Membasmi wabah diare di Pesisir Selatan
Raung tangis menyeruak dari ruang anak. Sejumlah ibu memeluk anaknya agar bisa lebih tenang karena balita-balita itu mengalami demam dan sakit perut. Jarum infus tampak menancap di tangan anak-anak itu dengan dibalut perban berlapis-lapis supaya tidak lepas dan tidak melukai.
Saat itu, Selasa 7 Mei 2024), bangsal anak Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Dr. Muhammad Zein Painan, Kabupaten Pesisir Selatan, Sumatera Barat, kondisinya penuh pasien penderita diare. Karena keterbatasan ruangan, pasien yang didominasi anak-anak dan balita tersebut terpaksa dirawat di area selasar bangsal itu menggunakan kasur lipat (velbed) bantuan BNPB. Pasien lain menempati ruangan bermain anak yang diubah dadakan menjadi ruang perawatan.
Pemerintah Kabupaten Pesisir Selatan menetapkan kejadian luar biasa (KLB) wabah diare yang telah merenggut nyawa lima balita. Kasus itu sebenarnya mulai sejak 18 April 2024 atau pascabanjir bandang dengan adanya 255 kasus diare. Peningkatan signifikan terjadi pada 1 Mei sampai 5 Mei yaitu 20 kasus rata-rata per hari.
Rumah sakit itu paling banyak menerima pasien rujukan dari Puskesmas Surantih, Kecamatan Sutera, namun ada juga dilaporkan datang dari kecamatan lain seperti IV Jurai, Bayang, Batang Kapas dan Lengayang. Sepanjang hari, pasien terus berdatangan menggunakan ambulan di rumah sakit itu. Sebagian terpaksa dialihkan ke rumah sakit umum BKM di Painan karena keterbatasan ruangan. Duka Pesisir Selatan ternyata tidak hanya karena banjir bandang pada Maret lalu yang merenggut banyak nyawa, namun berlanjut ke wabah diare.
Setelah ditetapkannya sebagai KLB, pemerintah setempat melakukan pemeriksaan terhadap makanan dan minuman, terutama air minum yang dikonsumsi warga sehari-hari. Kemudian puskesmas-puskesmas disiagakan untuk penanggulangan termasuk dengan memberikan edukasi kepada masyarakat serta anak-anak sekolah tentang pencegahan diare.
Warga kebanyakan tidak mengetahui bahwa air minum yang mereka konsumsi melalui depot galon isi ulang itu tidak diolah atau tidak steril. Banyak depot air minum di daerah itu yang ilegal. Selain itu, sumber mata air Pincuran Angik yang biasanya tempat warga mengambil air minum diduga mengandung bakteri sehingga harus dimasak dengan benar sebelum dikonsumsi.
Berdasarkan data Dinas Kesehatan Pesisir Selatan, saat awal uji sampel air dari sumber mata air itu menunjukkan indeks kontaminasi bakteri E Coli sebanyak 6.300 per 250 mililiter air. Hal itu diduga menjadi penyebab kejadian luar biasa (KLB) diare karena tidak diolah (dimasak) terlebih dahulu. Kondisi pascabanjir bandang memperkuat dugaan penyebab diare karena air minum yang tercemar kotoran, bangkai binatang dan lainnya.
Warga akhirnya memilih untuk membeli air mineral kemasan, atau memasak air galon isi ulang yang biasa mereka beli hingga mendidih, lalu didinginkan. Penjualan air masak pun menjadi pilihan bagi warga yang malas memasak. Salah satu depot air minum ternyata menyediakan air isi ulang yang sudah dimasak dan dijual Rp5.000 per galon yang sama harganya dengan air isu ulang biasa.
Selain pemeriksaan air minum, pihak Puskesmas Surantih diminta melakukan otopsi verbal terhadap korban meninggal, melalui wawancara kronologis dan penyebab diare. Menurut dokter, bayi yang tidak mendapatkan air susu ibu (ASI) membuat korban mengalami dehidrasi berat akibat diare sehingga nyawanya tidak tertolong. Oleh karena itu para bidan desa juga diminta memantau kondisi balita di setiap kampung agar yang masih terkena diare segera ditanggulangi.
Foto dan Teks oleh Iggoy el Fitra
Editor : Nyoman Budhiana
Pewarta: Iggoy El Fitra | Editor:
Disiarkan: 12/06/2024 10:42