Masih Adakah Tuah Salvador?

Takeshi Okada, pelatih Jepang yang tongkrongannya sama sekali tak mencerminkan seorang pelatih sepakbola skuad Samurai Biru, tertegun begitu Yuichi Komano gagal mencetak gol dari titik adu penalti. Namun dengan darah anak-anak matahari terbit yang mengaliri jiwa, dia sama sekali tak menunduk tanda takluk. Matanya memang menggambarkan kekecewaan sangat, namun dia segera menjejak bumi. Ini hanya bagian dari permainan sepakbola.

Okada segera mendatangi para pemain yang masygul. Dia menghibur hati anak-anaknya yang duka dan seketika telah berpelukan dengan Gerrardo Martino, pelatih kesebelasan yang menaklukkannya. Sikap ksatria Okada, seketika merubah citranya sekaligus mengesankan dirinya yang berbeda. Ada sebentuk kharisma dan percaya diri dalam dirinya. Itu sebabnya, barangkali, alasan kenapa semua skuad Samurai Biru menyenanginya.

Kharisma itu juga yang sesungguhnya menghancurkan Jepang. Namun perjalanan sang kharisma yang ini bermula pada awal tahun. Tepatnya tanggal 25 Januari 2010 dinihari. Namanya Salvador Cabanas. Jabatannya ujung tombak skuad Paraguay yang sepanjang babak kualifikasi Amerika Selatan berhasil mencetak enam gol dan membawa timnya lolos langsung ke perhelatan sepakbola terakbar itu. Sehari-hari Salvador bermain di liga elite di kota Meksiko. Dia adalah figur publik yang sangat populer di Meksiko, Paraguay dan kawasannya.

Malam itu dia ingin menikmati sedikit kesenggangan hidup, setelah hingar bingar babak kualifikasi zona Amerika Selatan yang amat berat dan melelahkan. Bagaimana tak berat, tim sekelas Argentina saja baru bisa lolos setelah menjalani partai "play-off". Dia datang bersama istri dan adik iparnya di salah satu klub malam elite di kota gangster itu. "Bar Bar", nama tempat itu, nantinya bakal merubah peruntungan Salvador di dunia sepakbola yang amat dicintainya.

Dinihari telah terlampaui, suasana klub malam itu makin hangat. Lalu Salvador berdiri untuk beranjak ke kamar kecil. Di sana misteri itu terhampar, saat peluru meletupkan suara melengking dan melepaskan proyektilnya ke kepala Cabanas. Salvador tersungkur, darah mengalir deras di lantai toilet, sampai ada pekerja bar yang menemukannya. Tak ada yang mendengar suara letusan senjata api. Tentu karena riuh-rendahnya suara pengunjung yang berdansa di lantai disko. Tim dokter segera memberikan pertolongan pertama dan memutuskan segera melakukan tindakan operasi besar pada tempurung kepalanya yang memakan waktu berjam-jam.

Ajaib. Meskipun ditembak dari jarak dekat, nyawa Salvador terselamatkan. Penembakan yang kejadiannya mirip seperti yang dialami tokoh polisi jujur pembasmi kejahatan New York bernama Frank Serpico yang kisahnya ditulis Peter Maas dan menjadi best-seller internasional pada tahun tujuhpuluhan dan meraih sukses ketika kisahnya diangkat ke layar perak dengan sutradara Sidney Lumet dan Al Pacino yang memerankan tokoh Serpico. Bedanya, jika nyawa Serpico terselamatkan karena peluru yang ditembakkan menembus tulang pipi dan keluar dari tengkorak belakang tanpa menyentuh otaknya, maka pada kasus Cabanas, proyektil peluru untuk sementara berdiam di otak karena tim dokter belum berani mengeluarkannya mengingat sensitivitas otak sebagai pusat syaraf.

Meskipun kondisinya berangsur membaik, apalagi masyarakat Paraguay dan seluruh anggota tim Paraguay terus memberinya semangat untuk sembuh, maka Cabanas kemudian mengatakan bahwa dia berharap cepat pulih agar tetap bisa berpartisipasi di Piala Dunia Afrika Selatan yang diimpikannya. Tim dokter mengatakan kepulihan Cabanas bisa memerlukan waktu antara 1-3 tahun. Selesai sudah harapan Cabanas. Kondisi ini yang membakar semangat solidaritas dalam tim Paraguay. Para pemain dengan tekad bulat menyatakan bahwa mereka akan bertarung mati-matian di Afrika Selatan demi kebanggaan sahabat mereka dan penyelamat Paraguay: Salvador Cabanas.

Semangat hidup dan kharisma sang ujung tombak itulah yang diakui menjadi motivasi terbesar kenapa skuad Paraguay mampu melampaui perjuangan berat melawan tim Samurai Biru yang melakukan perlawanan luarbiasa ketat hingga saatnya Oscar Cardozo berhasil menyarangkan bola dengan jitu ke kanan gawang Kawashima dalam adu penalti tempo hari. Martino mengakui hal itu, sama halnya Edgar Barreto yang melakukan tembakan pertama ke gawang Jepang. "Ini kami persembahkan buat Salvador", kata Edgar.

Lucas Barrio, ujung tombak yang mengisi posisi Cabanas, seperti yang dikutip Guardian.co.uk, mengatakan: "kami bermain demi Salvador, kami mempersembahkan setiap kemenangan untuk dia". Sementara Martino berkata: "Salvador adalah inspirasi bagi kami. Melakukan suatu penghormatan bagi dia adalah motivasi besar bagi skuad".

Sekarang Paraguay telah sampai di sini. Mereka telah mencatatkan sejarah yang pasti tak hanya membanggakan Cabanas, namun seluruh masyarakat Paraguay. Media massa negeri itu menyatakan bahwa masyarakat sangat puas atas penampilan Paraguay dan tetap akan menyambut mereka bak pahlawan jika akhirnya mereka harus terhenti pada babak perempat final ini.

Melawan Spanyol, sang juara Eropa 2008, tentulah bukan urusan gampang. Mereka akan hadir di stadion Ellis Park di Johannesburg sebagai tim "underdog" yang pagi-pagi telah divonis tak cukup berdaya menghadapi kekuatan Spanyol yang sangat tangguh. Tim matador itu sekarang tengah menanjak yang dimulai justru pada tarung dengan. tetangga mereka, Portugal. David Villa sedang on-fire, Xavi Hernandes juga. Xabi Alonso lagi bagus namun barangkali tak muncul di starting 11. Duo sayap Joan Capdevilla dan Sergio Ramos makin menjadi. Pertanyaannya: mampukah Salvador Cabanas menjadi inspirasi yang berkelanjutan bagi anak-anak Paraguay. Atau mereka harus berhenti pas di sini.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Dylan Martinez)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 02/07/2010 20:55