PARADE RAKSASA DARI TEGALLALANG
Desa Tegallalang yaitu daerah pusat seni di pinggiran Kota Gianyar Bali, tiba-tiba begitu ramai dan riuh. Warga di sana begitu antusias menyambut Hari Raya Nyepi Tahun Baru Saka 1939.
Mereka bahkan lebih awal berparade mengarak Ogoh-Ogoh dibandingkan desa lain di Bali yang pada umumnya sehari sebelum Hari Nyepi.
Sejak siang hari mereka berkumpul dalam tujuh kelompok karang taruna membuat persiapan atraksi arak-arakan Ogoh-Ogoh untuk malam harinya.
Ogoh-Ogoh atau boneka raksasa merupakan penggambaran sosok raksasa atau monster menyeramkan yang dapat mengganggu manusia. Sejatinya, monster itu adalah cerminan hal-hal negatif yang dapat meracuni pikiran, perbuatan dan perkataan.
Tujuan utamanya adalah untuk menetralisir berbagai hal negatif di alam, baik alam semesta/ lingkungan atau disebut "Bhuana Agung" maupun dalam diri manusia atau "Bhuana Alit" sebelum menjalankan ibadah Nyepi.
Meski wajah menyeramkan, para remaja di Tegallalang mampu merancang boneka raksasa itu begitu artistik, seakan-akan monster-monster itu nyata hidup saat diarak di jalan raya.
Ribuan warga dari tujuh kelompok masyarakat meluapkan kegembiraan, riuh dengan diiringi gamelan mengarak hasil kreativitas seninya itu berkeliling kampung untuk mengembalikan kekuatan negatif itu ke alamnya.
Oleh karena itu selain untuk ritual tolak bala, parade tersebut juga menjadi ajang adu kesenian sekaligus memupuk persaudaraan di antara mereka. Sehingga ratusan wisatawan domestik dan mancanegara hadir berbaur di lokasi itu untuk menyaksikan tradisi tahunan itu.
Secara keseluruhan di Bali, sedikitnya ada 7.000 Ogoh-Ogoh telah dipersiapkan jauh hari sebelumnya di 1.480 desa adat tahun ini. Arak-arakan akan berpuncak pada Hari Pengerupukan yaitu sehari menjelang Hari Raya Nyepi.
Arak-arakan berlangsung sore hingga malam hari yang menjadi rangkaian upacara Tawur Kesanga yakni ritual kurban untuk menetralisir hal-hal negatif sehingga alam menjadi hening dan damai keesokan harinya.
Pada Hari Raya Nyepi suasana hiruk-pikuk di Pulau Dewata akan terhenti total selama 24 jam. Umat Hindu menjalankan empat pantangan yaitu tidak bepergian, tidak menggunakan api, tidak menikmati hiburan dan tidak bekerja.
Foto dan Teks: Nyoman Budhiana
Pewarta: Nyoman Budhiana | Editor:
Disiarkan: 27/03/2017 16:00