Ah, Ternyata Tak Cuma Indonesia

Gonjang-ganjing pajak di Indonesia masih menyita perhatian publik. Belum juga tuntas kasus Gayus Tambunan, PNS golongan III A yang jadi milyuner karena pintar "membantu" wajib pajak kelas kakap, eh muncul lagi kehebohan baru. Kali ini disulut oleh Pemda DKI yang berencana memberlakukan peraturan daerah (perda) tentang pajak dan retribusi mulai 1 Januari 2011 nanti.

Berdasarkan perda tersebut, Pemda DKI akan memajaki rumah makan yang omsetnya setahun mencapai 60 juta rupiah atau lebih. Angka ini sama saja dengan 5 juta rupiah sebulan alias hanya 167 ribu perak per hari! Dengan batasan sekecil itu, yang akan terkena dampaknya bukan cuma restoran-restoran kelas atas tapi juga warung-warung makan di pinggir jalan, termasuk penjaja makanan keliling seperti tukang bakso dan mie ayam.

Jika rencana ini jadi diterapkan Pak Gubernur, maka puluhan ribu warnas, warteg dan warsun yang ada di Jakarta dipastikan akan resah dan gelisah. Tak ada alternatif lain bagi mereka kecuali menaikkan harga jual. Ujung-ujungnya, konsumen kecil yang umumnya berpenghasilan pas-pasan akan mengalami sindrom penurunan daya beli. Menyangkut kebutuhan dasar seperti makanan, menurunnya daya beli jelas akan mengurangi kualitas hidup masyarakat di lapisan bawah.

Tak perlu mengundang akuntan untuk menghitung seberapa besar potential loss yang bakal mereka alami. Dengan level penghasilan saat ini saja, para kawula alit hanya bisa menikmati sepiring nasi, sejumput sayuran dan sepotong lauk. Jelas belum memenuhi kriteria Empat Sehat Lima Sempurna, apalagi mendekati kemewahan yang dinikmati Tuan Gayus selama "bertualang" di Pulau Dewata.

Untunglah setelah dikritik sana-sini, Pemda DKI akhirnya memutuskan untuk menunda pemberlakuan perda yang kontroversial itu. Cukup melegakan, meski tak jelas sampai kapan penundaan itu dilakukan. Artinya, para pengelola rumah makan tetap merasa khawatir kalau-kalau perda itu jadi diterapkan pada tahun berikutnya.

Pajak aneh semacam "pajak warteg" ini ternyata tak cuma ada di Indonesia. Beragam pajak yang nyeleneh ditemukan juga di belahan dunia lain, termasuk di negara-negara maju. Banyak di antaranya tinggal sejarah, sebagian lagi masih diberlakukan hingga kini.

Inilah pajak-pajak aneh di sejumlah negara yang dikutip dari berbagai sumber.

Inggris



Rusia

Di masa lalu, jenggot merupakan hal penting dalam penampilan seseorang. Tapi di abad ke-17, anggapan ini mulai usang di kawasan Eropa Barat. Biar tidak dibilang ketinggalan jaman, Tsar Peter melarang rakyatnya berjenggot pada 1705. Larangan ini tidak berlaku bagi mereka yang mampu membayar pajak jenggot.

Orang yang membayar pajak jenggot akan menerima sebuah koin perak atau tembaga yang di kedua sisinya terdapat tulisan yang berbeda. Pada satu sisi tertulis "pajak jenggot telah dibayar", sementara di sisi lainnya tertulis "jenggot adalah beban yang berlebihan".

Italia

Pajak air kencing diberlakukan pada abad ke-1 saat Romawi diperintah oleh Kaisar Nero dan Vespasian. Pajak itu dikenakan kepada para pengepul yang mengumpulkan urine dari toilet-toilet umum. Para pengepul menjual kembali air kencing itu untuk berbagai keperluan seperti menyamak kulit dan memutihkan gigi. Ketika putra Vespasian yang bernama Titus berkuasa, dia mengkritik pajak konyol itu dengan mengatakan "Pecunia non olet" (uang tak ada baunya).

Filipina

Pemerintah Filipina pada tahun 2008 berencana mengenakan pajak atas pesan singkat atau SMS. Para pengguna ponsel yang marah lalu membombardir pemerintah dengan SMS bertuliskan "No to Text Tax". Dalam waktu kurang dari 24 jam sejak diumumkan, rencana itu akhirnya dibatalkan.

Amerika Serikat



Anton Santoso
Webmaster antarafoto.com

(Foto: ANTARA/Prasetyo Utomo)

Pewarta: Anton Santoso | Editor:

Disiarkan: 09/12/2010 21:20