Kawah Harapan

Begitu hening suasana pagi di ketinggian 2368 meter dpl itu. Langit biru cemerlang. Matahari menyentuh kulit dengan hangat karena udara dingin pegunungan meredam terik sang surya yang ganas. Dalam senyap, menyelinap suara-suara bambu mengerenyit. Sahut menyahut. Bunyi yang ternyata berasal dari pundak kokoh pekerja yang beradu dengan pikulan bambu penuh belerang yang selalu mengayun di punggung mereka. Kerenyit yang teratur bercampur dengan lenguh nafas tak beraturan dari para pekerja yang terengah memanggul beban berat.

Ketinggian itu menghamparkan perlintasan menuju bibir kawah yang menggiring para pekerja angkut belerang menatap jalan setapak yang terjal, seperti lorong tanjakan yang tak berujung. Pos penimbangan belerang pertama di Pondok Bunder masih satu kilometer lagi. Jarak yang harus ditempuh dengan beban minimal 70 kg di pundak mereka. Di kiri kanan mereka, apabila gumpalan asap tebal belerang terusir angin kencang, maka pemandangan menakjubkan yang kerap kita nikmati di kartu pos dan brosur pariwisata, tampak menghadang di hadapan mata yang terpana kagum.

Bagi mereka, para pekerja, pemandangan itu barangkali hanya seperti jejak optis yang rutin menggantung di sudut-sudut mata memandang. Saat cakrawala benderang, tampak telaga asam teronggok indah membulat di latar belakang. Di kelilingi bukit-bukit cadas terjal yang seolah melindunginya. Cairan kehijauan yang terbentang tak beriak, membuat telaga makin terlihat anggun dan angkuh. Dia adalah bagian dari pesona kawasan stratovulkanis yang oleh warga setempat disebut Ijen, alias sendiri. Kawah Ijen. Dengan puncak tertinggi menjulang di ketinggian 2799 meter dpl.

Di kawah harapan itulah tigaratusan pekerja angkut lepas dan puluhan petugas sulfatara menggantungkan hidup untuk keluarga mereka. Meskipun perawakan mereka, khususnya pekerja angkut yang terlihat kokoh dan kuat, langkah mereka tampak tertatih saat kaki menjejak areal pos pembayaran di Paltuding, Banyuwangi. Akhir etape yang seluruhnya berjarak kurang lebih empat setengah kilometer dari titik awal perjalanan di kawasan pusat belerang dekat telaga yang anggun tadi. Di loket bayar, dengan nafas tersengal, mereka menanti upah Rp. 600/kg belerang dikalikan dengan kapasitas angkutnya masing-masing.

“Dengan beban sekitar 70 kilogram, saya paling nggak mesti mampu bolak balik ngangkut belerang dua kali. Terkadang jika lagi sehat, saya paksain sampe tiga kali angkut sehari. Kalo cuma sekali, tak sepadan hasilnya. Bayar bensin motor ke rumah aje nggak cukup” komentar Aan, selah seorang pekerja angkut yang tinggal di pinggiran kota Banyuwangi. Sementara peluh belum kering, para pekerja harus kembali berjalan ke titik awal di pusat belerang, memanggul pikulan kosong untuk menjemput belerang-belerang yang menanti diangkut.

Siklus kehidupan segera berdetak kembali. Mengangkut belerang. Melewati tapak yang sama. Dengan dengus nafas yang serupa. Mengangkut belerang ke titik akhir. Sadar atau tidak, mereka terus berupaya mengangkut sekuat tenaga, seberat yang mereka mampu, tak perduli dengan keputusan ILO yang telah menetapkan standar angkut pekerja Asia adalah maksimal 50 kilogram. Seperti komentar sederhana Aan terdahulu, mereka harus mengebulkan dapur setiap hari, belum kebutuhan primer lain yang dibutuhkan keluarga. Volume angkutan adalah suatu keseharian yang harus dilakoni para pekerja seperti Aan dan rekan-rekan sejawatnya.

Mereka berada di sana bukan untuk datang menatap kawah harapan. Mereka harus mengais rejeki dengan hati yang pasrah. Seraya memberanikan diri untuk berani sedikit bermimpi, bahwa mungkin suatu waktu kelak ada jalan hidup yang lebih baik.

