PARA PENJAGA SASTRA JAWA

Suasana kelas macapat di Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Suasana kelas macapat di Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Suasana kelas macapat di Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Bacaan tembang macapat di Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Suasana kelas macapat di Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Kanjeng Mas Tumenggung Projosuwasono sebagai pengampu Sekolah Macapat Krida Mardhawa, Yogyakarta.
Abdi dalem mengikuti kelas pamulangan atau membaca dan menulis aksara Jawa di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abdi dalem mengikuti kelas pamulangan atau membaca dan menulis aksara Jawa di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abdi dalem mengikuti kelas pamulangan atau membaca dan menulis aksara Jawa di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abdi dalem mengikuti kelas pamulangan atau membaca dan menulis aksara Jawa di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Kanjeng Mas Tumenggung Projosuwasono sebagai pengampu macapat di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.
Abdi dalem mengikuti kelas pamulangan atau membaca dan menulis aksara Jawa di perpustakaan kompleks Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat.

Sekar gambuh ping catur,
Kang cinatur polah kang kalantur,
Tanpo tutur katula-tula katali,
Kadaluarsa kapatuh,
Kapatuh pan dadi awon.

Lantunan tembang macapat terdengar sayup-sayup dari bangunan lawas di ujung jalan Rotowijayan, sebelah barat Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat. Sinar mentari sore itu menerobos dari kaca jendela, menerangi ruangan kecil berukuran 3x4 meter tempat pamulangan sekar atau sekolah macapat Krida Mardhawa yang berdiri sejak tahun 1960.

Macapat adalah tembang atau puisi tradisional Jawa. Setiap baitnya mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, yang mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sajak akhir yang disebut guru lagu.

Di Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat awalnya macapat hanya untuk memenuhi kebutuhan tembang Raja dan kerabat. Seiring berjalannya waktu, pada masa pemerintahan Sri Sultan HB VII para abdi dalem keraton diperbolehkan belajar macapat.

Kini sekolah macapat diperuntukan kepada segala lapisan masyarakat, tidak memandang strata, asal-usul, dan usia tanpa dipungut biaya.

Sekolah Macapat Krida Mardhawa menerapkan tiga jenjang kelas, yakni Macapat Sekar Alit (kelas pemula), Sekar Tengahan (kelas menengah) dan Sekar Ageng (kelas utama).

Dalam macapat, alur kehidupan manusia dikisahkan. Bermula dari lahir (Mijil), kanak-kanak (Kinanthi), remaja (Sinom), jatuh cinta (Asmarandhana), pernikahan (Gambuh), manisnya pernikahan (Dhandanggula), getirnya perjuangan hidup (Durmo), menjadi tua (Pangkur), meninggal dunia (Megatruh), dimakamkan (Pucung) dan menanti pengadilan dari Tuhan (Maskumabang).

Macapat sarat akan falsafah kehidupan dan kebijaksaan budaya Jawa. Seperti yang dilakukan mereka yang ikut sekolah macapat yakni untuk melestarikan macapat hingga generasi mendatang dan tetap tumbuh dalam kesantunan layaknya ajaran dalam budaya Jawa.


Foto dan Teks: Hendra Nurdiyansyah

Pewarta: Hendra Nurdiyansyah | Editor:

Disiarkan: 15/12/2017 03:00