Dari Robben, Mengenang Robben

Sudah hampir sepekan ini gaung perhelatan akbar sepakbola sejagad di tanah Afrika yang mewabah di seantero jagad mulai berkurang candunya. Setelah partai puncak yang mempertemukan Spanyol versus Belanda yang membosankan itu berakhir, berangsur kemeriahannya bergeser ke kampung halaman sang pemenang, dan ternyata, juga di bawa ke negeri sang pecundang. Di Madrid dan di seluruh Spanyol, fiesta yang sesungguhnya berlangsung dengan sangat meriah, jauh lebih dasyat ketimbang saat tim Matador merebut Piala Eropa dua tahun sebelum ini. Sepakbola benar-benar telah mempersatukan mereka, orang-orang Spanyol, yang sesungguhnya sangat primordial. Tak terdengar sentimen orang Castilia, Basque, Andalusia, dan tentunya Catalonia. Via sepakbola ternyata perdamaian dan persaudaraan sejati bisa dirasakan oleh hati semua warga. Jauh lebih positif ketimbang hasil-hasil yang dicapai dari dunia politik yang penuh dengan obral dan janji.

Hebatnya dalam Piala Dunia kali ini warga negeri yang lolos ke 16 besar, merasa sudah cukup untuk menjadikannya alasan berpesta sambil meneguk anggur. Di Tokyo dan Seoul, tim disambut hangat oleh warga dan pemerintahan. Di Buenos Aires dan Montevideo apalagi. Diego Maradona dielukan bak Simon Bolivar, meskipun Argentina dicukur gundul 0-4 oleh anak-anak Jerman. Di Montevideo, warga dan presiden menyambut kembalinya tim yang awalnya hanya dipandang sebelah mata. Meskipun tersingkir negeri kecil ini melahirkan Diego Forlan sebagai pemain terbaik Piala Dunia 2010. Menyisihkan nama-nama besar seperti Lionel Messi, David Villa, Andres Iniesta, Ricardo Kaka, Lukas Podolski, Wayne Rooney dan tentunya, Cristiano Ronaldo.

Di kanal-kanal negeri kincir angin, ternyata hampir sejuta warga Belanda tetap mengelukan tim Oranye meskipun ditelan gol semata wayang Andres Iniesta dalam laga final di babak perpanjangan waktu di Sokkerstaad, Joburg tempo hari. Di Madrid, seluruh pemain, ofisial tim, plus putra Vicente del Bosque berdiri gagah di atas bus "double-dekker" terbuka berwarna merah, khas kerajaan Spanyol. Berjalan perlahan menembus massa yang memadati seraya mengelukani ke manapun bus itu melaju dengan tertatih.

Sementara itu, di kanal-kanal yang membelah kota Amsterdam, para pemain tim Oranye berdiri di atas kapal turis yang biasanya digunakan dalam perjalanan wisata. Mereka diarak untuk suatu selebrasi penghormatan. Menyusuri kanal-kanal yang menyemut dan berwarna Oranye. Semua orang mengelukan pahlawan spesialis runner-up itu berkeliling seluruh kota yang tiba-tiba berubah menjadi samudra oranye. Sebelum mereka diangkut ke istana Ratu Beatrix di Den Haag.

Rakyat belakangan tersadar, daripada meratapi kekalahan dan kegagalan ketiga dalam final Piala Dunia, lebih baik "carpe diem" (nikmati hari-hari ini). Semua warga dari macam-macam ras merayakan keberhasilan Belanda mencicipi final setelah 32 tahun silam. Anggap saja, pesta ini sepenuhnya untuk kesuksesan tim meraih jalan ke final. Bilanglah partai final ini sesungguhnya tak pernah dimainkan. Yang penting, mari kita bersulang ria, menikmati anggur, bir dan sekebul dua kebul asap surga van marijuana.

Hanya satu pemain Belanda yang memperlihatkan wajah tak gembira. Dialah sayap berbahaya, Arjen Robben. Di kepalanya hanya terbayang bagaimana bisa dirinya sampai dua kali gagal menceploskan Jabulani ke jala, sementara dia tinggal berhadapan satu lawan satu dengan kiper tangguh Iker Cassilas. Robben adalah fenomena Belanda dalam segala nasib naasnya.

