Nostalgia Sepakbola Indah

Piala Dunia 2010 telah menempuh separuh perjalanan. Tim-tim terbaik telah tersaring dalam seleksi alam di lapangan hijau. Delapan tim akan memainkan partai hidup mati pada babak perempatfinal. Eropa dengan tiga wakilnya yaitu Belanda, Jerman dan Spanyol, akan dikepung armada tangguh dari Amerika Latin (Conmebol) seperti Brasil, Argentina, Paraguay dan Uruguay. Sedangkan Ghana ikut meramaikan setelah menjadi wakil dari benua hitam yang tersisa.

Sejarah berbicara bahwa Eropa hampir selalu menempatkan wakilnya di setiap final Piala Dunia sejak turnamen kedua tahun 1934, minus tahun 1950. Piala Dunia 1950, Amerika Latin yang berpesta karena tuan rumah Brasil dan Uruguay tampil di partai puncak. Pada partai final di stadion Maracana itu Parrera dan kawan kawan ditekuk Uruguay 1-2. Pada saat itu beberapa penduduk Rio de Janeiro bunuh diri karena bingung dan sedih.

Hanya saja, kali ini edisi ke-19 Piala Dunia diselenggarakan di ranah Afrika. Faktanya, Eropa tidak pernah mengangkat trofi jika turnamen empat tahunan ini diselenggarakan di luar benuanya. Amerika Latin-lah yang selalu berjaya. Brasil pernah menjadi raja di benua berbeda. Selain di benua Amerika, Selecao juga pernah juara di benua biru pada Piala Dunia Swedia 1958 dan di Korea Selatan/Jepang tahun 2002. Akankah Brasil bisa menyempurnakan rekornya? Terlalu dini untuk menjawabnya. Belanda pastinya tak ingin melihat musuhnya itu menari kegirangan di stadion Nelson Mandela Bay saat keduanya bentrok di laga perempatfinal.

Laga klasik dan emosional itu akan menjadi pertaruhan nasib dua kultur sepakbola menyerang. Total football akan bernostalgia dengan jogo bonito. Bukan untuk saling merayu, tapi keduanya akan saling jegal demi meraih tahta tertinggi.

Secara keseluruhan, dua raksasa sepak bola itu sudah bertemu sebanyak sembilan kali dan Brasil berada di pole position. Sejak pertama kali bertarung pada 2 Mei 1963 di Amsterdam dalam laga uji coba hingga sekarang, Brasil meraih tiga kemenangan, sedangkan Belanda dua kali dan 4 kali imbang. Hanya saja, di arena Piala Dunia, Selecao lebih unggul. Dari tiga pertemuan, The Flying Dutchmen hanya sekali menang saat Piala Dunia 1974, di mana total football Belanda membuat kocar kacir tim samba yang akhirnya menyerah 2-0 lewat gol Johan Neeskens dan Johan Cruyff.

Giliran pasukan Samba yang melibas Oranye pada laga perempat final Piala Dunia 1994. Belanda langsung tertinggal 2-0 melalui duet Romario dan Bebeto. Namun, Bergkamp dan Aron Winter berhasil menyamakan kedudukan. Kemenangan Brasil akhirnya ditentukan oleh Branco lewat golnya pada menit ke-81.

Pertemuan terakhir terjadi di semifinal Piala Dunia 1998. Ronaldo sempat membawa Brasil unggul terlebih dahulu pada menit ke-46, tetapi Patrick Kluivert membalasnya saat pertandingan tersisa tiga menit. Duel terpaksa dilanjutkan dengan babak perpanjangan waktu, tetapi tak ada gol sehingga diteruskan dengan adu penalti. Dalam drama yang menegangkan ini, Brasil menjadi pemenang. Empat algojonya (Ronaldo, Rivaldo, Emerson dan Dunga, yang sekarang jadi pelatih) sukses menjebol gawang Edwin van der Sar. Sementara itu, algojo Belanda Frank de Boer dan Bergkamp yang sukses mengoyak jala Taffarel. Dua lainnya, Phillip Cocu dan Ronald de Boer gagal.

Bagi Dunga, pertandingan ini menjadi reuni memorinya. Enam belas tahun silam tepatnya 9 Juli 1994 di Cotton Bowl, Dallas, Amerika Serikat, menjelang laga melawan Belanda, Dunga sama sekali tak memperkirakan bakal menjadi kapten Brasil. Pada pertandingan pertama, ban kapten masih melilit di lengan Rai. Namun, penampilan yang makin menurun menjadikan pelatih Carlos Alberto Parreira mencopot Rai dan menggantikannya dengan Dunga yang dinilai lebih punya pengaruh dalam tim. "Semua pemain menaruh respek pada Dunga dan menjadikannya simbol keteguhan hati dan determinasi," ucap Perrera waktu itu.

