Mulut Mou, Harimau Mou
Sementara persoalan domestik kita tersita pada parodi kehumasan politis "beres-beres" yang tak pernah tuntas, usai pelesiran Gayus Tambunan ke Bali nonton aksi petenis sexy pujaannya, Daniela Hantuchova, di turnamen tennis Commonwealth, di semenanjung Korea, dua negeri sekandung berlainan ideologi saling bertatap muka dengan mulut penuh rudal dan artileri yang siap dimuntahkan dengan kemarahan. Kala pengungsi Merapi belum seluruhnya kembali ke habitat mereka, anak Krakatau dan gunung Bromo juga batuk-batuk terus.
Beruntunglah, saat kasus memalukan Gayus berhasil membuktikan bahwa hukum di negeri ini hanya pepesan kosong yang dimainkan para badut sirkus dan kegentingan kawasan semenanjung tengah menuju persalinannya, nun jauh di negeri sebrang, di Iberia sana, perhatian dunia tengah terfokus ke kota Barcelona yang indah, tepatnya Nou Camp. Itulah markas besar orang-orang Katalunya yang tengah menyiapkan laga sepakbola paling akbar sedunia dalam pekan ini. Mereka menyiapkan arena menantang Real Madrid, sang seteru abadi. Musuh dalam sepakbola sekaligus lawan politis bangsa Katalunya yang ingin memisahkan diri dari kerajaan Spanyol Raya.
Dua klub terbaik di seantero bumi akan saling berhadapan pada Selasa dinihari, di stadion megah Nou Camp. Stadion kesebelasan yang termasyur dengan motto "bukan sekadar klub". Nou Camp memang tak sekadar klub olahraga, sejak didirikan, klub olahraga itu adalah juga markas besar demokrasi orang-orang Katalunya yang secara tradisional membenci kaum royalis yang berkedudukan di Madrid. Kondisi ini membuat motivasi tuan rumah semakin bergelora apalagi Real kali ini akan datang dengan pelatih Jose Mourinho alias Mou alias Muhammad Ali-nya sepakbola Eropa secara omong besar.
Karena Barcelona bukan sekadar klub, maka perang dua kesebelasan dengan segudang gladiator termasyur mereka pasti sangat menjanjikan buat ditonton. Lupakan Spanyol, kampiun Piala Dunia Afrika Selatan Juni lalu, yang disambut begitu meriah di Madrid. La Furia Roja, adalah ajang Barcelona, karena pemain Real hanyalah supporting unit bagi tim inti yang mayoritas berasal dari Barca. Nanti striker David Villa, atau Andres Iniesta dan Xavi Hernandez harus membombardir gawang sejawatnya di tim nasional, Iker Casillas.
Saat para koruptor Indonesia menikmati paling tidak 90 menit suguhan olahraga yang dijamin bergengsi karena liga Spanyol saat ini menjadi turnamen elite dunia, prajurit yang bermusuhan di semenanjung Korea juga pastinya akan menyisihkan waktu sejenak di depan layar kaca agar tak kehilangan kesempatan menikmati pertarungan yang sangat menjanjikan itu. Mata dunia, pastinya akan menyantap perseteruan yang bisa disebut bukan pertarungan biasa, karena laga itu juga memunculkan pertarungan bergengsi antar dua pelatih yang menjadi dalang di kedua kubu yang berlawanan. Pep Guardiola versus sang special one, Mou.
Pep adalah pemain cemerlang pada jamannya. Dia adalah atlet produk asli Barcelona yang hadir di Nou Camp sebagai pelatih, setelah memimpin kesebelasan Barca B. Dia merambah naik dari posisi sebagai salah satu gelandang paling cerdas yang dimiliki Barca menjadi peracik strategi Barca yang sesungguhnya. Pep adalah pria Katalunya yang konservatif dan cool. Pemain-pemain Barca mencintainya karena metode kepelatihannya yang kolegial, tapi fanatik bermain agresif. Sama seperti pendahulunya, Frank Rijkaard, Pep membenci lawan yang bermain negatif, seperti Inter Milan ketika dilatih Mou. Meskipun kita tahu, saat itu Mou berhasil menjinakkan racikan Pep yang harus menyerahkan mahkota raja Eropa kepada pria flamboyan yang arogan itu.
