TIKI TAKA TRANSLOKASI GAJAH SUMATERA
Gaya tiki-taka telah dikenal lama di dunia sepak bola. Permainan umpan pendek antarpemain yang konon diadopsi dari konsep Total Football Tim Oranye Belanda tersebut, bertambah populer ketika era kepelatihan Pep Guardiola di Barcelona. Umpan-umpan pendek dan gerakan tanpa henti para pemain saat bertahan dan menyerang untuk menciptakan ruang menjadi ciri khas 'ala-ala' tiki-taka tersebut.
Meski tak persis sama, taktik bergerak secara seimbang dari semua lini tersebut agaknya juga coba dipraktikkan Albert Tetanus selaku Koordinator Tim Rescue dan kawan-kawan dari Balai Konservasi dan Sumber Daya Alam (BKSDA) Jambi dan organisasi mitra konservasi Frankfurt Zoological Society (FZS) saat melakukan evakuasi dan translokasi seekor anak Gajah Sumatera (Elephas maximus sumatranus) di Jambi akhir Agustus 2021 kemarin.
Gerakan-gerakan pendek oleh tim rescue yang diposisikan di empat penjuru mata angin berhasil membawa seekor anak Gajah Sumatera seberat 412 kilogram pulang kembali ke habitatnya. Albert yang mengomandoi proses rescue dan translokasi membutuhkan sedikitnya 23 personel untuk mengisi lini depan, samping kanan, samping kiri, dan belakang.
Lini depan berfungsi sebagai penarik, bagian belakang berperan sebagai pendorong sekaligus penahan, sementara bagian samping kanan dan kiri berfungsi sebagai pengarah. Kempat lini tersebut dilengkapi dengan tim tembak dan tim medis untuk mengantisipasi kejadian darurat.
Dalam prosesnya, kejelasan komando, kekompakan tim, dan ketersediaan alat (seperti tali dan kebutuhan medis) menjadi kunci berhasil tidaknya proses evakuasi dan translokasi.
Proses evakuasi sendiri, dimulai di Desa Tungkal Ulu, Kabupaten Tanjungjabung Barat yang berada persis di dekat permukiman penduduk. Evakuasi anak mamalia besar yang berumur sekitar 5 tahun yang selama beberapa bulan sebelumnya sempat terlihat hilir mudik oleh warga sekitar tersebut tak ayal menjadi tontonan. Petugas bahkan dibuat kerepotan saat menyuruh warga untuk memperhatikan jarak aman.
Dari sana, anak gajah sepanjang 130 sentimeter tersebut dibawa menggunakan truk selama dua hari menuju Bentang Alam Bukit Tigapuluh di Kabupaten Tebo atau tak jauh dari kelompok induknya.
Meski terbantu dengan perjalanan truk, proses translokasi pada hari itu sejatinya tetap bertumpu pada tenaga manusia karena kendaraan roda empat hanya bisa masuk sampai ke tepi kawasan hutan. Taktik tiki-taka kembali dilakukan mulai dari penurunan satwa berbelalai itu dari atas truk hingga melintasi kawasan rapat vegetasi di belantara hutan Taman Nasional Bukit Tigapuluh.
Kepala BKSDA Jambi Rahmad Saleh mengatakan, pemilihan lokasi translokasi telah dilakukan secara cermat dan terukur, yakni dengan mempertimbangkan jarak aman pelepasan dan kedekatan jarak satwa dengan kelompok besarnya. Pengukuran yang dilakukan berdasarkan pergerakan GPS Collar tersebut dilengkapi dengan pemantauan manual tim di lapangan. Selain itu, pada jalur sekitar translokasi juga sudah dipasangi kamera pemantau.
Rahmad menceritakan, proses translokasi anak gajah tersebut dimulai dari laporan warga di Kabupaten Tanjungjabung Barat pada akhir Desember 2020. Dalam laporannya, disebutkan bahwa di daerah itu telah ditemukan seekor anak gajah dalam kondisi terjerat tali.
Tak lama dari penerimaan laporan itu, tim BKSDA Jambi segera melakukan pengecekan lapangan sambil membawa tim medis lengkap. Dan menemukan bahwa kondisi kaki anak gajah tersebut sudah terluka cukup parah karena gesekan.
Sejak pengecekan lapangan pertama tersebut tim langsung melepaskan jerat dan memberikan pengobatan, serta dilanjutkan dengan pemantauan lapangan selama beberapa bulan, mengingat jarak antara lokasi anak gajah terjerat cukup dekat dengan permukiman.
Setelah beberapa bulan berlalu, tim pantau lapangan kemudian melaporkan bahwa kondisi kaki anak gajah tersebut telah dinyatakan membaik. Dan barulah setelahnya, disiapkan strategi evakuasi dan translokasi, termasuk pemantauan pergerakan kelompok induknya.
Upaya pemulangan kembali anak gajah betina ke kelompok induknya tanpa menggunakan tenaga gajah jinak atau seratus persen menggunakan tenaga manusia tersebut diharapkan bisa menjadi oasis di tengah ancaman kepunahan populasi mamalia besar khas hutan tropis Sumatera itu.
Foto dan teks : Wahdi Septiawan
Editor : Fanny Octavianus
Pewarta: Wahdi Septiawan | Editor:
Disiarkan: 18/09/2021 19:30