Darah dan Garam Dunia

"Kami adalah binatang buas. Umat manusia merupakan gerombolan fauna yang mengerikan. Histori kita adalah sejarah peperangan. Semuanya bak kisah yang tak berujung, suatu hikayat jaman edan."

Dalam tatapan hampa, Sebastiao Salgado Jr, pewarta foto kawakan berusia 71 tahun asal Brazil, mengucapkan untaian kata-kata di atas dengan lirih dan terbata. Kalimat paradoks kala dia menjadi narator dalam film dokumenter biografi perihal perjalanan hidupnya yang diberi tajuk "The Salt of the Earth" (110 menit). Tiao, begitu ayahnya memanggilnya, adalah saksi mata global atas beragam peristiwa yang kemudian menjadi sejarah. Sejarah yang terekam melalui kamera sebagai perpanjangan optis jiwanya. Pada imaji karya-karya Tiao, melekat kesaksian dan opini visual yang tak sekadar mengundang decak kagum pada alam, perjuangan hidup dan harkat orang-orang biasa. Namun sekaligus perihal kekejian manusia yang tak pernah terbayangkan oleh pikiran dan syaraf kemanusiaan.

Dia bukan pewarta foto tipe "hit and run" yang mengabadikan nestapa dalam kumparan shutter yang berputar seperti mesin jahit. Tiao adalah seorang fotografer yang mendudukkan sikap sebagai prinsip fundamental dalam setiap imaji terutama pada foto-foto masyarakat akar rumput yang dibuatnya. Pada perjalanan ke Afrika di tahun 1994, dia bergabung dengan rombongan besar pengungsi Tutsi. Mereka menyingkir dari kampung halaman yang berubah menjadi neraka di Rwanda. Tiao berjalan beriringan dengan rasa takut yang merambah jiwa mereka. Padanya denyut penderitaan para pengungsi selama pekan-pekan perjalanan terasa sungguh getir dan memilukan.

Tak kurang dari dua ratus ribu anak manusia, di jalur itu saja, hijrah menghindari skenario genosida atas etnis mereka. Pada ruas-ruas jalan raya Kigali terbentang kolom-kolom hijrah maut tersebut. Sepanjang 150 km, sejauh itu pula Tiao menyaksikan mayat-mayat bergelimpangan menutupi marka-marka jalan. Dari imaji yang dibuatnya, kita dapat merasakan betapa berharganya sebentuk kehidupan. Saat nyawa sama sekali tak lagi ada harganya.

Genosida di Rwanda, menyelinap seperti wabah. Dia terjadi di negeri pecahan Yugoslavia dan seterusnya. Deretan perjalanan Tiao membuat kita seperti turut menyinggahi pentas requeim yang tak berujung. Sejarah buram kemanusiaan berulang terjadi. Dunia kelu tak bersuara. Pada jejak itu, sutradara dunia berkebangsaan Jerman, Wim Wenders dan putra sulung Tiao, Juliano Ribeiro Salgado mengarahkan "The Salt" dengan Tiao sebagai tokoh sentral yang membawa narasi panji kemanusiaan dalam belantara fotografi jurnalistik yang ganas nan bengis.

Menghindarkan film doku-bio dengan selipan narasi di sana-sini yang kerap menggelincirkan cerita menjadi semacam "khotbah" pagi hari, maka Wenders dengan piawai menyelipkan plot pertalian keluarga di antara Sebastiao Salgado Sr, Tiao dan Lelia istrinya, serta Juliano yang kemudian juga memilih karir di bidang sinematografi. Alur cerita lalu terkoneksi secara personal di antara tiga generasi Salgado. Didukung tim sinematografi (Hugo Barbier dan Jualiano) dan editor Maxine Goedicke yang rancak, film menjadi hidup, mengalir dengan lancar. Menyingkirkan kesan lamban dan bertele-tele seperti kebanyakan film dokumenter.

