Fiksi Non Fiksi

Once upon a town called Hongkong.

Nun di sana, fundamental romantika kisah perjuangan hidup kawula pekerja perempuan asal Indonesia ini bermula. Sebentuk drama keseharian yang mengungkap perihal perjuangan hidup, solidaritas, harkat dan cinta, serta impian mereka sebagai insan manusia yang merdeka. Tak perduli profesi mereka adalah pembantu rumah tangga yang bekerja di nusa sempit yang penuh sesak oleh gedung-gedung pencakar langit. Berhimpitan dengan konstruksi baliho raksasa yang gemerlapan akibat semburat kerlip neon berhuruf kanji.

Pendar kilau neon-neon niaga yang melesat berkejaran dengan waktu. Seolah berdetak lebih cepat dari sang kala. Persis seperti karakakter bergegas orang-orang Hongkong.
Sementara di salah satu sudut jalan itu, Sekar, seorang mantan pembantu rumah tangga, berlari dalam histeria. Di bola matanya yang hampa dan sendu memantul refleksi cahya neon-neon dari baliho iklan raksasa tadi. Ada riak airmata di sana. Mengalir turun melunturkan dandanan tata-riasnya yang menor.

Dia terperangkap dalam rasa takut yang sangat, dalam pelariannya sebagai pekerja ilegal yang terpaksa dijalaninya di salah satu bar kawasan lampu merah Hongkong sejak ijin kerjanya berakhir. Sekar adalah salah satu dari karakter yang mewakili kronik paradoks para buruh migran kita yang mengadu nasib di Hongkong.

Diperankan aktris Titi Sjuman, Sekar menjadi figur sentral dalam konflik keluarga di kalangan akar rumput, yang diangkat Pic[k]lock Productions ke layar perak dengan arahan sutradara Lola Amaria yang juga terlibat dalam casting bertajuk Minggu Pagi di Victoria Park memerankan tokoh Mayang. Kakak Sekar terpaksa berangkat ke Hongkong sebagai pembantu demi mengemban misi keluarga. Yakni melacak jejak sang adik yang kabarnya lenyap bak ditelan bumi.

Film ini sepenuhnya terinspirasi oleh varian eksistensi nyata para pembantu Indonesia di Hongkong. Dengan fokus lokasi di taman kota bernama Victoria. Tempat ribuan massa pembantu asal Indonesia hang-out setiap hari Minggu untuk saling jumpa, curhat dan berbagi kasih. Itulah satu-satunya hari libur mereka setiap pekan sesuai regulasi pemerintah otonomi Hongkong.

Dari kisah-kisah mereka, Sony Seniawan, fotografer still movie “Minggu Pagi di Victoria Park”, mengutipkannya secara visual untuk berbagi pada kita dalam pameran foto tunggal pertamanya berjudul "FIKSI NON FIKSI". Suatu kerja bareng Galeri Foto Jurnalistik Antara dan Pic[k[lock Production yang didukung Paperina Dwijaya, Indonesia Printer, R&W Publishing, Hivos, Globe Digital Imaging, Kantor Berita Foto Antara, Neo Journalism Club dan V-See yang sekaligus digelar untuk memperingati Hari Kartini dan Hari Buruh Internasional.

Sony adalah fotografer muda yang cukup berpengalaman di bidangnya. Dia belajar fotografi di IKJ. Pria kelahiran Bandung 1981 ini pernah ikut dalam belasan produksi film nasional, termasuk The Photograph, Garasi, D’Bijis, Garuda di Dadaku dan King. Di sela waktu yang padat di area shooting, Sony sengaja memanfaatkan kesempatan untuk juga memotret realita keseharian para pembantu Indonesia di sana. Dia bahkan berhasil membujuk beberapa dari mereka untuk bersedia di pose “portraiture” di kamar tidur pribadi mereka.

Kehadiran pameran ini pada hakekatnya melanjutkan kisah dan pengalaman optis jiwa para insan visual dalam blantika sinematografi. Di GFJA pada penghujung dekade 1990-an sutradara kondang Jerman Wim Wenders juga pernah menggelar pameran karya foto-foto personalnya yang memperlihatkan saujana luas di gurun Australia yang kemudian digunakannya untuk pembuatan film Until the End of the World (1991). Sebentuk atmosfir kesendirian yang puitis. Yang seolah menguapkan bau hio dari foto-foto panoramic gurun tandus, batu-batu gunung, kumpulan puing bangkai mobil, dan goresan lintang di padang pasir yang luas.

FIKSI NON FIKSI menawarkan suatu konsep yang menyatukan persepsi atas obyek dan subyek dalam fotografi. Titik temu yang merekat roh pendekatan foto dokumenter dan gubahan karya sinema yang dibangun di atasnya. Dimana bagian terpenting dari fotografi dokumenter adalah realita catatan sejarah itu sendiri. Sejarah dari sebentuk profesi, yakni tenaga kerja perempuan alias buruh migran, alias pembantu rumah tangga Indonesia di Hongkong. Salah satu negeri tujuan dari “ekspor” tenaga kerja Indonesia di seantero jagad raya. Hikayat dari para srikandi Indonesia yang melanglang paling tidak di 30 negara di penjuru planet bumi kita.

