"Dawai 2 Asmara" dan Obsesi Revolusi Dangdut Kedua
Karpet merah malam itu terhampar di jalan dan tangga menuju ruang tunggu gedung bioskop jaringan 21 Planet Hollywood Jakarta. Di salah satu sisi temboknya dilapisi poster besar bertuliskan judul film yang disediakan untuk ditandatangani oleh tamu-tamu undangan, tempat untuk para kuli tinta memotret dan mewawancarai para bintang yang hadir.
Sebanyak lima studio di tempat itu di-'booking' untuk menampung tamu undangan yang akan menyaksikan pemutaran perdana, Kerumunan dan hiruk pikuk tamu undangan segera memenuhi ruang tunggu, sementara di semua sudut ruangan terpasang poster berbagai pose. Malam itu acaranya memang dikemas rada-rada mirip acara gala premiere, namun kali ini yang diputar bukan film baru produksi Hollywood, tapi film drama komedi musikal Indonesia bertajuk "Dawai 2 Asmara" yang dibintangi Rhoma Irama dan putranya Ridho Rhoma.
Ya. malam itu menjadi istimewa karena setelah lebih dari satu dekade Rhoma Irama tidak memproduksi dan membintangi film-film bertema drama musikal, khususnya musik dangdut. Kali ini si Raja Dangdut kembali unjuk gigi dengan membintangi film terbarunya untuk menandai kebangkitan kembali musik dangdut, khususnya yang pernah dipopulerkan sejak tahun 70-an dan akhir-akhir ini makin terpuruk di blantika musik tanah air.
"Saya sangat berkepentingan untuk suksesnya film ini, sebagai upaya untuk membangkitkan kembali musik dangdut agar bisa kembali berjaya di tanah air," ujar Rhoma usai pemutaran film. Rhoma pantas berkepentingan dengan film ini karena dengan film ini ia menjawab semua pertanyaan tentang upayanya menciptakan "revolusi kedua" musik dangdut, yaitu dengan menyokong dan membesarkan band dangdut putranya, Sonet 2 Band, seperti yang didengungkan dalam dua tahun terakhir ini.
Bisa dikatakan film ini merupakan sosialisasi dari proyek revolusi dangdut kedua tersebut, sebuah jawaban atas keprihatinan dan ambisinya untuk mencegah kepunahan musik dangdut. "Jika anda ingin mengetahui apa itu revolusi dangdut kedua dan bagaimana misinya maka semua jawaban itu ada dalam film ini," jelas Rhoma setengah berpromosi.
Jika sejenak menengok ke belakang, Rhoma Irama memang pencipta genre musik yang disebut dangdut, terinspirasi oleh musik rock dan harmoni khas Melayu lewat Orkes Melayu. Pada awal tahun 70-an ia bereksperimen dengan menyatukan musik Melayu dengan elemen rock, elemen musik India serta Arab. Dengan gayanya yang baru dan energik, ia menghidupkan musik Melayu dengan ritme cepat dan dinamis.
Sejak itu namanya melambung. Dia menjadi superstar baik di dunia rekaman maupun di dunia film. Musik yang dibawakannya mampu berkiprah dan bersaing dengan aliran rock yang kala itu sedang ngetren. Dia bahkan mampu meraih popularitas lebih besar terutama di kalangan bawah, yang belakangan menobatkannya sebagai "Raja Dangdut".
Namun seiring dengan perkembangan zaman, musik dangdut yang dipopulerkannya mulai terganggu. Tarian-tarian sensual masuk menjadi bagian pertunjukan di panggung-panggung musik dangdut yang sedikit demi sedikit menggerus simpati publik terhadap musik ini. Menurut Rhoma, maraknya erotisme ini menyebabkan dangdut terpuruk menjadi tontonan seksual yang tidak berkualitas dan terkesan kampungan.
Memang, publik dangdut di tanah air kala itu lebih akrab dengan .goyang ngebor. ala Inul Daratista, .goyang gergaji.-nya Dewi Persik dan juga .goyang patah-patah.-nya Anissa Bahar. Bahkan yang lebih parah, tak jarang liukan-liukan erotis itu dipertontonkan oleh orkes dangdut lokal saat manggung di kampung-kampung.
Akibatnya, dangdut mulai tergusur dari panggung-panggung televisi, dan hanya menyisakan TPI yang masih setia mengaku saluran televisi dangdut. Keterpurukan ini ditambah dengan maraknya popularitas band-band pop di jagat musik di tanah air. Bebasnya pembajakan kaset dan CD juga menurunkan gairah musisi dangdut untuk mencipta lagu yang akhirnya semakin memperparah daya saing musik dangdut.
