John Novis: Zamannya Foto Hijau

Bulan September 1997, John Novis, kepala bidang fotografi Greenpeace International datang ke Perpignan, sebuah kota di Selatan Perancis. Setiap tahun di bulan September, Perpignan seakan menjadi ibukota fotografi dunia. Nama-nama besar di bidang foto jurnalistik, para pembuat keputusan dari berbagai media besar, berbagai penerbit dan agen foto, atau mereka yang ‘hanya menyenangi’ fotografi berkumpul bersama dalam Festival Foto Jurnalistik Internasional Perpignan, festival foto terbesar di Prancis. Mereka memanjakan mata melihat foto-foto terbaik, menambah pengetahuan tentang fotografi, atau menambah relasi.

John lalu menyematkan tanda pengenalnya di dada: John Novis – Greenpeace, dan bergabung bersama fotografer lain. Tapi apa daya, ia malah menerima pandangan sinis dari banyak orang. “Mereka melirik saya dan mungkin berpikir mengapa orang dari organisasi seperti Greenpeace ada di sini,” kata John. Greenpeace memang bukanlah media, dan John memaklumi nasibnya. Tapi satu dekade kemudian saat ia kembali ke Perpignan, keadaan telah berubah drastis. “Bermacam orang dari berbagai institusi sudah mengantri untuk bertemu dengan saya!” ujarnya sambil tertawa.

Itu adalah sekelumit dari banyak cerita John Novis dihadapan puluhan foto jurnalis yang antusias mendengarkannya di ruangan Neo Journalism Club saat berkunjung ke Galeri Foto Jurnalistik Antara, Jakarta beberapa waktu lalu.

Sebuah cerita yang tepat untuk membaca perkembangan dunia fotografi media yang kini mengalami banyak pergeseran seiring dengan kemajuan teknologi dan perubahan ekonomi. Foto jurnalis kini banyak bekerja dengan institusi non-media. Media pun sering memakai foto-foto unik yang dihasilkan institusi non-media yang sejatinya merupakan kampanye mereka. Batasanpun menjadi mengabur.

“Saat saya memulai bekerja di Greenpeace 20 tahun lalu, departemen fotografi hanyalah sebuah ruangan kecil, dengan satu filing cabinet,” katanya. Namun, kini Greenpeace mempunyai belasan fotografer kelas dunia yang siap untuk travelling berhari-hari ke tempat-tempat yang jarang dikunjungi demi mendapatkan sebuah foto istimewa. Dan satu filing cabinet telah beranak pinak menjadi ratusan ribu koleksi foto.

Slide berisi foto-foto ikonik Greenpeace pun terpampang. Foto pembantaian paus di laut Antartika oleh Kate Davidson, foto ekspedisi ilmuwan ke Greenland yang diabadikan Matt Nicobin. Juga berbagai foto aksi protes Greenpeace di seluruh dunia, lengkap dengan banner raksasa di lokasi-lokasi terkenal, foto-foto selebritis yang berkampanye, hingga foto-foto terbaru mengenai perubahan iklim yang rencananya akan digunakan untuk berkampanye pada pertemuan mengenai iklim di Kopenhagen akhir tahun ini.

Semua foto dibuat dengan perhitungan matang. Foto-foto yang sensitif dibuat setelah melalui proses negosiasi yang lama, yang dilakukan oleh para aktivis hardcore Greenpeace. Foto-foto Greenpeace langsung mendekati sumber dan tak jarang resiko tinggi terlibat dalam setiap pemotretan.

Walaupun Greenpeace adalah sebuah organisasi non-profit, namun perlakuan dan apresiasi mereka terhadap foto sangatlah besar, mirip seperti yang dilakukan oleh media. “Setahu saya, hanya Greenpeace yang punya departemen khusus yang mengelola fotografi,” katanya. Organisasi lain biasanya menggunakan fotografi sebagai bagian dari fund-raising. “Mereka akan menggunakan para fotografer hebat dalam sebuah proyek berjangka waktu singkat, untuk membuat foto-foto kampanye demi mengumpulkan dana. Sedangkan kami, selalu ada fotografer yang bekerja setiap saat, mengirimkan foto-foto dari seluruh penjuru dunia.”

