Hujan Api di Cape Town

Senin petang dalam hujan neraka. Perjuangan anak-anak Korea Utara harus berakhir tragis di Green Point Stadium. Dalam guyuran hujan deras, pemain-pemain Portugal kali ini tak melakukan kesalahan. Mereka berlaga bak banteng ketaton. Sementara Tae Se dan kawan-kawan mengawali tarung dengan perkasa namun sejak gol Raul Meireles menembus jala Ri-Myung Guk pada menit 29, maka mau tak mau Korut harus keluar menyerang dengan segala risikonya.

Meskipun pergerakan pemain menjadi agak lambat karena beratnya lapangan, namun Jabulani, sang bola kontroversial yang dirancang khusus untuk memecah hujan, tetap meluncur deras, termasuk tendangan geledek Cristiano Ronaldo yang menyentuh kanan atas kiper Ri yang bekerja luar biasa pada petang yang naas buat anak-anak Korut itu. Di tribun kehormatan tampak striker legendaris Portugal, Eusebio, dengan wajah tegang menyaksikan generasi baru Portugal berlaga mencoba menusuk daerah pertahanan Korut yang ketat.

Sejak gol Meireles, Eusebio melemparkan senyum ke sana-sini, seolah yakin bahwa kali ini keberuntungan ada di pihak Portugal. Eusebio pada Piala Dunia 1966 di Inggris merasakan pahitnya kesebelasan mereka yang menjadi kekuatan baru dan dianggap sebagai salah satu favorit dalam turnamen akbar itu ternyata harus terhenti oleh kegigihan kes Korea Utara yang menghancurkan mereka dengan skor 3-0, sebelum Portugal menyamakan kedudukan dan beruntung dapat menutup laga dengan kemenangan 5-3.

Keterbukaan permainan Korut yang terpaksa mengejar ketinggalan berakibat fatal bagi benteng pertahanan mereka. Apalagi dengan kehadiran bek kiri Fabio Coentrao yang agresif, maka permainan tim Portugal menjadi luwes dan penuh improvisasi. Cristiano Ronaldo bahkan dengan sabar cukup memberi umpan-umpan matang kepada rekan-rekannya. Gol-gol pun lalu seperti dicurahkan dari langit bersama-sama dengan curah hujan. Ada Simao Sabrosa (53), Hugo Almeida (56), Tiago Mendez (60), Liedson (81), Cristiano Ronaldo (87) dan terakhir gol kedua dari Tiago.

Laga ini membuka jalan mulus ke babak berikutnya dengan catatan mereka cukup bermain imbang dengan Brazil pada laga terakhir di pekan depan. Portugal yang diisi dengan beberapa pemain alternatif ternyata mampu menghancurkan Korut dengan sangat telak. Hujan yang membawa berkah bagi Portugal namun menjadi hujan api untuk anak-anak Korut. Hasil akhir ini sekaligus mengirim Korut kembali ke tanah air mereka nun jauh di semenanjung Korea.

Akankah hal yang sama menimpa juara bertahan Italia? Sehari sebelumnya, mimik pelatih gaek Marcello Lippi mengesankan rasa tak percaya saat wasit Carlos Batres dari Guatemala menghembuskan peluit tanda laga tim asuhannya Italia versus kesebelasan .anak bawang. Selandia Baru berakhir imbang. Dengan traning-suit berwarna merah darah Lippi baru tersadar setelah pelatih Selandia Baru datang menghampiri dirinya untuk saling bersalaman. Mereka terlihat bercengkerama sebelum Ricki Herbert meninggalkan arena, membiarkan Lippi tertegun seraya memutar otak mengingat sekarang posisi Italia ada di ujung tanduk.

38.229 penonton, di stadion Mbombela, Nelspruit, menjadi saksi pada Minggu petang itu. Piala Dunia Afsel kembali melahirkan kejutan. Tak ada fans sepakbola yang berani menjagokan Selandia Baru karena mereka hanyalah tim kelas antah-berantah yang kehadirannya dianggap sebagai penggembira belaka. Siapa pula yang kenal salah satu penyerangnya bernama Shane Smeltz, yang sekonyong-konyong berlari di belakang Cannavaro lalu merebut Jabulani dan menceploskannya ke jala Federico Marchetti dengan tendangan terarah.

