Agresi Citra

Dua puluh delapan anak muda itu berkumpul di ruang museum pers Antara. Mereka baru saja melakukan rapat untuk memilih tema pameran yang wajib mereka lakukan di penghujung Workshop GFJA angkatan XV 2010. Di samping menentukan tema, mereka terlebih dahulu memilih “kepala suku” yang tugasnya membentuk panitia kerja guna melancarkan agenda pameran foto tahunan yang selama ini telah menjadi ikon divisi pendidikan GFJA.

Kepala suku membentuk format organisasi di mana seluruh peserta harus melaksanakan mandat yang ditetapkan. Si A mengurusi soal desain publikasi, B merancang strategi media, C menyiapkan materi pameran foto, D mengatur acara dan E menghimpun kemitraan sponsor. Pameran foto selalu menjadi warna berbeda dari setiap angkatan. Pada pameran tahun ini dipilih tajuk "EnormouSight". Dari pemilihan kepala suku sampai penggunaan foto sebagai gambar poster, mereka melakukannya secara demokratis.

Proses kuratorial melibatkan pengajar kelas Dasar dan kelas Jurnalistik, tepat di meja rapat panjang yang hanya beberapa meter dari lokasi display seperangkat instrument morse bersejarah. Instrument inilah yang digunakan untuk menyelundupkan berita kemerdekaan Republik Indonesia beberapa saat setelah diproklamasikan di Jalan Pegangsaan pada suatu pagi di bulan Ramadhan, 17 Agustus 1945. Saat itu, gedung lama Kantor Berita Antara masih bernama Domei, kantor berita pendudukan Jepang.

Di meja yang permukaannya berisi kolase foto hitam-putih dari peristiwa Reformasi yang diabadikan para pewarta foto Antara itu, mereka beradu argumen secara merdeka untuk mencapai tujuan bersama. Kegiatan yang mengalirkan aura kebebasan berpikir, mengisi relung-relung di antara artefak memorabilia pers perjuangan yang terletak di lantai dua Jalan Antara, No. 59 dan 61. Sebentuk bangunan gedung yang sangat bersejarah bagi pers Indonesia.

Di sana benda-benda bersejarah tersebut diperlakukan bukan sebagai berhala yang harus disembah, namun menjadi bagian dari jiwa mereka yang belajar ilmu dan budaya jurnalistik dari para pengajarnya yang dengan hati ikhlas meluangkan waktu demi martabat fotografi jurnalistik Indonesia. Kami semua percaya bahwa pendekatan budaya fotografi jurnalisitik yang idealistis pasti akan berguna bagi pembangunan peradaban negeri ini.

Di lokasi itulah, anak-anak muda ini melanjutkan amanat jurnalistik visual yang mereka rasakan dan tekuni selama pendidikan. Di hadapan mereka terbentang mural besar yang memperlihatkan proklamasi kemerdekaan yang tengah dibacakan Bung Karno dan Bung Hatta mewakili segenap rakyat Indonesia. Suatu ilustrasi yang digarap dengan teknis pop-art berdasar image yang dibuat oleh Mendur Bersaudara, dua figur perintis fotografi jurnalistik modern Indonesia yang telah mengabadikan proklamasi Indonesia.

Tahun 1994, saat GFJA baru berusia dua tahun, untuk pertama kalinya gagasan mendirikan workshop fotografi jurnalistik diungkapkan. Adalah Yudhi Soreatmodjo, kurator GFJA saat itu, yang meminta saya menjadi penyelia di GFJA meski saat itu saya masih aktif sebagai pewarta foto. Alasan Yudhi mendirikan workshop ini untuk memberi warna yang sesungguhnya, tidak hanya kepada masyarakat awam, tapi juga dunia jurnalistik yang kerap memandang fotografi jurnalistik dengan sebelah mata. Yudhi dan saya adalah pengajar angkatan pertama yang mengelola workshop GFJA tersebut, tentu dengan segala kekurangannya.

Oleh sejumlah kalangan pers, Workshop GFJA saat ini dianggap telah menjadi salah satu kawah candradimuka bagi anak muda yang ingin mengetahui lebih dalam tentang fotografi jurnalistik. Namun sesungguhnya, GFJA hanyalah bengkel kerja untuk merekatkan rasa wawasan fotografi jurnalistik, bukan untuk mengembleng seseorang menjadi insan pewarta foto yang siap pakai. Workshop ini ada untuk menularkan semangat “seni melihat, menyimak, dan mengalami kehidupan” dengan lebih baik kepada orang lain. Dari seorang insan visual berjiwa budaya jurnalistik kepada masyarakat.

Karena mereka, anak-anak muda ini dengan pilihan sendiri memajukan tajuk pameran workshop angkatan XV dengan “EnormouSight”, maka marilah kita melihat lingkungan kita dengan lebih luas. Melihat sepanjang horizon di seantero cakrawala yang membentang bujur dan lintang bumi dengan semerdeka-merdekanya. Simaklah nyanyian visual yang mereka hamparkan pada kita perihal kehidupan. Bulan Mei ini, masih dalam aroma peringatan hari pendidikan, tak terasa 12 tahun gerakan Reformasi berlalu yang hingga detik ini masih ditunggangi para Don Quixote sejati seraya meneriakkan politik sebagai wacana lengkap dengan adegan badut sirkus yang sangat teatrikal.

“A person dishonored is worst than dead”
- Miguel de Cervantes (1547-1616)
pujangga dan dramawan Spanyol, penulis Don Quixote de la Mancha

* Oscar Motuloh, kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA)

(Ilustrasi dicuplik dari foto-foto yang dipamerkan dalam "EnourmouSight")

Pewarta: Oscar Motuloh * | Editor:

Disiarkan: 21/05/2010 18:30