Demi Seonggok Keindahan

Mercon kertas bertebaran di tengah lapangan hijau, memenuhi angkasa Sokkerstaad alias Soccer City Stadium di Johannesburg, dinihari tadi. Drama pertarungan dua calon juara dunia baru saja berlangsung dengan keras tapi juga mendebarkan meskipun kualitas tontonannya biasa-biasa saja. Masih jauh di bawah final 1978 apalagi 1974. Tak ada perang taktik yang pantas dikenang, kecuali kerasnya partai itu. Bayangkan, bagaimana kurang keras jika 14 kartu kuning serta satu kartu merah yang dikeluarkan wasit berkepala plontos asal Inggris, Howard Webb dari sakunya.Sembilan untuk kesebelasan Belanda termasuk dua yang berubah menjadi satu kartu merah untuk pemain belakang John Heitinga dan lima untuk pemain Spanyol yang sempat kepancing emosinya.

Pelatih negeri kincir angin itu, Bert van Marwijk, usai tarung mengecam habis kepemimpinan Webb menghakimi partai final itu. Meskipun kasat mata, Belanda bermain cenderung kasar termasuk satu tendangan kung-fu Nigel de Jong yang mendarat telak di dada Xabi Alonso yang luar biasa dongkol karena Webb hanya menghadiahi de Jong kartu kuning. Tapi sudahlah, meskipun kehadiran Marwijk mampu menggiring anak-anak der oranje ke final yang menjadi impian semua insan sepakbola profesional, namun pola yang dikembangkannya tak menarik untuk ditonton. Marwijk adalah sosok yang karakternya mirip pelatih Brazil Carlos Dunga. Mereka menganut paham sepakbola pragmatis yang sama. Mementingkan hasil di atas segala-galanya, ketimbang tontonan berkelas.

Bagi Dunga sepakbola modern adalah efektivitas, tak perduli bakat alam, kreativitas dan sensitivitas atlet bola Brazil memang mengaliri darah mereka. Bagi Dunga yang merasakan ditikam belati oleh anak-anak Les Bleus di stade de France, kekalahan itu adalah luka mendalam yang tak boleh dirasakan anak-anak asuhnya. Karenanya sebagai bek tangguh Brazil pada jamannya, Dunga takut benar dengan kekalahan. Dunga lupa bahwa namanya tak pernah akan dikenang sebagai pelatih spesial jika dia menggusur identitas serta karakter jiwa permainan Brazil sembari meletakkan hasil di atas altar penyembahan yang harus dipuja lebih tinggi dari langit ke tujuh. Mendiang Tele Santana adalah pelatih kalahan, tapi namanya tetap abadi sebagai pelatih yang memanjakan penonton dengan jogo bonito-nya.

Setelah ditelikung oleh Belanda yang lebih totok pragmatisnya, mendadak Dunga merasakan ada belati yang menikam lebih dalam ke uluhatinya. Selain dipecat, nama Dunga pasti hanya akan dikenang sebagai pelatih pecundang yang telah membunuh sanubarinya sendiri. Namanya hanya menjadi referensi yang "notorious" bagi sepakbola dunia. Sementara Marwijk nasibnya bakal lebih menderita, usai ditaklukkan oleh permainan indah Spanyol. Dia pasti merasakan tak hanya tikaman belati namun juga tikaman yang berayun seperti "tiki-taka" di dalam jantung dan empedunya. Marwijk dibunuh oleh Spanyol, yang sesungguhnya di dalam nadinya mengalir metoda pola sepakbola indah yang dimainkan Belanda pada masa lalu yang kala itu di bawa Johann Cruijff dan Rinus Michels ke Barcelona setelah mereka ditekuk Jerman Barat pada final klasik 1974.

Ada tujuh pemain Barcelona yang menjadi pemain inti dari kesebelasan tim matador kali ini. Spanyol yang karena permainan pendeknya demikian memukau, oleh master sepakbola indah del Bosque, disulap menjadi kekuatan sepakbola terbaik di seantero bumi saat ini. Belanda bermain sangat jauh dari karakter aslinya. Permainan kerasnya mirip pola permainan Uruguay sebelum era Diego Forlan. Menghancurkan taktik lawan dengan permainan keras yang cenderung kasar. Karenanya kekalahan Belanda bukanlah kesalahan pemainnya, tapi kekeliruan taktik Marwijk yang cenderung anti-football. Dia bakal dikenang sepanjang jaman sebagai pelatih Belanda yang membunuh pola ofensif yang telah menjadi cap dagang tim Oranye.

