GELIAT TENUN IKAT TANIMBAR

Perajin memilih benang beraneka warna yang menggunakan bahan alami dari daun, kulit kayu dan kunyit di rumah kelompok tenun Ralsasam di Kota Ambon, Maluku.
Penenun muda dan senior kelompok Ralsasam mengerjakan pesanan tenun ikat tanimbar dengan alat tenun tradisional di Desa Tawiri, Kota Ambon.
Pemasangan manik-manik di produk dompet tenun ikat Tanimbar di studio Kabeta Craft, Kota Ambon.
Proses pemasaran secara digital produk dompet dan tas tenun ikat Tanimbar di studio Kabeta Craft, Kota Ambon.
Proses pemotretan produk dompet tenun ikat Tanimbar dengan gawai untuk keperluan pemasaran digital di studio Kabeta Craft, Kota Ambon.
Desainer Wignyo Rahadi (kedua kanan) memberikan hormat setelah menampilkan peragaan busana tenun Maluku di acara puncak Gernas BBI Aroma Maluku, di Kota Ambon.
Sejumlah model memperagakan busana tenun Maluku di acara puncak Gernas BBI Aroma Maluku, di Kota Ambon.
Seorang anggota penenun kelompok Ralsamsam memetik daun Taro yang akan digunakan sebagai bahan pewarna alami dalam pembuatan tenun ikat Tanimbar.
Seorang penenun kelompok Ralsasam menggunakan alat tumbuk tradisional guna mendapatkan sari daun yang akan digunakan sebagai bahan pewarna alami benang tenun ikat Tanimbar.
Sejumlah penenun memasukkan kapur ke dalam cairan pewarna alami saat proses pembuatan kain tenun ikat Tanimbar.
Proses pencelupan benang yang diwarnai secara alami di rumah kelompok penenun Ralsasam di Desa Tawiri, Kota Ambon.
Sejumlah penenun kelompok Ralsasam mencuci benang dengan pewarna alami di sungai di Desa Tawiri, Kota Ambon.
Yoke Mattruti, penenun kelompok Ralsasam menunjukan tangannya yang berwana biru usai mewarnai benang secara alami pada proses pembuatan kain tenun ikat Tanimbar.
Helen Watumlawar, generasi kedua penenun tenun ikat Tanimbar kelompok Ralsasam menggulung benang dengan alat tradisional.
Proses penjemuran benang yang diwarnai secara alami di rumah kelompok penenun Ralsasam di Desa Tawiri, Kota Ambon.



Provinsi Maluku memiliki wastra tradisional tenun ikat Tanimbar, yang dalam perkembangannya terus berevolusi dan kini dipopulerkan dengan sebutan tenun Maluku. Wastra ini bukan sekadar sehelai kain karena terkandung juga warisan tradisi, identitas, dan nilai kebersamaan dalam proses pembuatannya.

Ketika sebagian besar kerajinan tradisional dibayangi masalah regenerasi, tenun ikat Tanimbar hingga kini masih masih bertahan di pelosok kampung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar hingga ke Kota Ambon. Salah satunya adalah kelompok Tenun Ralsasam di Desa Tawiri, Kota Ambon, yang kini sudah bertahan hingga generasi kedua.

"Ralsasam dalam bahasa Tanimbar berarti satu hati. Nama ini diambil ayah saya dari nama Baileo (rumah adat) di Desa Namtabung, Tanimbar," kata Mikel Watumlawar, generasi kedua dari Kelompok Tenun Ralsasam.

Ayah Mikel, Niko Watumlawar yang kini sudah wafat, merintis Ralsasam di Kota Ambon dengan modal Rp250 ribu pada sekitar tahun 1993. Kelompok tersebut juga terbukti bertahan dari dampak pandemi COVID-19, dan tahun ini bisa meraup omzet rata-rata Rp10 juta hingga Rp15 juta per bulan. Sebelum pandemi, permintaan tenun ikat Tanimbar rutin datang dari Belanda dan Amerika Serikat.

Kelompok Ralsasam menaungi sedikitnya 10 penenun tradisional di Ambon, dan banyak lainnya di Desa Namtabung di Kabupaten Kepulauan Tanimbar. Para penenun terdiri dari anak muda hingga orang tua, karena di Desa Namtabung tradisi menenun sudah turun-temurun diajarkan ke anak cucu, baik itu lelaki maupun perempuan. Kain tenun menjadi identitas masyarakat setempat, yang digunakan untuk upacara adat, menyambut tamu, pernikahan, kematian hingga penyelesaian masalah kekerasan dalam rumah tangga.

Keunikan kelompok Ralsasam adalah mempopulerkan lagi pewarna alami untuk benang tenun selain memakai benang pewarna kimia buatan pabrik. Mereka menggunakan kulit pohon mangrove di Tanimbar untuk warna coklat, dan terus berevolusi mencari warna baru menggunakan tumbuhan-tumbuhan. Kelompok Ralsasam kini juga menggunakan daun taro untuk warna biru indigo, warna kuning dari kunyit, jambu biji untuk warna merah, hingga campuran beberapa daun untuk mendapatkan warna ungu.

Penggunaan warna alam prosesnya memang lebih lama, mulai dari mencari daun, proses pembusukan daun dan penumbukan untuk mendapatkan sari warna. Kemudian dilanjutkan proses penyelupan benang ke cairan warna alami, penyucian, penjemuran dan pemintalan benang. Pembuatan tenun dengan pewarna alami bisa memakan waktu sampai dua minggu, dan semakin banyak warna digunakan maka semakin banyak orang yang bekerja.

Perkembangan tenun di Maluku selama dua tahun terakhir juga menciptakan ekosistem yang saling menguntungkan. Produk akhir tenun sekarang beragam, salah satunya lewat industri kecil Kabeta Craft yang mendesain produk sehari-hari dikombinasikan dengan tenun Maluku. Hal ini membuat simbiosis mutualisme dalam pengembangan wastra nusantara dan industri kecil di Maluku.

Foto dan Teks : FB Anggoro
Editor: Andika Wahyu

Pewarta: Fb Anggoro | Editor:

Disiarkan: 25/01/2022 12:35