Srikandi, arsitek kemandirian ekonomi di lereng Ciremai
Kabut menipis mulai membuka hamparan hijau perkebunan kopi di kaki gunung. Udara basah dan aroma tanah yang tersentuh cahaya menguar tenang. Di tengah lanskap itu, kesibukan perempuan-perempuan desa mulai tampak. Bukan sekadar rutinitas, melainkan ikhtiar menjaga warisan, yakni kopi.
Sebagai Ketua Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi, Titi Nuryati sedang sibuk menyiapkan bubuk kopi hasil gilingan. Kopi tersebut akan diambil oleh salah satu pelanggan yang telah memesan tiga hari sebelumnya.
Usai melayani pembeli kopi, Titi mengambil buku catatan di rumah produksinya di Pondok Kopi Sekarwangi, Desa Cibeureum, Cilimus, Kabupaten Kuningan, Jawa Barat.
“Hari ini ada proses sortir sama anak-anak PKL, nanti agak siang ibu-ibu Kelompok Wanita Tani Srikandi baru ikut kumpul, mereka masih beres-beres rumah dulu,” ucap Titi.
Apa yang dirintis Titi sejak beberapa tahun lalu itu kini berkembang menjadi ruang kerja bersama para perempuan desa.
Dari pengolahan biji kopi skala rumahan, mulai membangun jaringan, serta mengajak ibu-ibu rumah tangga untuk ikut terlibat, hingga akhirnya membentuk Kelompok Wanita Tani (KWT) Srikandi.
Dia juga menjadikan Pondok Kopi Sekarwangi miliknya menjadi rumah produksi untuk anggota KWT, sehingga anggotanya bisa memproduksi kopi untuk memenuhi pesanan.
Rumah produksinya tak pernah sepi dari aktivitas. Tiap hari anggota KWT datang silih berganti. Asap sangrai tipis mengepul dari sudut dapur. Aroma kopi menguar memenuhi ruang. Tawa dan obrolan ringan para ibu menyatu dengan denting alat sangrai serta deru penggiling.
Sejak berdiri pada 2018, kelompok tersebut memberi ruang bagi ibu rumah tangga di desa Cibeureum untuk mendapatkan penghasilan sesuai peran dan kreativitas masing-masing.
Menurut Titi, para perempuan KWT bertanggung jawab memastikan proses panen dan pascapanen kopi berjalan dengan standar mutu terbaik.
“Saya pikir mengolah kopi itu sederhana, ternyata enggak. Kopi ini tak hanya dipetik, dijemur, digiling terus dijual,” ujar Titi.
Kelompok Wanita Tani tersebut terus mengembangkan potensi kopi dengan belajar menanam dan merawat tanaman kopi dengan baik. Selanjutnya, mengolah kopi agar terjaga kualitasnya serta memikirkan bagaimana cara memasarkan kopi ke pasar yang lebih luas.
Kini, permintaan kopi terus datang mulai dari pelanggan rumah tangga hingga pemilik kedai. Setiap harinya, KWT Srikandi bisa memproduksi tak kurang dari 500 kemasan ukuran 23 gram dan lebih dari 100 kemasan ukuran 200 gram.
Jumlah itu kadang berubah naik turun, menyesuaikan permintaan dari berbagai kedai kopi yang kian meluas.
Kopi Sekarwangi telah menembus pasar ekspor ke sejumlah negara seperti Prancis, Turki, Arab Saudi, hingga Jepang. Selama rentang waktu 2021 - 2023, mereka telah mengirimkan total 15 ton biji kopi, baik green bean maupun roasted bean.
Kopi yang diproduksi KWT Srikandi berasal dari kebun milik anggotanya. Selain itu ada juga yang berasal dari lahan yang telah disiapkan yakni hasil kolaborasi dengan pihak pemerintah desa setempat seluas 11 hektare.
Dari lahan itu, budi daya kopi yang dikelola kelompok tersebut di lereng Gunung Ciremai bisa menghasilkan rata-rata 21 ton per musim. Mayoritas merupakan varietas robusta, sementara sebagian lainnya arabika yang tumbuh di ketinggian lebih tinggi.
Pada akhir tahun 2025, KWT Srikandi berencana memperluas lahan sekitar 20 hektare. Perluasan lahan tersebut untuk mendorong peningkatan produksi sambil terus memastikan setiap biji yang dihasilkan tetap berkualitas.
Data Dinas Ketahanan Pangan dan Pertanian Kabupaten Kuningan mencatat, pada tahun 2023 luas lahan kopi di wilayah tersebut mencapai hampir 1.500 hektare, dengan total produksi sekitar 500 ton.
Jenis kopi robusta masih mendominasi. Sementara arabika dan liberika produksinya masih relatif lebih kecil.
Pada 2025 ini, pemerintah daerah merencanakan perluasan lahan hingga 100 hektare melalui program bantuan dari kementerian terkait guna mendorong peningkatan produksi varian kopi tersebut.
Para perempuan KWT Srikandi telah membuktikan bahwa mereka lebih dari sekadar buruh tani. Mereka adalah penjaga kualitas sesungguhnya. Di kaki lereng Gunung Ciremai, kopi mereka tumbuh menjadi simbol asa yang tak pernah padam. Harapannya saat kemasan dibuka, pelanggan tak hanya mencium aroma kopi terbaik, tetapi juga aroma dedikasi yang memastikan setiap biji adalah bukti dari sebuah mimpi yang perlahan tetapi pasti telah menjadi kenyataan.
Foto dan teks : Dedhez Anggara
Editor: Zarqoni Maksum
Pewarta: Dedhez Anggara | Editor:
Disiarkan: 04/09/2025 09:05