Dari Panggung Simulakra
Pesta telah usai. Layar panggung telah diturunkan. Hingar bingar kampanye tinggal kenangan belaka. Janji-janji yang pernah ditebar nampaknya dilupakan sudah. Pesta demokrasi sebagai ritual lima tahunan telah menghasilkan sebuah kuasa-kuasa baru yang memegang amanat rakyat yang memilihnya.
Bagi rakyat, panggung lima tahunan adalah sebuah pertunjukan dan tontonan yang mengasyikkan. Sebuah drama politik dua babak yang menjadikan mereka adalah pemain utama. Rakyat yang mempunyai hak untuk bersuara [meski hanya] lima tahun sekali telah menjadi manusia sesungguhnya, menjadi rakyat yang berdaulat atas dirinya sendiri, dan berharap pula untuk menjadikan dirinya menjadi tuan yang mengerti akan keinginan dan kepentingannya, sekali lagi meski hanya satu kali dalam lima tahun.
Namun apa hendak dikata, panggung politik di abad komputer ini adalah panggung teknologi, panggung yang diwarnai dengan rekayasa. Mula-mula dibuat peta-peta suara rakyat dan selanjutnya dihitunglah suara-suara itu dan diproses dalam prosentase prosentase angka-angka dalam poling-poling. Selesai sudah demokrasi. Hasil sudah di tangan, kini tinggal bagaimana mewujudkan angka-angka itu agar menyublim menjadi kuasa-kuasa.
Maka dibuatlah panggung-panggung dengan segenap pernak perniknya, dengan dukungan teknologi yang kian canggih membuat rakyat yang secara harfiah merupakan pemilih sah sebuah demokrasi, menjadi lemah tak berdaya dengan gempuran bertubi-tubi dari sebuah rekayasa demokrasi yang menyusup dalam istilah kampanye. Rakyat dimanja dan disorot di media di setiap sudut ruang dan waktu, rakyat seolah olah sedang merayakan pesta sesungguhnya dan menjadi pemilik sesungguhnya republik.
Panggung politik ibaratnya berubah menjadi panggung simulakra, panggung yang penuh citra citra, sebuah hingar bingar dan ritual lima tahunan untuk menjaring suara-suara. Sebuah pencitraan yang terus menerus dibangun dan dipompakan ke dalam alam pikiran pemilihnya. Terkadang pula pencitraan personal, partai politik dan bahkan sebuah sistem yang tengah ditawarkan kepada rakyat itu, terputus dari realitas sesungguhnya. Seterusnya akan berujung kepada citra citra yang absurd dan tiada henti-hentinya memenuhi ruang ruang publik.
Panggung politik menjadi sebuah realitas buatan yang diadakan untuk mempengaruhi, mengarahkan bahkan memaksa alam bawah sadar rakyat dalam menentukan pilihan-pilihan yang terkadang bertentangan dengan nalar dan hati nurani mereka. Rakyat kembali tidak berdaya, meskipun [sepertinya] hanya lima tahun sekali.
Syahdan, berabad silam Aristoteles sudah pernah menyangsikan akan keefektifan sistem demokrasi dalam mengejahwantahkan kepentingan rakyat. Terlalu banyak kepentingan di dalamnya dan rakyat seringkali terabaikan, dan semestinya para pemimpin tidak jatuh kepada kaum politisi namun kepada kaum pemikir, kaum cerdik cendekia alias para filsuf itu sendiri.
Keraguan itu dalam beberapa batas tertentu menjadi kenyataan, bahkan demokrasi menjadi arena untuk meraih suara rakyat sebanyak-banyaknya, dan dengan segala bentuk rekayasa dan politik pencitraannya, janji-janji yang ditebarpun seringkali menjadi rangkaian kata-kata tanpa makna, tanpa harus ada kewajiban untuk mewujudkannya. Bahkan seringkali demokrasi justru melahirkan kaum kaum pemburu rente kekuasaan.
Suara rakyat juga acapkali akhirnya hanya melebur dalam deretan angka-angka statistika semata, dalam hitungan sekian-sekian suara rakyat menjelma menjadi kuasa-kuasa dan sungguh menyedihkan dalam hitungan-hitungan sekian-sekian juga, suara rakyat terpaksa dihilangkan dalam statistika demokrasi. Artinya nurani sebagian rakyat telah dikubur dalam-dalam juga atas nama demokrasi.
Namun, bagaimanapun juga demokrasi adalah sebuah keniscayaan, karena hingga kini hanya sistem inilah yang masih bertahan dan mampu berjalan untuk menggambarkan dan menyelami keinginan dan suara orang banyak, suara kaum kawula yang disebut rakyat.
Vox Populi Vox Dei, seolah menepuk pundak kita, seraya mengingatkan bahwa pesta telah usai, citra-citra sudah tidak diperlukan lagi, hingar bingar panggung simulakra telah purna. Kini saatnya memutar ulang janji-janji yang telah ditebar, saatnya berhadapan dengan kenyataan, dengan rakyat yang sesungguhnya sebagai pemilik sah demokrasi. Yang bisa sabar, yang bisa pasrah dan juga, jangan dilupakan, punya aliran kekuatan yang dapat memecahkan batu karang sekokoh apapun.
* Zarqoni Maksum adalah pewarta foto ANTARA dan tulisannya ini merupakan pengantar dalam Pameran Foto "Demokrasi Langsung" yang digelar di Jakarta (28 Okt-4 Nov 2009), Surabaya (6-15 Nov 2009), Medan (13-22 Nov 2009), Makassar (20-29 Nov 2009), Denpasar (27 Nov-6 Des 2009), dan Yogyakarta.
Pewarta: Zarqoni Maksum * | Editor:
Disiarkan: 05/11/2009 15:09