Buruk Rupa Cermin Dibelah

Belum lagi babak penyisihan merampungkan tugasnya, tiga kesebelasan yang tadinya sangat diperhitungkan keberadaannya sekarang malah tengah meregang perasaan mendalam. Sebabnya adalah letupan konflik internal yang menguap ke ranah publik. Apalagi pasalnya jika bukan karena kadang-kadang perlu kambing hitam demi berdalih penampilan buruk mereka dalam 2 laga yang telah dijalani sejauh ini.

Yang paling parah adalah konflik di tubuh tim Ayam Jantan Perancis yang melibatkan pertikaian perihal strategi tim di antara pelatih dan para pemain. Saking akutnya konflik, Federasi Sepakbola Perancis (FFF) sampai turun tangan memecat striker Nicolas Anelka yang menolak menyampaikan permohonan maaf setelah memaki Raymond Domenech dengan kata-kata tak senonoh nan kasar.

Beberapa saat sebelumnya kapten Les Bleus Patrice Evra pada pers dengan geram menyatakan bahwa ada pengkhianat di diantara kita yang tega membocorkan rahasia dapur berupa pertikaian tadi kepada pers. Angkara di kubu Les Bleus lalu jadi santapan lezat pers Perancis dan tentunya dunia. Sampai FFF memutuskan pemecatan demi menyelamatkan muka Domenceh.

Buntut pemecatan Anelka memancing solidaritas para pemain tim Perancis yang secara spontan menyatakan sepakat mogok latihan. Apapun alasannya pemogokan jelaslah sangat kekanak-kanakan karena masih ada seberkas harapan yang harus dihadapi. Mereka mesti tampil melawan tuan rumah Bafana-Bafana pada laga hidup atau mati malam ini.

Kantor berita Perancis AFP merilis foto karya France Fife yang memperlihatkan Domenech tengah membaca petisi penolakan pemain Les Bleus untuk mengikuti latihan rutin di stadion Fields of Dreams. Raut Domenech tampak begitu suntuk, membuat wajah badut sirkusnya menjadi muram dan durja. Suatu kompleksitas kepemimpinan seorang pelatih yang cenderung kepala batu macam Domenech dan segerombolan atlet sepakbola yang sudah terlanjur menjadi selebriti, lengkap dengan tingkah polah jumawa mereka.

Kondisi inilah yang membedakan mereka dengan Zizou dan kawan-kawan ketika mereka berlaga bersama yang berujung kampiun juara dunia untuk pertama kalinya pada 1998. Tak ada bintang kejora di sana kecuali Zizou yang rendah hati. Dia bisa dikatakan sebagai atlet sejati sebelum termakan provokasi ala Matrix tempo hari. Ketika itu Aime Jacquet berhasil menghimpun semangat revolusi Perancis (liberte, egalite, fraternite) dalam kesebelasan multi-ras macam Les Bleus meskipun dicemooh habis oleh tokoh ultranasionalis Jean Le Pen yang memang rasis orangnya.

Blantika sepakbola tak dipungkiri adalah impian anak-anak muda meraih mimpi mereka yang bahkan jauh melebihi langit ke tujuh. Di benak mereka ada setumpuk kenikmatan dari status kebintangan mereka apalagi sepakbola saat ini merupakan industri olahraga terbesar di antara cabang-cabang lainnya. Nilai transer para selebriti sepakbola mencapai digit-digit yang menggemerincingkan bunyi triliun. Ada bayangan harta dan perempuan jelita di sana. Dan karenanya, sah hidup dengan jumawa.

Bukan hanya kes Ayam Jantan, namun tim Tiga Singa juga tengah mengalami hal serupa meskipun tak sepenuhnya sama. Setelah dua laga, Fabio Capello mencak-mencak memarahi anak-anaknya. Dia berteriak-teriak mengatai para pemain yang tak punya semangat, miskin motivasi, apalagi yang dicanangkan dalam latihan sama sekali tak tampak dalam laga sesungguhnya. Bayangkan, tim sebesar Inggris kok bisa ditahan seri oleh kesebelasan macam AS, apalagi Aljazair.

Don Fabio menuding bek tangguh John Terry sebagai biang kerok konflik internal tersebut. Capello mencela kritikan Terry perihal pola dan strategi tim kesayangannya. Padahal menurut Capello urusan strategi tim, kebijakan pemain seratus menjadi wewenang dia sebagai pelatih. Terry dan beberapa andalan Inggris juga meminta Capello mengubah komposisi pemain dengan mengganti Emile Heskey dengan Joe Cole yang lebih kreatif dalam membongkar lini belakang lawan.

Inggris harus berhadapan dengan Slovenia pada laga terakhir untuk menentukan nasib mereka. Angkat koper lebih cepat atau melaju dengan konflik yang lebih tajam. Yang pasti kondisi tak nyaman dalam markas Tiga Singa tentulah elemen terburuk dalam menjalani laga laga yang semakin berat apalagi dengan beban psikolgis seperti yang sekarang mereka alami.

Raksasa Italia juga mengalami hal serupa. Setelah dua kali dihadang lawan yang kurang terkenal, Marcello Lippi pelatih gaek yang membawa Italia juara tahun silam juga sibuk menangkis serangan terhadap dirinya. Sementara para pemain tim Azzuri juga saling tuding. Lini tengah mengkritik penyerang-penyerang yang melempem. Penyerang macam Gilardino menyalahkan lini tengah yang minim kontribusi bolanya ke depan, sehingga dia harus bolak balik menjemput bola ke belakang.

Pada tahap sekarang kambing hitam adalah biang kerok yang paling dicari. Padahal sepakbola menawarkan semangat apresiasi, persaingan sehat, sekaligus persaudaraan yang demokratis. Dan tentunya semangat sportivitas mestinya menggiring para bintang dan tim favorit untuk bisa menerima kenyataan bahwa dunia tentu berubah. Keluarlah dari tempurung, pandanglah siluet anak-anak yang bermain sepakbola di kaki langit dengan riang. Nun jauh di sana.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Charles Platiau)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 22/06/2010 17:15