Menyorot pada profesi dan eksistensi mereka sebagai manusia seutuhnya, lima fotografer muda alumni workshop Galeri Foto Jurnalistik Antara, datang, menyertai dan merekam langkah mereka secara visual. Sejak di kediaman mereka yang sederhana di desa-desa di lereng Kawah Ijen sampai pinggiran kota Banyuwangi. Dari celah cadas runcing hingga ke lokasi makan siang komunitas para pekerja angkut yang terhampar di alam lepas yang sejuk. Mereka, lima sohib fotografer ini, menyebut kelompok mereka sebagai Tim Tanah Air (Andi Ari Setiadi, Barmen Simatupang, Budi Chandra, Mahatma Putra dan Panji Wijaya).

Berlima mereka sepakat memfokuskan konten visual pada kondisi keseharian dan keberadaan mereka sebagai “pejuang” keluarga yang sesungguhnya. Melalui fotografi mereka menyampaikan opini visual mereka. Memberi konten yang mengedepankan persepsi perihal keberadaan mereka sebagai subyek. Memberi wajah dalam siluet statistik mereka yang suram.

Keindahan Kawah Ijen, kerap menghinoptis kita, untuk menikmati eksotisnya alam nusantara, seraya (sesungguhnya) melupakan kehadiran noktah-noktah figur pekerja yang tertangkap kamera yang kerap kita lihat dalam postcard pariwisata yang dijual di toko-toko souvenir di seluruh penjuru Indonesia. Mereka seperti obyek yang hanya tampil sebagai penggembira dalam strata sosial masyarakat Indonesia. Mereka hanyalah bagian kecil di pinggir bidang gambar yang bernama komersialisasi pariwisata, yang menjual saujana Kawah Ijen yang sangat terkenal itu. Masa bodoh dengan para pekerja yang melintas dalam frame mereka.

Untuk itulah kelima sekawan tadi memutuskan mengisi waktu liburan dengan menghadirkan kembali noktah-noktah yang terbuang dari postcard itu. Para pekerja angkut dan petugas sulfatara Kawah Ijen. Mereka merencanakan dan melaksanakannya secara mandiri. Mereka menggunakan dana patungan yang koceknya dirogoh dari kantong celananya masing-masing. Menggunakan kendaraan 4 x 4 buatan Inggris milik Panji Wijaya mereka menyiapkan segala sesuatu yang dengan liputan fotografi itu dan memulai perjalanan itu.

Di sana mereka berkenalan, bertukar kisah, dengan sejumlah pekerja angkut dan juga petugas sulfatara di kawasan Kawah Ijen. Menginap di kediaman sederhana mereka, mencoba menyimak kehidupan mereka yang jatuh bangun dan demi profesi ternyata sangat mengutamakan kebugaran fisik. Dari persahabatan itulah kelima sekawan ini memperoleh kesempatan untuk mengisahkan cerita-cerita mereka secara visual kepada kita.

Dengan tajuk “The Kawah Ijen’s Warriors” himpunan opini visual mereka akhirnya dipersembahkan bagi para pekerja, dimanapun mereka berada. Suatu penghormatan demi perjuangan bagi pencapaian harkat seluruh umat manusia, termasuk kaum pekerjanya secara egaliter. Bukan sekadar mengenang para pekerja yang gugur sebagai martir dalam pembantaian Haymarket di AS pada awal Mei 1886 yang kemudian menjadi cikal bakal peringatan Hari Pekerja Sedunia pada 1 Mei 1890 yang juga dikenal sebagai May Day.

Ketika suara-suara lirih pikulan bambu yang beradu dengan pundak kokoh pekerja angkut belerang di Kawah Ijen, maka sesungguhnya suara derita yang bercampur dengan sengal nafas mereka telah mengajarkan pada kita perihal paradoks keseharian kehidupan mereka yang mulia, bersahaja dan jujur. Karakteristik hakiki yang paling dibutuhkan dalam membangun peradaban kita yang sudah terlanjur dikuasai benalu gaya hidup penuh intrik, korup, Pencitraan semu, hipokrit, sektarian dan sarat muslihat kedengkian.

“Hanya orang lemah yang membutuhkan politik”

–Niki Lauda
mantan 3 kali kampiun formula satu

* Oscar Motuloh, kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA)

(Ilustrasi dicuplik dari foto-foto yang dipamerkan dalam "The Kawah Ijen's Warriors")

Pewarta: Oscar Motuloh * | Editor:

Disiarkan: 03/05/2010 11:25