Sistem kepelatihan pragmatis dengan metoda hasil akhir belakangan dianut kembali dengan bangga oleh Jose Mourinho. Marwijk, Dunga, Fabio Capello dan Sven Goran-Eriksson adalah satelitnya. Dalam Piala Dunia kali ini mereka berseberangan dengan Joachim Loew (Jerman), Takeshi Okada (Jepang), Diego Maradona (Argentina) dan tentunya Vicente del Bosque yang tetap mengindahkan permainan ofensif nan estetis untuk menghadirkan partai bermutu bagi penonton di seantero bumi. Dengan kesuksesan del Bosque yang mengemukakan keindahan bermain sebagai filosofi dasar sepakbola Spanyol, maka metoda kepelatihan gaya Jose Mourinho yang pragmatis telah mendapatkan rivalitasnya yang sepadan.

Meskipun dipenuhi pemain elite dunia, namun pelatih yang menentukan akan disajikan dengan menu apa permainan mereka hari ini. Nasi sudah jadi bubur. Waktu tak bisa diputar mundur. Belanda layak tersingkir karena permainannya membosankan. Yang jelas, meskipun Marwijk berhasil membawa Belanda ke final, namun dia belum layak disandingkan dengan dua pendahulunya, Ernst Happl, apalagi sang legenda Rinus Michels yang juga gagal di final namun namanya selalu menjadi citra ofensif sepakbola Belanda.

Kembali ke lapangan hijau, selebrasi tengah menggetarkan stadion yang suaranya tergabung dengan riuh rendah vuvuzela dan eforia fans La Furia Roja. Hujan kertas-kertas deras mengalir di atas kepala anak-anak Spanyol yang berteriak histeris seraya mengacungkan-acungkan trofi supremasi. Sepakbola sejagad baru saja mereka raih dengan susah payah. Iker Casillas menguncang-guncangkan trofi keramat itu, sementara Gerard Pique, Joan Capdevilla, Sergio Ramos, Fernando Torres, David Villa, Carles Puyol, Xavi Hernandez dan sang pahlawan Andres Iniesta yang mencetak gol semata wayang pada menit ke 116 babak perpanjangan waktu, bersorak-sorai.

Sebelum pertarungan final.yang dibuka dengan menyanyikan lagu kebangsaan Belanda, Wilhelmus van Nasouwe, dan lagu kejayaan Spanyol, La Marcha Real, penonton telah dihibur dengan upacara penutupan yang indah dan memukau. Menggunakan segenap ruangan di seluruh stadion berbentuk calabash, pot khas Afrika itu, penonton benar-benar dimanjakan matanya dan dihibur jiwanya. Penampilan Ladysmith Black Mamboza dan Shakira, penyanyi Kolumbia yang melantunkan hit Piala Dunia, "Waka-Waka", mewarnai suasana riang dan semarak dari panitia Piala Dunia Afrika Selatan yang penuh dengan kendala-kendala non teknis, khususnya keamanan dan perlindungan dari aksi kriminal yang sesungguhnya dapat mencoreng wajah kepanitiaan mereka.

Setelah tontonan hiburan upacara penutupan yang dinikmati bersama-sama, tibalah kubu terpecah dua untuk mendukung masing-masing kesebelasan. Manakala taktik del Bosque yang bisa merayap, maju perlahan, dan mematikan itu, berhasil membungkam anak-anak oranye yang tak sanggup mengembangkan permainannya maka kehancuran Belanda seperti tinggal menunggu detak waktu belaka. Apalagi Arjen Robben, Mark van Bommel serta Wesley Sneijder tak sanggup menguasai lini tengah yang supremasinya di kendalikan Spanyol. Kekalahan akhirnya benar-benar terjadi setelah tendangan kaki kanan Iniesta merobek jala Maarten Stekelenburg yang mati langkah. Tiga kali masuk final, semuanya gagal, membuat Belanda dikenal dengan sebutan tim hebat sejagad yang belum sekalipun meraih trofi juara dunia.

Itulah takdir Belanda dan setinggi itu pula harga yang mesti dibayar dari pengkhianatan pelatih mereka usai mengabaikan serta menggusur sepakbola indah nan sexy yang sudah terlanjur melekat dalam citra sepakbola Orannye. Jika Marwijk akhirnya mundur sebagai pelatih Belanda, maka baiknya dia banyak berbincang dengan Paul Sang Gurita yang sudah lebih dahulu memutuskan pensiun dari blantika ramalan sepakbola dunia. Setidaknya itulah komunike resmi yang disampaikan pihak Taman Laut Oberhausen, Jerman, tempat bermukimnya Paul yang sangat fenomenal itu. Dan barangkali, Sang Gurita, bakal lebih dikenang ketimbang keberadaan diri Marwijk yang malang itu.

Sampai sua lagi di Brazil empat tahun mendatang, (mungkin) tanpa Bert Marwijk dan Paul Sang Gurita.

oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

(Foto: Antara/Reuters/Dylan Martinez)

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 13/07/2010 07:03