Pembantu Indonesia di Hongkong, umumnya telah berkeluarga, minimal beranak satu. Mereka datang untuk mencoba peruntungan demi keluarga di desa, seperti yang awalnya dilakukan Sekar, buah hati keluarga di satu kampung kecil di Jawa Timur. Kepadanya, keluarga menyublimkan gantangan mimpi-mimpi.

Kepada siapa lagi mereka berharap di kala kehidupan menjadi lebih sulit?

Betapa tidak, hanya deret ukur statistik yang seolah bersedia mengapresiasi mereka. Padahal dari peluh dan derita profesi mereka negeri bernama Indonesia ini beroleh laba dan devisa yang mendudukkan profesi mereka persis di bawah penghasilan negara yang diperoleh dari sektor minyak dan gas bumi. Total sumbangan mereka untuk negeri yang tengah belajar berdemokrasi ini adalah US$ 6.615.718.900,56 pada tahun 2009 (data BNP2 TKI Depnakertrans).

Statistik yang dikutip dari BLK Prima Duta Sejati, salah satu wadah calon pembantu dari 68 BLK serupa di seluruh propinsi Jawa Timur, tercatat ada 130.000 jiwa warga Indonesia yang bekerja sebagai pembantu di Hongkong sebagai per akhir 2009. Alih-alih angka itu menurun, sekonyong-konyong malahan jumlahnya melesat menjadi 131.300 jiwa per Februari 2010 dan seketika, langsung menggeser posisi Filipina (130.500 pembantu) ke posisi kedua dalam tangga populasi tertinggi pembantu rumah tanga di Hongkong. Pencapaian statistik yang sesungguhnya sama sekali tak membanggakan.

Konon, dari prestasi yang miris itu terungkap bahwasanya kedatangan pembantu kita di Hongkong lebih dikarenakan lebih dari 50 persen status para suami mereka adalah pengangguran. Kondisi yang disebabkan oleh kondisi ketenaga-kerjaan kita yang sesungguhnya memang amburadul. Riset tim produksi film “Minggu Pagi di Victoria Park” bahkan juga mensinyalir sekitar 35 persen dari total populasi pembantu rumah tangga di Hongkong yang usianya berkisar di antara 21-40 tahun itu ditengarai terlibat hubungan percintaan sejenis.

Sementara kurang dari 20 persen dari populasi muda, mengaku tertarik jadi pembantu menjadi pembantu karena ingin berjodoh dengan pekerja asal Pakistan yang konon, dalam penilaian mereka, wajahnya keren, mirip-mirip dengan bintang Bollywood Shahrukh Khan (Hongkong mempekerjakan sekitar 10 ribu tenaga kerja pria yang prioritasnya pekerja yang negerinya adalah anggota persemakmuran Inggris seperti Pakistan, Bangladesh dan Nepal).

Jaminan perlindungan hukum yang ketat atas profesi tenaga kerja asing, yang juga menarik hati mereka untuk bekerja di sana. Catatan statistik Depnakertrans menyatakan hanya kurang dari 0,1 persen dari majikan Honglong yang pernah punya catatan criminal atas tenaga kerja perempuan yang mereka gaji.

Sementara bagaimana dengan martabat yang mereka perjuangkan. Adakah upaya pemerintah di dalamnya?

Sunyi...nyaris tak terdengar. Praktis tak ada yang berubah. Karena hari esok hanya ada pada upaya keras mereka yang sepenuhnya mereka perjuangkan setiap hari, secara mandiri. Dari peluh, darah dan airmata, hingga saat burung besi menerbangkan mereka kembali ke kampung halaman di tanah air tercinta.

Di pihak lain, sambil terus mengutip devisa, pemerintah sepertinya sudah merasa cukup membalas budi jerih payah mereka dengan sekadar menuliskan sedikit basa-basi pada secarik banner murahan bertuliskan “SELAMAT DATANG PAHLAWAN DEVISA” yang dipampang di sudut-sudut counter kedatangan penumpang yang bepergian dengan pesawat terbang.

Padahal di sudut-sudut lain di bandara yang sama, oknum-oknum petugas kita mungkin tetap mempertahankan tradisi pemerasan atas para pembantu rumah tangga kita di Hongkong, setibanya kembali mereka di gate khusus kedatangan para "pahlawan devisa" itu, di tanah air. Persis di bawah spanduk basa- basi itu. Di bumi Pertiwi tercinta.

Once upon a town called Destiny.

* Oscar Motuloh, kurator Galeri Foto Jurnalistik ANTARA (GFJA)

(Ilustrasi dicuplik dari poster resmi pameran foto Fiksi Non Fiksi dan foto karya Sony Seniawan)

Pewarta: Oscar Motuloh * | Editor:

Disiarkan: 16/04/2010 15:09