Materialisme, yang dianggap menjadi biang kerok peradaban, membuka tabir "The Salt". Melalui reportase Tiao pada tahun 1986 di tanah airnya sendiri, foto esei itu menggelinding ke lokasi di suatu Gunung Gundul, alias Serra Pelada, yang terletak di kawasan hulu sungai Amazon. Pada lokasi tersebut, jauh di keraknya, terdapat tambang emas raksasa yang dikelola secara tradisional. Di area seluas 430 km persegi itu 100 ribu buruh berjejal dalam satu lubang besar. Mereka bekerja dengan mempertaruhkan nyawa. Dalam saujana kolosal, kita seperti merasakan suara lenguh dan nafas berat seratusan ribu buruh membahana cakrawala lembah. Mengalun seperti tembang blues, pada tambang yang menggurita.

Tiao terperanjat mengamati apa yang dilihatnya. Dia teringat pada kitab suci yang mengisahkan pembangunan menara Babel sebagai simbol ketamakan manusia. Sekonyong-konyong kamera membawa kita melihat saujana di kawasan taman nasional Lorentz di Papua Barat dari ketinggian. Di sana Tiao mendarat dengan pesawat propeler kecil dan bergabung dengan masyarakat suku Yali yang bermukim di kawasan Yahukimo, di pegungunan Jayawijaya. Mungkin Tiao ingin kita membayangkan Serra Pelada dengan telaga polusi di tengahnya. Yang mirip seperti tambang Grasberg di kawasan pegunungan Jayawijaya, sebelah Barat Yahukimo. Bedanya tambang Serra Pelada ditutup pada 1986, sementara emas terus ditambang dari bumi Papua sampai beberapa tahun ke depan.

Pada sepenggal adegan, ayah Tiao, dalam suatu wawancara di ranch ternak miliknya, menyebut bahwa anaknya memang berjiwa pemberontak. Dia menginginkan putranya menjadi seorang pengacara. Namun Tiao berkeras memilih jalur ekonomi yang kemudian dirampungkannya di Universitas Sao Paulo. Tiao kemudian menjadi ekonom yang bekerja di London. Dalam sejumlah penugasan terutama ke Afrika, dia mulai yakin bahwa fotografi adalah medium yang paling pas untuk mengemukakan opininya kelak. Tiao mempersunting Lelia Wanick, kawannya semasa SMA di Vitoria, provinsi Espiritu Santo, Brazil sebelum hijrah ke Perancis karena junta militer berkuasa dengan represif di Brazil.

Di Paris, Tiao menjadi seorang aktivis gerakan sosialis yang kerap melakukan unjuk rasa bersama para pemuda dan mahasiswa yang menentang pemerintahan kelompok Gaulis yang militeristik. Tiao yang menetapkan pilihannya sebagai fotografer lalu bergabung dengan agensi Sygma, kemudian masuk Gamma pada tahun 1974, bersamaan dengan kelahiran Juliano, putra sulungnya. Tahun 1977 Tiao kembali ke pedalaman Amerika Latin untuk merampungkan proyek tentang masyarakat tani dan suku-suku terasing. Kisah mereka dihimpun dalam buku foto pertamanya "The Other Americans", yang diterbitkan di Paris tahun 1984.

Dalam perjalanannya di kaki gunung Andes, tepatnya di Equador, dia bersua dengan seorang rahib muda bernama Gabicho. Mereka kemudian bersahabat karib. Gabicho memimpin komunitas pemberdayaan masyarakat tani di kawasan tertinggal. Darinya, Tiao mengenal lebih dalam apa yang disebut sebagai "teologi pembebasan". Aliran yang menjadi harapan orang-orang kecil di periferal yang tak tersentuh kebijakan pertanian pemerintah pusat yang korup. Karakter kerakyatan Tiao semakin terbentuk usai perjalanan itu.

Setelah buku "The Other Americans", Tiao terus berkarya. Fokusnya makin mantap, apalagi setelah dia menerbitkan satu persembahan bagi para buruh industri pada lebih dari 23 negara yang dikunjunginya ("Workers", 1993). Tiao semakin khusuk mendalami fotografi dokumenter sosial dan memutuskan meninggalkan agensi Magnum pada 1994. Agensi sohor yang membesarkan namanya. Tiao dan Lelia membentuk Amazonas Images, agensinya sendiri yang terus dibinanya hingga detik ini.

