Drama Penaklukan Spanyol
Christoper Columbus cilik ditemani sang ayah menikmati suatu pagi yang cerah di laut tengah. Sambil menggigit ujung ilalang pesisir, mata Columbus tak berkedip menatap garis horison di ufuk sana. Saujana yang membelah pandangan sejauh mata memandang. Gelora samudra Atlantik sebagai landasan dan lazuardi biru menghampar di atasnya. Pertemuan dua alam, angkasa dan air, yang membentuk garis impresi sebagai kaki langit. Dari mata yang penuh ingin tahu, Columbus terus menatapi ufuk di penghujung sana. Tetap tak berkedip.
Sekonyong-konyong dari ufuk berbatas langit biru itu, muncul sebentuk noktah yang perlahan membentuk garis tipis vertikal yang sedikit demi sedikit makin terlihat utuh sebelum membentuk siluet kapal layar yang bergerak sangat perlahan di kaki langit nun jauh di sana. Mata lentik Columbus berbinar tanda bahagia menyaksikan suatu misteri yang kelak membawanya menyusuri petualangan menemukan benua baru. Bumi itu bulat, Columbus membenarkan teori Copernicus. Teori yang ditabukan para cendekiawan yang berlindung di bawah kekuasaan gereja pada jaman itu.
Scene itu digunakan sebagai rekaan sutraadra sohor Ridley Scott mengawali film "1492: Conquest the Paradise" dengan Gerard Depardeau sebagai Columbus dewasa yang bertualang menemukan kata hati yang meyakinkannya. Columbus dengan keyakinan bahwa bumi bulat, terus mencari jalan agar suatu hari kelak hari pembuktian haruslah terwujud dalam ekspedisi yang entah harus dibiayai siapa. Sampai suatu hari Ratu Isabel dari Kastilia penguasa Spanyol bersedia membiayai proyek ambisius Columbus. Dengan tiga kapal layar: Nina, Pinta, dan Santa Maria, beserta seluruh awaknya.
Dengan tiga kapal layar tiang tinggi itu, Columbus menuntaskan pembuktiannya menemukan beberapa kawasan di benua baru Amerika. Sejarah mencatat pendaratan 1492 itu sebagai asimilasi bangsa Spanyol yang mengawali kolonialisasi di benua baru tersebut, sekaligus menanamkan pengaruh budaya dan juga garis keturunan mereka. Hampir seluruh peserta Piala Dunia yang lolos dari benua Amerika adalah negeri berdaulat yang berbahasa Spanyol, kecuali AS dan Brazil.
Tiga kapal itu, ibarat tiga gelandang dari perairan semenanjung Iberia. Mereka adalah Andres Iniesta, Xavi Hernandes dan Xabi Alonso yang mencoba menghadang laju pelaut-pelaut Belanda yang meskipun dalam sejarah tak setangguh mereka, tetaplah bukan perihal terpuji dengan mengabaikan mereka. Kita tahu baru seabad kemudian pelaut Belanda bernama Cornelis de Houtman berhasil melayari Atlantik dan menyeberang dari Tanjung Pengharapan menyentuh tanah air Indonesia untuk pertama kalinya. Selanjutnya adalah kisah penjajahan yang tercatat dalam sejarah kelam bangsa-bangsa di dunia.
Tiga kapal dan seluruh kru kerajaan Spanyol, anak-anak kerajaan Oranye van Nassouwe, dinihari nanti akan bertarung di Sokkerstaad, alias Soccer City Stadium di Johannesburg. Kota yang menjadi simbol pembebasan kolonialisme. Di sudut-sudut jalan di kota inilah perlawanan menentang rezim apartheid berlangsung dengan gigih. Rezim Apartheid yang keji adalah masyarakat Afrika keturunan Belanda yang masih percaya rasisme sebagai jalan melestarikan keturunannya. Di stadion ini, Nelson Mandela yang juga disapa dengan Madibha menyampaikan pidato usai pembebasannya pada awal 1990 setelah hampir 30 tahun diterungku penguasa rasis tersebut dengan nomor tahanan 466/64.
