Cengkeh sumber kehidupan dan simbol kebersamaan warga Tidore
Di antara jalanan menanjak menuju Desa Gurabunga, Tidore Kepulauan, dengan udara yang sejuk di pengunungan, aroma bunga cengkeh semerbak mulai tercium. Tampak dari kejauhan sejumlah petani berada di ujung-ujung pohon cengkeh memetik bunga-bunganya.
Pada awal Agustus hingga September merupakan musim panen cengkeh di daerah itu. Waktu yang sangat dinanti-nanti oleh para petani. Mereka saling bahu-membahu untuk memanen cengkeh yang telah matang karena selain lokasi perkebunan yang cukup ekstrim, juga cara memanen cengkeh yang cukup menantang yakni petani harus bertengger di ujung-ujung dahan dengan bantuan tangga bambu.
Mereka memetik satu persatu bunga cengkeh yang sudah mulai memerah dan dimasukan kedalam karung yang telah disiapkan. Setelah terkumpul, mereka mengangkatnya dengan melewati tanjakan lereng-lereng pegunungan.
Hasil panen ini tak langsung dijual, melainkan dibawa pulang terlebih dahulu. Di malam hari, para petani saling membantu memisahkan batang dan bunga cengkeh dan keesokan paginya, cengkeh dijemur di tanah lapang dengan mengandalkan panas sinar matahari. Kondisi cuaca yang tidak menentu menjadi kekhawatiran tersendiri bagi para petani. Mereka terpaksa mempersiapkan tenda-tenda darurat di sekitar lapangan untuk mengantisipasi apabila terjadi hujan.
Tidore dan Ternate memiliki sejarah panjang sebagai pusat produksi cengkeh dunia. Rempah yang dulu menjadi rebutan bangsa-bangsa Eropa ini masih menjadi andalan utama masyarakat. Meskipun demikian, budi daya cengkeh di kawasan ini baru dimulai pada abad ke-16, tetapi cepat menyatu dalam kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal. Cengkeh menjadi bagian dari cerita mereka, bukan hanya dalam perdagangan, tetapi juga dalam tradisi dan kebudayaan.
Bagi masyarakat Tidore dan Ternate, cengkeh lebih dari sekadar komoditas ekonomi. Tradisi turun-temurun dalam memanen dan memproses cengkeh, memperkuat ikatan sosial di antara mereka. Di setiap musim panen, suasana kebersamaan tampak jelas, ketika gotong-royong menjadi cara hidup. Tradisi ini melibatkan semua anggota keluarga, dari anak-anak hingga orang tua, menandai bahwa cengkeh bukan hanya soal pendapatan, tapi juga simbol kekayaan budaya dan kebersamaan.
Di tengah perubahan zaman dan harga pasar yang fluktuatif, harapan para petani cengkeh di Tidore dan Ternate tetap sederhana yakni harga yang layak untuk hasil kerja keras mereka. Mereka berharap cengkeh tetap bisa menjadi penopang kehidupan, memberikan masa depan yang lebih baik bagi generasi mendatang. Pemerintah setempat juga telah memberi dukungan dan penyuluhan kepada petani agar hasil panen petani makin meningkat dan berkualitas sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan warga sekitar.
"Cengkeh sudah menjadi bagian dari hidup kami," kata Gogo, seorang petani dari Desa Gurabunga. "Dari pohon-pohon inilah kami mendapatkan penghidupan, dan dari panen ini kami belajar tentang nilai kebersamaan."
Dengan segudang sejarah dan nilai sosial yang melekat, cengkeh terus berperan penting dalam membentuk identitas masyarakat Tidore dan Ternate. Hingga kini, di balik aromanya yang khas, tersembunyi cerita tentang ketekunan, kebersamaan, dan harapan untuk masa depan yang lebih baik.
Foto & teks : Andri Saputra
Editor : Yusran Uccang
Pewarta: Andri Saputra | Editor:
Disiarkan: 30/09/2024 12:42