Kejutan Anak Bawang

Perhelatan sepakbola paling akbar sejagad sudah memasuki penghujung laga. Coloseum alias arena pertarungan sudah dipersiapkan sejak jauh-jauh hari. Sekarang tinggal tiga stadion di tiga kota yang mendapat kehormatan menjadi ajang tumpah darahnya sepakbola dunia demi sebentuk hegemoni sebagai raja dunia empat tahunan. Stadion Green Point, di Cape town, Rabu dinihari nanti akan menghindangkan laga semifinal antara favorit Belanda versus harapan terakhir Amerika Selatan, Uruguay, yang kali ini sama sekali tak diunggulkan. Dilirik sebelah matapun tidak. Kondisi psikologis yang pastinya sangat menguntungkan Diego Forlan dan kawan-kawan.

Cape Town adalah kota terbesar ke tiga di Afrika Selatan yang dibangun oleh orang-orang Belanda pada jaman kolonial. Fungsinya sangat strategis, karena berhadapan dengan Tanjung Pengharapan yang sangat terkenal itu. Dia menjadi pelabuhan transit bagi pelayaran bisnis VOC termasuk kapal-kapal dagang Belanda yang mengangkut rempat-rempah, termasuk dari tanah air Indonesia ke Eropa. Kota pesisir itu kini dihuni sekitar 3,5 juta jiwa, kurang lebih sama dengan seluruh penduduk Uruguay yang kesebelasannya malam ini hadir mewakili gengsi Amerika Selatan, dan khususnya dua negeri tetangganya, yakni raksasa Brazil dan Argentina yang ironisnya angkat koper duluan. Argentina tak berkutik dihajar Jerman sementara Brazil dipermalukan Belanda. Tim favorit yang harus mereka hadapi dengan segenap jiwa dan raga. Tanpa striker Luiz Suarez yang bermain di Ajax Amsterdam, Uruguay bukanlah tim yang terlalu menakutkan bagi Belanda.

"Jangan anggap enteng mereka, mereka adalah pejuang yang berani mati di lapangan", kata pelatih Belanda Bert Van Marwijk sibuk mewanti-wanti agar anak-anaknya berkonsentrasi penuh meskipun melawan kesebelasan mediocre yang tak disangka siapapun, berhasil maju sampai ke babak empat besar. Penyakit Belanda justru adalah berasal dari lingkar domestik mereka. Atlet sepakbola Belanda gampang sekali menjadi jumawa. Seolah-olah arogan adalah nama tengah mereka. Guus Hiddink, Dick Advokaat, Marco Van Basten pernah merasakan itu. Sekarang Belanda berada dalam koridor yang benar jika ingin membalaskan dendam Johann Cruijff dan kawan-kawan atas Jerman pada 1974. Dengan catatan jika Jerman berhasil lolos dari hadangan Spanyol yang tengah menanjak penampilannya.

Sekarang Uruguay sudah di berada di gerbang keagungan yang hanya bisa dibuka dengan kunci kemenangan. Mereka sadar Belanda bukanlah lawan yang sekelas mereka, namun jika mereka berjuang sepenuh hati, maka tak ada yang mustahil. Semua mungkin. Yang mengkhawatirkan justru posisi Uruguay sekarang adalah kedudukan yang mirip dialami Belanda saat bersiap menghadapi tim paling favorit se-turnamen, Brazil. Jika konsentrasi Belanda sama seperti ketika tampil dalam laga versus Brazil, maka Uruguay akan sulit mencatat hasil seri sekalipun di periode 2 kali 45 menit nanti. Diego Forlan, Edinson Cavani dan benteng tangguh Luigi Lugano serta kiper bagus Fernando Muslera tak punya pilihan. Mereka harus menang. Tak ada kata kalah. Seperti motto negara mereka: .Libertad o Muerte. (Kemerdekaan atau Mati) yang juga diteriakkan pejuang kemerdekaan Indonesia yang berpuncak pada kemerdekaan Indonesia tahun 1945. Pada peride itulah masa emas sepakbola Uruguay.

Pelatih Oscar Washington Tabarez memang dipusingkan oleh sejumlah atlet Uruguay yang cedera dan beroleh akumulasi kartu, namun jika tekad sudah diamanatkan, maka pertarungan sesungguhnya telah berlangsung sejak sore hari ini. Kiper Maaten Stekelenburg juga sudah dihinggapi penyakit overconfidence. Pasar taruhan Eropa juga begitu meremehkan Uruguay. Seolah-olah Belanda telah menang, padahal pertandingan tersisa sembilan jam lagi. Itu sebabnya Marwijk harus membujuk seluruh pemain agar menjejak bumi dan menghargai keberadaan lawan. Optimisme adalah wajib, tapi dia gampang sekali terpeleset menjadi bumerang yang tak perlu.

Marwijk tentu tak ingin nasibnya seperti Carlos Dunga yang langsung dipecat setelah Brazil tersungkur di perdelapan final. Mereka tak perduli dengan hasil 100 persen sebelumnya yang telah dibukukan Dunga. Marwijk pastinya tak takut dipecat, karena posisinya sekarang toh aman. Yang dikuatirkannya pastilah persoalan enggannya dia memainkan sepakbola indah seperti yang menjadi cap Belanda sejauh ini. Keputusannya mengabaikan total-football sejauh ini memperlihatkan hasil positif, namun dia menuai banyak sekali kecaman seraya menyumpahi agar Belanda keok saja biar Marwijk tahu rasa. Seperti Dunga yang membunuh jogo bonita.

Uruguay tak bermimpi di siang bolong. Namun dia melaksanakan kewajibannya sebagai salah satu dari empat besar yang muncul di Piala Dunia kali ini. Pertarungan yang sangat membutuhkan konsentrasi. Sedikit saja kesalahan terjadi mereka tergulung habis. Boleh orang-orang memandang enteng Uruguay, namun di sini di lembah Elah ini, tempat laga bersejarah David vs Goliath akan di gelar. Dari atap tribun stadion Green Point, kita bisa mengengar riuh penonton mengharapkan sejarah berulang dan membiarkan David memandang horison Tanjung Pengharapan di ufuk sana. Mengamati kru kapal Belanda membereskan layar tiang tinggi untuk bergegas pulang.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Kai Pfaffenbach)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 06/07/2010 17:50