Sejak menahkodai tim Samba, Dunga dianggap telah meninggalkan tradisi bermain cantik. Sihir jogo bonito mulai memudar. Brasil sekarang tidaklah seperti generasi pendahulunya. Gerson, Tostao, Falcao, Zico atau Socrates adalah sederat seniman kulit bundar. Mereka tau bagaimana memanjakan mata penonton melalui permainan mengolah kulit bundar yang elok dan atraktif. Socrates yang menjadi kapten tim Brasil di Piala Dunia 1982 menyebut permainan anak asuhan Dunga itu menghina budaya Brasil.

"(Tim Brasil) fokus pada daya tahan, itu yang asing bagi kami secara tradisional, jika pun Brasil memenangkan Piala Dunia keenam, saya tidak terlalu senang melihat tim (Brasil) bermain seperti itu (pragmatis)," dalih Socrates.

Sedangkan legenda Sepak bola Brasil Pele menyatakan gaya permainan selecao di Piala Dunia 2010 ini sulit diterima. "Saya mantan penyerang, dan selalu ingin mencetak gol. Itu yang paling penting, karena akan membuat fans senang. Tim yang sekarang justru bermain lewat serangan balik. Sama sekali tidak mengendalikan permainan. Keinginan untuk mengendalikan permainan dari lawan, dan menguasai bola sudah tidak ada lagi," cetus Pele

Mantan ujung tombak Belanda Johan Cruyff ikut melancarkan ‘serangan’ mental. Cruyff tampaknya meniru gaya Frans Backenbauer memulai psywar saat Jerman akan mengadapi Inggris di laga perdelapanfinal. Perang urat syaraf itu akhirnya membuahkan hasil dengan tersingkirnya Three Lion.

Cruyff menilai Brasil merupakan tim yang membosankan selama Piala Dunia 2010 dan mengaku sama sekali tidak terkesan dengan performa Brasil. "Saya tidak akan pernah membeli tiket untuk menyaksikan pertandingan Brasil kali ini. Kemana sihir Brasil? Saya mengerti tentang pemilihan pemain yang dilakukan Dunga. Tapi mana pemain yang bisa menjadi playmaker atau mempunyai skill lebih di sektor tengah? Saya pikir tidak ada orang yang mau menonton pertandingan mereka," cetus Cruyff kepada suratkabar Mirror.

"Mereka mempunyai banyak pemain bertalenta, tapi justru menerapkan permainan lebih bertahan, dan sama sekali tidak menarik. Padahal banyak orang ingin melihat permainan indah mereka," lanjutnya.

Problem yang sama dihadapi tim Oranye. Permainan kolektif nan indah khas total football belum menunjukkan wujudnya. Selama penyisihan grup permainan Belanda tidak mampu menghibur para penikmat bola. Romantisme itu harus dikorbankan untuk sebuah gengsi. "Kami merindukanmu total football," cetus seorang supporter usai Belanda melawan Slowakia di perdelapan final.

Kenyataan itu memang jelas disadari oleh Van Marwijk dan anak asuhannya. "Kami ingin memainkan sepakbola indah, tapi tidak selalu bisa. Yang penting saat ini adalah kami bisa mencapai perempat final. Kami tahu apa yang sedang kami lakukan," kata Gelandang Mark Van Bommel.

Mantan pemain Belanda Clerence Seedorf bersikap diplomatis tentang permainan pragmatis yang ditunjukkan Oranye sejak awal turnamen. Pemain AC Milan ini menilai kemenangan adalah tujuan akhir dari permainan tak peduli bagaimana meraihnya.

"Pada 1988, Belanda yang menjuarai Piala Eropa tidak memainkan sepakbola yang terbaik di turnamen itu, kecuali mungkin laga semi-final melawan Jerman. Sebaliknya, kami menjalani turnamen yang hebat pada 1998 dan mungkin kami yang terbaik, tapi hasilnya tidak demikian. Tim yang bermain cantik tak selalu juara," cetusnya.

prasetyo utomo

Pewarta Foto Antara dan penikmat sepakbola

(Foto: Antara/Reuters/Jorge Silva)

Pewarta: Prasetyo Utomo | Editor:

Disiarkan: 02/07/2010 14:45