Tangisilah Aku Argentina

Mendung menggelayut di Buenos Aires. Tak ada ria ala carnival di Rio de Janeiro. Hari berkabung pastinya menghembus di seluruh pelataran bumi Amerika Selatan dalam dua hari belakangan ini. Seperti tak pernah ada lagi matahari esok pagi. Gelandang Felipe Melo yang dianggap sebagai biang kerok kekalahan Brazil diancam pembunuhan. Hari-hari yang murung bakal mengiringi isak tangis Diego Maradona beserta seluruh krunya. Kalah menang memang biasa dalam olahraga. Namun takluk dengan cara memalukan seperti ini?

Karena sepakbola adalah drama kehidupan, maka dari sinilah kesumat dan pasak dendam yang baru, ditanamkan sedalam-dalamnya. Pers dengan lahap pasti mengompori pantik menjadi lidah api nan raksasa. Persis seperti kala Nero membumi-hanguskan kota Roma. Coba simak bagaimana pers membungkus laga-laga seru dengan istilah yang mereka bangun sedemikian rupa namanya. Kegetiran Argentina bisa dianggap sebagai pelunasan utang saat Maradona memegang trofi Piala Dunia 1986 dengan kemenangan tipis atas Jerman. Sementara keunggulan Jerman Sabtu malam (3/7) bakal menjadi landasan lahirnya dendam membara yang baru. Yang akan dilunasi Argentina pada waktunya kelak.

Di Green Point Stadium, Cape Town, persis 24 jam setelah kejutan yang dilakukan anak-anak Oranye van Nassau usai membungkam Brazil, raksasa Amerika Selatan, tanpa ampun, buto lainnya, Argentina, harus berlaga untuk menyelamatkan muka sepakbola Amerika Selatan. Sekali aja kesalahan kecil dilakukan, maka Diego Armando Maradona harus siap berkalang tanah. Menatap ufuk, menahan galau di hati, memandang perairan tanjung yang tak lagi berpengharapan. Maskot "Mana tangan Tuhanmu" versi Afrika Selatan? Istilah yang diungkapkannya sendiri, seperti Jose Mourinho menyebut dirinya "The Special One".

Di luar dugaan, kali ini Jerman bermain dengan hati dan sungguh-sungguh. Kerja keras anak-anak muda multi-ras Jerman ini ternyata berhasil menggilas habis Argentina, favorit nomor satu turnamen ini setelah Brazil gugur secara mengenaskan. Argentina adalah nama besar yang namanya menggetarkan, nama yang bisa membuat lawannya keder bak kirik ketakutan yang menyembunyikan ekor di antara selangkangannya.

Eksistensi sepakbola di Eropa berbeda dengan Amerika Selatan. Di Eropa dia telah menjadi industri yang menguntungkan dengan katedral-katedral klub yang bergelimang material. Namun di Amerika Selatan dia sudah lama menjadi agama dan berakar dalam kutur yang melekat erat dengan reputasi bangsa. Kekalahan dua raksasa Amerika Selatan ini tentulah hanya kebiasaan dalam sepakbola, namun tak serta merta bisa diterima para penganut agama sepakbola di Amerika Latin sana.

Petaka Amerika Selatan dimulai melalui tendangan bebas yang dilakukan dari ujung diagonal garis penalti di gawang kanan Sergio Romero yang bermain di AZ Alkmaar. Bola silang yang diambil Bastian Schweinsteiger meluncur deras di hadapan Sergio, tiba-tiba kepala dari tubuh jangkung penyerang Thomas Muller menyeruak dan sedikit saja menyentuh bola, namun cukup membelokkan arah Jabulani ke jala Argentina. Waktu masih sangat pagi, baru 160 detik sejak kick-off pertandingan hidup-mati ini dilangsungkan. Nasib Argentina tampaknya telah ditakdirkan sejak gol cemerlang Mueller itu.

Pendukung Argentina dengan rupa-rupa gaya yang hadir di stadion hanya bisa terhenyak. "Blietzkrieg" yang jitu menghentikan tarian tango yang bertalu-talu. Gerakan skuad Maradona yang biasanya mirip dengan langkah-langkah komponis Astor Piazzolla tak lagi terhidang. Iramanya yang dinamis dan sensual itu berantakan karena anak-anak Argentina mendadak kehilangan hati dan mulai bermain sendiri-sendiri. Jiwa seolah tak menginginkannya lagi. Harmoni itu lalu lenyap, sampai waktu menghukum mereka dengan empat gol tanpa balas.

Jerman memecat mereka dengan cara yang lebih buruk dari cara mereka membinasakan Inggris yang beruntung masih berkenan mencetak gol balasan via James Milner. Tak pernah Argentina merasakan kekalahan yang memilukan seperti ini. Dicukur habis hingga kulit kepala mengelupas. Kemana Lionel Messi, Carlos Tevez, Gonzalo Higuain, Kun Aguerro dan bintang Inter Milan, Diego Milito? Mungkin Carlos Dunga yang rela mengorbankan jogo bonito demi pola sepakbola pragmatis harus belajar dari filosofi sepakbola Jepang dan Jerman. Lebih baik bermain indah lalu kalah, ketimbang main praktis tapi keok juga.

Jerman yang dilatih Joachim Loew dengan asisten Oliver Bierhoff di bench mengenakan kaos V biru Benhur di balik blaser gelap yang sama. Mereka seperti dua bocah bersaudara yang mengenakan seragam rancangan ibu mereka. Sementara itu, Kanselir Jerman Merkel hadir di stadion dan bolak-balik mengumbar senyum, menyalami Sepp Blatter dan cipika-cipiki denga presiden Zuma yang tampaknya sangat menikmati permainan indah Jerman. Bukan tanpa sengaja jika kanselir memilih pantolan berwarna merah untuk menyemangati Loew dan semua anggota tim perancang strategi yang duduk di bench.

Jika di Amerika Latin orang-orang berkabung meratapi tim nasional mereka yang baru sekali kalah langsung terdepak, maka di Jerman tiba-tiba atmosfir Oktoberfest alias Festival Minum Bir langsung terasa, padahal biasanya festival kegembiraan itu selalu digelar pada bulan Oktober. Jka ada yang bersedih karena kegagalan strategi dan membiarkan arogansi merebak, maka mari bergembira ikut pesta bir merayakan kembalinya sepakbola indah pada penghujung perhelatan Piala Dunia.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Dylan Martinez)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 04/07/2010 23:30