Itulah sebabnya Greenpeace kerap mendapatkan foto-foto istimewa. Foto-foto ini lantas dikirimkan ke berbagai media sebagai bagian dari kampanye. Jika dulu para praktisi media memandang sinis padanya, kini para media berlomba-lomba memasang foto-foto Greenpeace yang unik di media mereka. “Namun tentunya tidak semua media mau menggunakan foto kami, karena dianggap beriklan gratis,” tambahnya.

Memang, foto-foto Greenpeace tak jarang dibuat dengan pendekatan iklan. Misalnya, foto-foto aksi pembentangan spanduk Greenpeace di berbagai lokasi ternama dunia. “Untuk foto-foto seperti itu, kami harus mempersiapkan segala sesuatu. Lebih mirip iklan,” kata John yang memang pernah bekerja sebagai fotografer iklan selama 20 tahun, sebelum akhirnya pindah ke Greenpeace di awal tahun 1990.

“Di sinil letak perbedaan foto-foto lingkungan Greenpeace dengan foto yang dihasilkan oleh fotojurnalis. Kalau foto jurnalis membuat foto yang merupakan reaksi dari sebuah berita, maka Greenpeace membuat foto-foto yang bisa jadi berita,” jelasnya.

Namun yang jelas, foto-foto Greenpeace bertujuan untuk menyelamatkan lingkungan dari kehancuran yang lebih parah. Greenpeace percaya dengan dampak besar yang dibuat oleh foto. Seperti misalnya foto-foto Robert Knoth tentang tradegi di Mayak, Rusia, tempat bencana nuklir terbesar setelah Chenobryl yang seringkali luput dari perhatian dunia. Knoth memotret kehidupan masyarakat di Mayak yang terkena radiasi pada tahun 2000 dan 2001.

Foto-foto ini kemudian dipamerkan oleh Greenpeace di Eropa. Foto-foto ini, tutur John, juga dipamerkan di beberapa desa-desa di Rusia yang akan dijadikan lokasi pembuangan limbah nuklir oleh pemerintah

setempat. Setelah milihat foto-foto dahsyat di Mayak, para penduduk desa terinspirasi untuk menentang kebijakan pemerintah. Setelah melalui proses panjang, akhirnya kebijakan tersebut tidak diteruskan.

“Itu merupakan sebuah kemenangan, bagaimana foto bisa berperan dalam kebijakan,” kata John. Meskipun tidak ada contoh lain yang dapat diberikannya, namun kisah dari Mayak memberikan titik terang dalam kampanye lewat foto.

Di penghujung diskusi yang berdurasi dua jam tersebut, John sempat ditanya kisah apa yang ingin ia kerjakan jika ia berkesempatan membuat foto lingkungan di Indonesia. John sempat berfikir lama, sampai kemudian menjawab foto mengenai minyak sawit.

“Kelapa sawit memiliki banyak dimensi. Di satu sisi ada hutan yang terbabat habis dan binatang yang kehilangan habitat akibat lahan yang dibuat jadi perkebunan sawit. Namun di sisi lain ada kebutuhan minyak sawit yang sulit di abaikan, mulai dari produk kosmetik hingga makanan. Sangat kompleks.” Tapi, lanjutnya, “Itu hanya salah satu. Indonesia punya banyak cerita menarik lain tentang lingkungan!”

--o--

* Dinda Jouhana adalah penulis lepas dan pengamat fotografi

(Foto: Greenpeace International)

Pewarta: Dinda Jouhana * | Editor:

Disiarkan: 24/10/2009 22:58