Sebelum mencapai final, Belanda memang bermarkas di Cape Town, kota wisata paling terkenal di Afrika. Di seberangnya ada pulau paling keramat bagi perjuangan kaum kulit hitam menentang penguasa apartheid. Namanya Robben Island. Dan penghuninya yang paling terkenal tentu adalah Madiba, kita mengenalnya sebagai Nelson Mandela atau klan mereka menyebutnya Madiba.

Dialah spirit bagi demokrasi dunia. Negarawan yang lahir dari simbol perlawanan melawan kezaliman. Keberadaannya adalah berkat bagi perababan dunia. Mandela hanya bersedia menjabat pemerintahan transisi dari Willem de Klerk untuk satu periode saja. Pada jamannya kita juga mengenal presiden Korea Selatan Kim dae-Jung yang menjadi pimpinan generasi idaman yang kenyang di penjara karena melawan tirani militer yang otoriter habis. Madiba berhasil mempersatukan negerinya dengan perhatian pada rekonsiliasi yang sesungguhnya.

Sama seperti dae-Jung yang juga mengsung kepemimpinan yang mendasari prinsip pemerintahannya dengan memaafkan lawan-lawan politik yang pernah mengekangnya dengan biadab. Atas nama cinta, politik mestinya dapat dijalankan dengan kepemimpinan, yang sayangnya tak semua seperti mereka berdua. Atas inisiatif Madiba, Piala Dunia bisa berlangsung di tanah Afrika, dan upayanya untuk hadir secara fisik di Joburg baik pada pembukaan atau penutupan akhirnya kandas karena perkabungan cicitnya yang tewas dalam kecelakaan usai menonton konser rock menyambut Piala Dunia di Soweto.

Madiba adalah pemimpin yang sesungguhnya bagi Afrika, juga dunia. Dia tentu menjadi perlambang persatuan Afrika yang hingga kini banyak dikuasai pemimpin yang kurang kredibel dan zalim, contohnya seperti Robert Mugabe, mantan pejuang dan aktivis politik yang memimpin Rhodesia alias Zimbabwe dengan tangan besi yang berlinang darah. Orang-orang seperti Madiba dan Kim dae-Jung adalah pemimpin-pemimpin langka yang pernah dimiliki dunia. Sayangnya mereka dicintai begitu banyak orang namun kepemimpinan nyata jarang meniru keteladanan mereka.

Jika atlet sepakbola berbakat seperti Arjen Robben menyesali nasib karena kegagalannya dalam tangis yang tak berkesudahan, maka dari Madiba kita dapat menimba teladan bahwa memaafkan lawan politik yang bengis sekalipun harus dilakukan untuk mempersatukan bangsa yang begitu terpecah oleh primordialisme. Namun sebelum menempuh tindakan maaf nasional tersebut, Madiba telah berhasil memaafkan dirinya dari rasa dengki dan dendam kesumat yang memenuhi benak dan hatinya. Sikap ksatria dan kebijaksanaan yang kokoh sifat kemanusiannya itu di dapatnya dari tempaan neraka jahanam bernama pulau Robben yang penuh azab. Sayangnya Robben yang satu ini tak juga dapat memetik sepotong dari kebijakan hidup Nelson Mandela untuk memaafkan dirinya.

18 Juli. Selamat ulang tahun ke 92, Nelson Mandela. Mari kita rayakan dengan bersulang anggur demi perdamaian dunia seraya berharap semangat persatuan yang diembannya juga terus menyertai para politikus negeri kita yang semakin menjauh dari semangat persamaan, persaudaraan dan kesetaraan seperti yang termaktub dalam ke bhinekaan Indonesia. Biarlah logo Garuda Pancasila yang melekat di dada pada kostum timnas kita, dipenuhi dahulu secara hakiki secara kenegaraan yang manusiawi, baru kemudian kita membangun timnas yang bisa berbicara atas nama refleksi kemajemukan kita di dunia internasional pada waktunya.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Schalk van Zuydam)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 17/07/2010 18:47