MEREKA YANG MENUNGGU DEPORTASI
Kebijakan pemerintahan Joko Widodo dan Jusuf Kalla melalui Kementerian Kelautan dan Perikanan untuk secara tegas menenggelamkan kapal-kapal nelayan berbendera asing terus digelar.
Tindakan tegas tersebut dilakukan bukanlah tanpa sebab. Kapal-kapal nelayan berbendera asing tersebut terbukti secara hukum melakukan penangkapan ikan di wilayah perairan Zona Ekonomi Eksklusif Indonesia (ZEEI) di berbagai penjuru tanah air tanpa dilengkapi dokumen-dokumen perizinan kegiatan penangkapan ikan dari pemerintah Indonesia.
Berdasarkan data dari Direktorat Jenderal Pengawasan Sumber Daya Alam Kelautan dan Perikanan Kementerian Kelautan dan Perikanan, hingga awal Agustus 2015, setidaknya ada 92 kasus tindak pidana kelautan dan perikanan yang ditangani.
Kebijakan ini pun bukannya tanpa akibat. Dampak positifnya adalah selain merupakan bentuk ketegasan pemerintah dalam menjaga kedaulatan bangsa, nelayan-nelayan di berbagai penjuru tanah air juga mengaku bahwa hasil tangkapannya meningkat antara 30 hingga 40 persen.
Kapal-kapal nelayan berbendara asing yang terbukti secara hukum melakukan pencurian ikan tersebut telah ditenggelamkan, namun demikian tidak dengan nahkoda dan anak buah kapalnya.
Nelayan asing yang tertangkap akan diamankan dengan barang milik pribadinya ke wilayah hukum terdekat dari tempat kejadian perkara sambil menunggu dilakukan proses persidangan yang kemudian akan berakhir dengan pendeportasian ke negara asalnya.
Hal itu yang juga terjadi di Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Kawasan strategis yang merupakan garis terluar kepulauan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) ini sering dijadikan area penangkapan ikan ilegal oleh kapal nelayan berbendera asing.
Puluhan bahkan ratusan nelayan asing yang kebanyakan berasal dari Vietnam dan Thailand meringkuk di barak tahanan sementara Pangkalan TNI AL Ranai, Kabupaten Natuna, Kepulauan Riau. Mereka ditempatkan di barak tersebut karena Kabupaten Natuna belum memiliki Rumah Detensi Imigrasi (Rudenim).
Masa menunggu proses persidangan tidaklah sebentar. Banyak dari mereka harus menunggu berbulan-bulan hingga akhirnya mereka diputuskan untuk dideportasi ke negaranya masing-masing.
Komandan Pangkalan TNI AL Ranai Kolonel Laut (P) Arif Badrudin mengatakan pihaknya bertugas hanya melakukan pengamanan wilayah kedaulatan NKRI dengan menangkap para pencuri ikan tersebut, namun bukan untuk menangani proses penahanan kasus keimigrasian seperti yang terjadi saat ini.
“Yang menjadi kendala bagi kami adalah persoalan konsumsi mereka sehari-hari. Kami sudah menjalankan tugas untuk mengamankan laut Natuna dan menangkap mereka, namun untuk biaya makan mereka menjadi persoalan yang perlu menjadi perhatian pemerintah” ungkapnya di Ranai, dua pekan lalu.
Arif mengatakan imbas dari kurang tersedianya anggaran untuk mengurus mereka, aturan keamanan sedikit dilonggarkan demi alasan kemanusiaan. Salah satunya membiarkan sebagian kecil dari mereka untuk mencari penghasilan sendiri dengan membuat kerajinan tangan seperti tempat tidur gantung dan menjualnya ke warga sekitar dan harus kembali ke barak pada sore harinya.
"Kami minta kepada pemerintah daerah maupun pusat agar lebih memperhatikan hal ini, memang mereka itu melanggar hukum, mereka juga manusia yang butuh makan dan hidup layak. Perlu diketahui, anggaran di Lanal ini juga sangat terbatas," kata dia.
Foto dan Teks : Widodo S. Jusuf
Pewarta: Widodo S. Jusuf | Editor:
Disiarkan: 22/09/2015 01:00