DIA YANG MEMILIH NASIBNYA SENDIRI
Alkisah pada suatu masa di zaman kerajaan Jawa abad ke-17, seorang perempuan bernama Rara Mendut menjual rokok lintingan yang dilem dengan jilatan lidahnya. Ia melakukan hal yang dianggap tabu pada masa itu untuk membayar pajak pada kerajaan. Kewajiban tersebut merupakan hukuman yang diberikan penguasa Mataram yakni Tumenggung Wiraguna karena Rara Mendut menolak ia peristri. Rara Mendut memilih nasibnya sendiri.
Kisah lain pada abad ke-19 yaitu tentang perempuan bernama Kartini yang menulis surat berisi tentang persamaan hak antara laki-laki dan perempuan. Yang kini kerap dikenal dengan emansipasi wanita. Kartini memperjuangkan kesamaan hak perempuan untuk memilih nasib, ketimbang hidup dalam penantian dipilih, dipingit, kemudian dipinang.
Pada abad ke-20, kisah kemandirian perempuan semakin nyata karena mereka melakukan sesuatu yang dulu hanya dilakukan oleh kaum adam. Pada abad ini perempuan memilih profesi yang pada zaman dahulu hanya pria yang dianggap mampu melakukannya.
Hal itulah yang dilakukan oleh Agustin Nurul Fitriyah. Tumbuh di lingkungan Jawa dan Islam, justru menjadikan Agustin memilih profesi yang memiliki stereotip kasar dan keras.
Sejak kecil, perempuan yang lahir pada tahun 1980 itu memang dikenal sebagai anak yang keras kepala. Misalnya saja pada saat SMU, ia bersikeras belajar karate yang tentu saja dilarang sang ayah. Ayahnya berpendapat bahwa menjadi perempuan haruslah berperilaku lemah lembut, bukannya justru bertarung di atas sasana. Namun pada saat itu pun, Agustin berhasil membuktikan bahwa ia serius belajar karate dan sanggup meraih gelar pada kejuaraan karate di SMU-nya tersebut.
Selepas SMU ia memutuskan untuk masuk Sekolah Tinggi Ilmu Pelayaran (STIP) di Semarang (kini di kenal dengan Politeknik Ilmu Pelayaran). Keputusannya itu menuai pertentangan dari lingkungan keluarga. Namun dengan alasan supaya tidak membebani keluarga membayar biaya pendidikannya, Agustin tetap memilih bersekolah di tempat itu.
Pada jenjang karirnya, Agustin hidup dalam usaha-usaha membuktikan diri bahwa dirinya mampu melakukan apa yang dikerjakan oleh laki-laki. Membuktikan bahwa kehidupan di laut tidaklah sebebas dan sekeras yang diimajikan orang selama ini, tidak se-flamboyan Jack Sparrow dalam Pirates of Carribean atau identik dengan minuman keras seperti Kapten Haddock, sahabat karib Tintin. Berhadapan dengan laut biru tak bertepi justru mendekatkan diri pada Tuhan, ujar perempuan yang memutuskan berhijab pada beberapa tahun lalu itu.
Usahanya tersebut membuahkan hasil. Ia kini menjadi nakhoda wanita pertama kapal tanker milik Pertamina yang berbobot mati 3500 DWT. Tugas utamanya adalah mendistribusikan BBM ke pelosok negeri dengan jam kerja 7 bulan di laut.
“Saya menginginkan lebih dari ini, membawa kapal yang lebih besar lagi”, katanya. Ia ingin suatu hari nanti diberi tugas menakhodai kapal gas yang besarnya berlipat kali dari kapal yang kini ia bawa. Pertamina memang memiliki dua kapal gas terbesar se-Asia Tenggara dengan rute Indonesia-Aljazair dan Indonesia-Rusia.
Namun di balik sosok perempuan yang berprinsip tak ada yang tak mungkin di dunia ini, Agustin sejatinya adalah manusia biasa. Di daratan, ia tak lebih dari seorang anak yang ingin berbakti pada orang tuanya.
Kebahagiaan baginya adalah dengan menaikkan haji kedua orang tuanya. Ia pun senang memiliki kondisi finansial yang cukup karena dapat menyekolahkan adiknya serta saudara-saudara dari keluarga besar, seperti yang dilakukan bapaknya dahulu.
Foto dan Teks: Rosa Panggabean
Pewarta: Rosa Panggabean | Editor:
Disiarkan: 18/04/2016 17:00