialah kaisar Bavaria yang sesungguhnya, berdiri di kutub bumi Katalunya yang ditaklukkannya dengan kebesaran yang sesungguhnya.

Heynckes jelas bukan raja sembarangan. Bukankah di tahun 1998 dia juga yang memberikan trofi Champions untuk Real Madrid? Sayang, dia tetap dijentik keluar karena Real hanya bercokol di posisi ke-empat dalam liga domestik Spanyol. Jauh di bawah sang juara, Barcelona.

Kepergian Heynckess dengan segala tiga mutu manikam dan semerbak sejuta wewangian membuat Pep berada di ujung jalan sengsara sebagai pelatih. Sekarang Pep hadir sebagai pangeran yang tepat di tempo yang salah. Seandainya si raja tua itu gagal menaklukkan Barca atau dijegal oleh anak-anak kuning-hitamnya Klopp dalam final Liga Champions di stadion megah Wembley akhir Mei lalu, ceritanya mungkin bakal lain. Sekarang Pep malah diwasiati sebentuk bonus berupa satu tiket untuk berlaga dengan 6 tim kampiun global lain di kompetisi Piala Dunia Antar Klub yang bakal digelar pada medio Desember nanti di Maroko.

Dengan demikian Pep sangat sadar bahwa dia harus membangkitkan moral atlet sepakbola yang masih teler eforia seusai menuntaskan hasrat fans dan bos manajemen Bayern untuk meraih kembali supremasi Eropa setelah hanya dipandang sebelah mata sejak tahun 2001. Dari urusan prestasi, apalagi yang bisa dia lakukan setelah semua ambisi raksasa Bavaria telah dituntaskan dengan indah oleh Heynckes? Sang raja tua itu sekarang menikmati privasinya dengan bahagia bersama keluarga yang dicintainya. Impian telah diperolehnya pada saat yang tepat. Dia menyorongkan mahkotanya yang hanya bisa dikenakan sang pangeran pada saatnya nanti, setelah Pep mampu melampaui prestasi dan prestise gemilangnya sejauh ini.

Di luar bonus Piala Dunia Antara Klub nanti, sekarang Pep harus mampu meraihkan satu lagi ambisi yang belum kesampaian bagi sang raja tua, para suporter dan bos besar Bayern Munich, Karl-Heinz Rummenige. Jalan pertamanya tentu debut yang indah agar juara Bundesliga bisa diraihkan demi final Liga Champions pada bulan Mei tahun depan. Pep diwajibkan memenangkan supremasi Eropa tersebut. Itu berarti sang pangeran berhak menjadi raja Bavaria, sebab Pep berhasil mempersembahkan sebentuk sejarah yang telah bertahan 23 tahun, yakni Bayern bakal menjadi satu-satunya tim juara Eropa pertama yang mampu mempertahankan Liga Champions, sejak AC Milan yang dijuluki the Dream Team meraih dua trofi supremasi Eropa itu secara berturut-turut (1989 dan 1990) sekaligus menyambut akhir dekade milenium lama.

Baiklah kita tak usah menilik apa yang dilakukan Pep sebelum ajang perdana Bundesliga 2013-2014 yang melibatkan Bayern vs Moenchengladbach di markas besarnya tim Bavaria tersebut, Jumat (9/6). Kita langsung menatap hasilnya. Dengan kostum yang selalu tampak kekecilan pada tubuhnya dan wajah yang mulai terlihat brewokan, Pep terlihat sama gayanya ketika berada di bench Camp Nou dulu.

Menit ke-12 Arjen Robben mencetak gol dan tiga menit kemudian Mario Mandzukic menambahnya. Di pinggir lapangan Pep terlihat sumringah. Tapi saat kita melihat orang-orang jangkung Bayern memainkan pola seperti tiki-taka Barca, anak-anak Gladbach meningkatkan determinasi permainan. Mereka terus menekan sampai Manuel Nueur terpaksa memungut bola dari dalam gawangnya akibat gol bunuh diri yang dilakukan Dante sebelum babak pertama berakhir.

Meskipun masih terlalu dini untuk dibahas, namun adonan Pep memang masih suam-suam kuku. Karena belum matang maka tim memperlihatkan kegamangan dalam bertempur. Menit ke-68, Thomas Mueller gagal menceploskan bola penalti ke gawang Stegen. Beruntung David Alaba mampu merevisi gol tersebut dengan mencetak gol dari titik putih yang sama saat Bayern beroleh satu lagi hadiah penalti. Sebuah kesempatan emas yang tak disia-siakan salah satu pemain belakang terbaik di dunia tersebut.

Unggul dua gol tak memperlihatkan Bayern menguasai area pertandingan dengan dominan. Kegigihan Gladbach yang tak memperlihatkan kegentaran menegaskan pemeo bahwa tim juara memang akan selalu kesulitan menghadapi ambisi penaklukan lawan. Ini baru pertandingan perdana. Jalan masih terlalu panjang ke depan untuk sang pangeran dan tim kesayangan rakyat Bavaria itu.

Pep harus mampu menghilangkan kecanggungan dari macam-macam pola yang telah dicobanya dalam sejumlah pertandingan Bayern sejak kedatangannya di Allianz. Dia menerapkan 4-1-4-1 sebelum final Piala Audi awal Agustus lalu. Meski menang telak, namun kagok melihat permainan Bayern kala itu. Dalam final melawan Manchester City, Pep menjejalkan pola favoritnya di Barca 4-3-3, dan bahkan dengan jebakan False 9 ala Del Bosque yang indah karena karakter permainan klub dan timnas Spanyol telah mendarah daging dalam nadi seperti itu. Beruntung Bayern masih mampu mencetak kemenangan tipis atas City untuk menyimpan kembali Piala Audi di lemari koleksi trofi di Allianz. Pep yang terkenal piawai dalam mengurusi persoalan psikologis di antara anak-anak asuhnya kini mulai diuji kemampuannya.

Tujuh belas tim peserta Bundesliga lain pasti memiliki hasrat menggebu untuk mengalahkan kampiun Bavaria ini. Gladbach telah memberi contoh yang baik bagaimana mereka menghadapi juara treble tahun lalu dengan berani dan percaya diri. Badai itu akan selalu menerpa setiap pekan, sementara Pep dengan penampilan dan gayanya tentu tak diharapkan menjadikan Bayern seperti Barca, tim terbaik dunia yang pernah mereka permalukan untuk memberi Bayern jalan ke tangga juara di Wembley.

Bayern adalah sebentuk tim dengan karakter yang sangat Jerman, meski tak lagi sekental jaman Rummenige yang masih didominasi pemain lokal. Sekarang dunia dan blantika sepakbola telah berubah. Pluralisme juga merambah Bayern, sehingga Pep harus menjadi pelatih yang kosmopolitan, pandai meracik keberagaman sebagai kesuksesan. Jika Pep gagal mengendalikan gaya di musim perdananya ini, maka dia akan kembali ke Spanyol lebih cepat. Ini klub kontemporer, bukan tim sepakbola nasional.

oscar motuloh

Foto: Pep Guardiola saat masih di Barcelona, 2012 (Antara/Reuters/Albert Gea)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 12/08/2013 11:26