Tiao kemudian mengangkat tema perjuangan para petani atas tanah mereka ("Terra", 1997), para migran yang mengejar mimpi ("Migration", 2000), bencana kelaparan terburuk dalam sejarah umat manusia ("Sahel: the End of the Road", bersama Doctors Sans Frontiere, 2004) dan karya paling gres, "Genesis" (2014), suatu persembahan menghormati alam semesta. Kerja bareng Tiao dan penerbit Taschen merupakan "monumen" untuk mengingatkan umat manusia betapa hancurnya planet bumi ini oleh proyek menara-menara Babel yang lain.

Tiao mengabadikan foto-foto alam liar yang tak pernah dilakukannya sebelum ini. Dia melakukan perjalanan ke ujung dunia untuk membuat foto-foto yang menjadi representasi sudut-sudut alam yang masih perawan hingga di ujung Artic yang beku. Seraya membayangkan detik-detik kala bumi yang gulita beroleh cahyanya yang pertama (Kejadian atau Genesis). Sampai keanggunan perempuan suku Nenets, yang mengenakan busana khas mereka, saat melangkah elegan di "catwalk" tanah es Siberia Utara.

Pada penghujung film, Tiao tampak bersandar di sebatang pohon besar yang rindang di pelataran pengunungan luas berlembah hijau. Sejauh mata memandang. Padahal betapa gersang dan gundulnya lingkungan tanah keluarga tersebut, saat diwariskan pada Tiao dan Lelia di ujung dekade 90-an. Mata Tiao menerawang ke masa kecilnya di Aimores, provinsi Minas Gerais. Kala tanah yang menghadap perairan Atlantik itu menjadi tempat bermain yang ideal, sebab 75 persen areanya masih diselimuti hutan belantara dan aneka rupa tumbuhan. Sementara saat tanah gundul itu diwariskan pada Tiao kerimbunannya tinggal 5 persen saja.

Bersama Lelia yang setia mendampingi, dibantu sejumlah aktivis lingkungan lokal dan mancanegara, mereka mulai mereservasi kawasan itu. Menanam pohon dan upaya penghutanan lainnya. "Jika aku wafat, biarlah kerindangan ini ada seperti saat aku dilahirkan. Dan begitu seterusnya," kata Tiao. Sekarang, berkat kerja dan kemauan keras, hutan gundul itu sekarang kembali diselimuti hutan belantara baru. Sekitar 2 juta pohon yang tegak di sana menantang matahari. Habitat alam liar juga tampak mulai menemukan performanya karena sejumlah jaguar ditemukan hidup di sana.

Sejak doku-bio ini tayang perdana sekaligus beroleh penghargaan dalam Festival Film Cannes pada Januari 2014, film ini mendapat nominasi di ajang Academy Award awal Maret tahun ini dan sejumlah penghargaan bergengsi lainnya. Bahkan, menjelang penayangan perdananya di Indonesia, pada hari Minggu siang (20 September 2015) di Epicentrum, Kuningan, Jakarta, atas prakarsa Goethe-Institut dan Kedubes Jerman, kisah kebiadaban yang dilakukan kelompok barbarik di kawasan sekitar Syria dan Irak tengah mewabah ke negara-negara berikutnya. Peradaban seolah mundur satu milenium.

Mereka mengkudeta Tuhan seraya mengenakan jubahnya untuk memenggal sambil mengambil adegan bengis dengan kamera "on", ke arah tawanan-tawanan tak berdaya tanpa kepala di badannya. Yang tersungkur bersimbah darah. Menghanyutkan bocah Aylan Kurdi serta sejumlah jenasah tak berdosa di perairan Turki. Jika Tiao dan keluarganya menghidupkan kembali hutan mati, serta aktif mempublikasikan karya-karya sebagai opini visual perihal tonggak peringatan kemanusiaan, maka gospel Tiao hendaknya terus bergelora dan bersinar untuk perdamaian dunia.


oscar motuloh
Galeri Foto Jurnalistik Antara

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 17/09/2015 12:51