Dangdut menghadapi kepunahan dan Rhoma sebagai pelopor dan pencipta dangdut mengaku dibuat geram. "Saya ingin mengembalikan kembali kejayaan musik dangdut di tanah air agar sejajar kembali dengan berbagai musik yang berkembang saat ini. Maka-nya harus diciptakan sesuatu yang baru, sesuatu yang berbeda yang dapat diterima masyarakat saat ini. Dangdut perlu direvolusi untuk kedua kalinya," ujarnya saat ditemui wartawan pada malam itu.
Musisi yang telah menciptakan 685 lagu dan berperan di lebih dari 10 film itu tampak serius dengan langkahnya. Dia ternyata didukung penuh oleh produser dari .falcon music., HB Naveen. Revolusi dimulai dengan meluncurkan album "Menunggu" yang dinyanyikan oleh Ridho Rhoma dengan iringan Sonet 2 Band tahun lalu. Pada album itu, Rhoma Irama bereksperimen dengan popdangdut dengan memasukkan unsur drum sebagai penganti kendang atau tabla.
Jika di awal pembentukannya dangdut banyak diramu dengan memasukkan unsur rock, namun dalam dangdut baru ini Rhoma nampaknya diarahkan untuk lebih mengangkat nuansa .pop dangdut. dengan ritme drum-pop yang dominan dengan menggantikan bunyi-bunyian khas dangdut selama ini: kendang dan suling bambu. Album yang berisi 10 lagu lama karya Rhoma Irama ini di-remake dengan sentuhan pop oleh Sonet2 band dan hasilnya cukup mendapat sambutan pasar.
Terbukti .falcon music. dalam waktu yang tidak lama kembali menggelontorkan dananya untuk mendanai single terbaru Rhoma bertajuk "Azza". Single yang dikemas mewah dan didukung klip video berbujet gede itu diharapkan mampu mendongkrak bentuk baru dangdut. Dan film "Dawai 2 Asmara" yang diluncurkan malam itu adalah bagian dari strategi besar Rhoma untuk mewujudkan "Revolusi Kedua" dangdut dengan mengangkat Ridho dan Sonet2 Band sebagai ujung tombaknya.
Jadilah film drama musikal yang menokohkan Ridho plus Sonet2 sebagai ikon dangdut baru di masa depan dengan jalinan cerita yang sebetulnya sederhana saja. Ridho, yang sedang menuntut ilmu di negeri seberang, dipanggil pulang oleh ayahnya, Rhoma Irama, untuk melanjutkan perjuangannya: memberi "nuansa baru" pada musik asli Indonesia, yaitu dangdut. Bisa jadi film ini adalah sebuah pesan visual dari ambisi Rhoma dalam merevolusi musik dangdut yang kedua.
Di sisi lain kehidupannya, Ridho dihadapkan pada sebuah pilihan: kembali pada Thufa, cinta-nya semasa SMP, atau ia akan menyemai cinta baru pada Haura Sydne , mahasiswi Australia yang sedang meriset dangdut.
Sementara Thufa sendiri dihadapkan pada Delon, seorang penyanyi muda berbakat yang mengejarnya untuk bertunangan. Kisah Ridho, Thufa, Delon, dan Haura semakin rumit dengan kehadiran Bruto, seorang fans berat yang terobsesi pada Rhoma Irama, Sang Raja Dangdut Indonesia.
Sebagai sebuah awal kebangkitan kembali Rhoma dan awal karir di dunia akting Ridho, film ini sepertinya cukup menjanjikan. Album soundtrack film-nya yang berisi delapan lagu dengan aransemen baru juga berpotensi mendulang sukses seperti album pertama Ridho. Optimisme ini juga muncul dari sang produser yang siap menggelontorkan miliaran rupiah untuk memproduksi film-film sejenis berikutnya.
Kalaupun harus ada catatan tentang film ini, selain faktor postur tubuh Ridho yang kegemukan sehingga mempengaruhi gesture-nya saat berakting, adalah soal disain poster film yang terkesan dibuat asal-asalan sehingga kurang berhasil mengangkat warna musikal yang tengah diusungnya. Sori bro, poster itu kayaknya lebih cocok untuk film-film horor deh.
Zarqoni Maksum
Pewarta foto ANTARA dan penikmat dangdut
(Foto ANTARA/Teresia May: Ridho Rhoma saat peluncuran "Dawai 2 Asmara")
Pewarta: Zarqoni Maksum | Editor:
Disiarkan: 11/09/2010 10:06