Sejak menit ke-7 itu, barulah Italia yang pada kick-off terlihat begitu percaya diri itu, mulai pasang kuda-kuda. Pasukan yang kerap disebut All-Whites, petang itu mengenakan kostum kebesaran mereka, putih-putih, kaos kaki putih. Mereka berkelebat seperti pasukan dari negeri dongeng dalam tripetalogi "Lord of the Rings" yang syutingnya memang dilakukan di negerinya orang-orang Maori itu. Pergerakan pasukan juara bertahan yang kurang impresif dan lamban membuat anak-anak Selandia Baru dengan mudah menebaknya, apalagi mereka bermain dengan riang dan sama sekali tampil tanpa beban.

Dipimpin bek Ryan Nelsen yang juga adalah andalan klub liga primer Blackburn Rovers, kuartet belakang Selandia Baru itu dapat berlaga dengan konsisten hingga penghujung pertempuran. Italia baru dapat membalas saat de Rossi dilanggar di kotak penalti ketika terjadi scrimmage di depan kiper Mark Roston yang petang itu bermain dengan cemerlang. Wasit menunjuk titik putih. Itu jelas penalti yang kontroversial karena pelanggaran yang terjadi semestinya cukup diganjar kartu kuning saja. Vicenzo Iaquinta berhasil mengecoh Roston dan skor itu bertahan hingga akhir pertandingan.

Hasil ini membuka peluang untuk seluruh anggota grup F berpeluang ke babak selanjutnya meskipun nasib mereka ditentukan pada laga terakhir mereka nanti. Penampilan buruk Italia dalam dua laga yang telah mereka genapi juga adalah gambaran kelabu bagi sang juara bertahan untuk dapat mempertahankan kredibilitas mereka sebagai kampiun sepakbola dunia. Kondisinya persis seperti saat Perancis mempertahankan gelar di Piala Dunia Korea-Jepang tahun 2002. Sejumlah nama besar yang tak mampu mereka sandang dalam pertarungan yang sesungguhnya.

Perancis, Italia dan juga Inggris adalah mantan-mantan juara dunia yang dalam Piala Dunia kali ini benar-benar tampil seperti ayam jantan tak bertaji. Permainan mereka luar biasa membosankan. Boro-boro menebar decak kagum, karena Piala Dunia toh adalah permainan. Puncak dari permainan di seantero jagad raya. Para jawara tadi sudah kehabisan stamina pada laga kedua. Sulit menghadirkan motivasi bagi diri mereka sendiri. Jika tujuan tak kelihatan dari ruang ganti, bagaimana mereka bisa bertarung dengan ganas. Coba dong gambarkan musuh di dinding, supaya bisa digempur. Demikian kata sastrawan AS, Truman Capote.

Belum lagi laga terakhir dimainkan, kubu Perancis sudah tertimpa malapetaka non teknis yang baru. Nicolas Anelka dipecat. Dia langsung dideportasi alias diterbangkan kembali ke Perancis pada kesempatan pertama. Pasalnya, konon, karena dia memaki-maki Raymond Domenech dengan sangat berapi-api. Tak lupa juga dilengkapi dengan kata-kata yang menurut kabar sangat tak senonoh. Yang memberatkan adalah Anelka tak mau minta maaf. Dia memilih dipecat FFF yang mengambil keputusan untuk menjaga kewibawaan pelatih.

Beberapa jam setelah laga itu, Brasil tampil lebih mengigit saat bertarung melawan salah satu favorit dari benua Afrika, Pantai Gading. Meskipun permainan Brasil belum dapat dikatakan indah untuk dilhat, namun Dunga berhasil membuat permainan Brasil lebih to the point pada hasil akhir. Mantan kapten selecao yang meraih juara pada Piala Dunia AS itu secara terus terang menyatakan bahwa dia tak ingin kembali ke jamannya Tele Santana yang memimpin bintang-bintang cemerlang tapi kalahan.

Laga penyisihan sebentar lagi memasuki putaran terakhirnya, kiranya skeptisme kita pada kematian suri sepakbola indah tidaklah menjadi kenyataan. Permainan mestinya kian menghibur setelah fase yang menegangkan dalam periode menguras 32 tim menjadi 16 besar telah berakhir. Apalagi jika benar Perancis, Inggris dan Italia tersungkur dalam saringan awal. Maka, mestinya mereka juga harus bertanggung jawab bahwa betapa buruknya membunuh keindahan yang dilakukan demi eksistensi pribadi yang berlindung di belakang keanggunan sepakbola.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Mike Hutchings)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 21/06/2010 22:41