Sejak pidato Madhiba di Sokkerstaad itu, rakyat kulit hitam beroleh semangat sipritual yang luarbiasa, hingga berhasil menumbangkan rezim Apartheid yang sangat kuat itu. Tak ada vendetta "mata balas mata, jiwa balas jiwa", karena Madibha dengan legowo memaafkan rezim lama dan mengajak bersama-sama membangun Afrika Selatan secara koletif. Semua warna kulit adalah sama. Demokrasi akhirnya menemukan tempatnya. Apalagi jika dinihari nanti Mandela berkenan hadir di stadion penuh sejarah itu, bersama-sama dengan putra mahkota Spanyol, Pangeran Felipe dan putra Letizia serta Ratu Sofia yang telah hadir sejak Spanyol menekuk Jerman.
Anak-anak Joachim Loew sendiri dinihari tadi berhasil menduduki singgasana nomor tiga dengan mengakhiri perlawanan Uruguay 3-2. Menutup turnamen dengan total keuanggulan Eropa. Di sisi lain Uruguay gagal meraihkan ambisi pelatih Oscar Washington Tabarez untuk tak sekadar menaklukan Jerman, namun juga menghancurkan ramalan Paul Sang Gurita yang bermukim di akuarium taman laut Oberhausen Jerman yang sehari sebelumnya memilih Jerman sebagai pemanang tarung yang seru tersebut.
Di tribun kehormatan itu putra mahkota Belanda, Pangeran Willem Alexander dan pakhir dari strategiutri Maxima akan mewakil wakyat dan kerajaan Oranye untuk memberi dukungan kepada kesebelasan Belanda. Mereka akan bersama-sama duduk di antara sejarah kolonialisme yang melintas di belakang mereka dan subyeknya mengaliri darah mereka. Sekarang lewat sepakbola yang telah sampai di ujung piramid, demokrasi akan dibuktikan sebagai bias dari belantara sepakbola yang telah menyita waktu kita sebulan ini. Di semua jaringan media, layar kaca dan jejaring sosial.
Racikan Vicente del Bosque atau adonan Bert van Maarwijk yang membawa tuah keberuntungan? Jala Maarten Stekelenburg atau gawang Iker Casillas yang akan kemasukan lebih banyak? Dinihari ini kedua seteru yang mewakili poros sepakbola Eropa itu akan membuktikannya. Johann Cruijff boleh saja menjagokan Spanyol karena permainannya dan mencerca Belanda karena dianggap telah mengkhianti sepakbola indah. Tapi siapa yang tahu pada penghujung laga ini, Belanda menggelontorkan kembali sepakbola total sebagai strategi puncak
Marwijk pastilah gentar jika timnya mengalami malam naas seperti dua final sebelumnya, tapi dia tak boleh kenyi seperti Loew saat berhadapan dengan Spanyol yang akan menjadi lawannya kali ini. Sanggupkah penguasaan bola Spanyol diterobos anak-anak Oranye van Nassau? Atau mampukah tiga kapal itu dikaramkan sehingga perlawanan Spanyol yang superior itu binasa? Tiga kastil Belanda, Wesley Sneijder, Arjen Robben dan menantu Marwijk sendiri, Mark Van Bommel yang akan menjawabnya. Perjuangan demi juara yang sesungguhnya, atas nama siluet singa menjulurkan lidah dan bermahkota oranye yang menjadi logo KNVB, Asosiasi Sepakbola Belanda.
Partai final adalah peratarungan harkat, kematangan, kepercayaan diri, determinasi, semangat pembebasan sekaligus akhir dari strategi permainan. Apapun hasil akhir dari perhelatan akbar ini, juara baru pasti muncul. Dan yang paling utama, FIFA mampu menggelar turnamen yang membawa dunia dalam kebersamaan mengejar prestasi dan menumbuhkan sportivitas semesta. Muara yang disalurkan sepakbola bagaimanapun adalah penyumbang bagi peradaban umat manusia melalui perdamaian, kesukacitaan dan demokrasi. Inilah akhir suatu pertarungan yang sebentar lagi akan terkuak dari belantara dan misteri sepakbola.
oscar motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara
(Foto: Antara/Reuters/Marcelo del Pozo)
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 11/07/2010 14:49