Ciri dalam sistem kepelatihan Mou, dapat disebutkan sebagai yang paling profesional dan termodern saat ini. Dia menggunakan belasan staf dalam tim di belakang layar Real untuk berbagai keperluan kajian. Mou memimpin pasukan putih-putih, simbol Real yang royalis itu, dengan metode kepelatihan yang akurat. Dia adalah pribadi yang hangat, tapi begitu masuk pada ranah kepelatihan, Mou menjadi Julius Caesar yang haus kemenangan. Karenanya strategi yang dia jalankan dalam turnamen panjang adalah juga melakukan serangan-serangan lewat media sebagai bagian dari psy-war demi meruntuhkan mental lawan dan juga wasit-wasit yang tidak dia sukai.
Menguasai lima bahasa dengan baik, Mou sesungguhnya bukan orang baru di Nou Camp, awal karirnya adalah menjadi penerjemah bagi Bobby Robson dan kemudian bagi asisten pelatih Louis Van Gaal. Mou juga berhubungan baik dengan Pep pada periode itu. Kondisi itu menyebabkan dia tahu benar kelakuan orang-orang Katalunya, yang karakteristiknya mirip dengan sejawat-sejawat di kampungnya, di Setubal sana. Meledak-ledak tapi hangat dan ramah, sarkastis namun punya sense of humor yang baik. Memang sebagai anak Portugal, Mou tak memiliki karir masa muda semasyur Carlo Ancelotti, Frank Rijkaard, Ruud Gullit, Pep, apalagi Johan Cruijff. Dia hanya putra seorang kiper ternama di Portugal pada masa lampau. Barangkali itu sebabnya Mou selalu sengit pada pelatih besar yang masa mudanya adalah atlet sepakbola terkenal seperti mereka.
Mulut alias cangkem, kata bonek-bonek Persebaya, milik Mou memang pedas seperti rawit Medan. Alex Fergusson, Arsene Wenger, Frank Rijkaard, Rafael Benitez, Carlo Ancelotti dan sejumlah wasit papan atas pernah merasakan rudal cangkemnya yang nyelekit. Dengan gaya, dia mengenakan jas gelap atau kelabu keluaran Giorgio Armani di pinggir bench, dan percayalah, karena wajah dan karakternya yang menarik, kamera televisi dan para wartawan tak pernah lepas mengawasi semua gerak-geriknya. Termasuk kaum hawa, yang banyak memujanya sebagai ksatria pemetik bunga yang halus tutur katanya.
Terakhir Mou masuk dalam penyidikan tim UEFA karena diduga sengaja meminta Sergio Ramos dan Xabi Alonso untuk mengulur waktu agar keduanya memperoleh kartu kuning kedua ketika Real menekuk habis Ajax di Arena, Amsterdam dalam penyisihan Piala Champions pekan silam. Tujuannya, tapi masih sesuai peraturan UEFA, agar kedua pemain inti Real itu dapat turun pada babak 16 besar dengan bersih, alias tanpa beban kartu kuning. Sebelumnya, dia diusir dari bench karena mulutnya nyerocos menyerang kepemimpinan wasit saat pertarungan La Liga beberapa pekan silam. Makin cintalah para madritista pada Mou yang fenomenal itu.
Yang barangkali nanti kurang diperhitungkan oleh Mou adalah bahwa Pep merupakan pelatih cerdas yang paham dan berpengalaman sebagai gelandang yang piawai mengorganisir kekuatan lapangan tengah. Pep adalah pelatih yang cepat belajar, tapi gampang terusik emosinya. Sepanjang persoalan non teknis itu mampu di atasinya maka Barca akan berselancar dengan mantap memanfaatkan gelombang tinggi permainan Real Madrid. Iniesta-Busquets-Xavi pastilah ingin melampaui trio Khedira-Oezil-Alonso agar pergerakan Messi-Villa-Pedro dapat maksimal, meskipun Casillas menjaga benteng terakhir mereka.
Seandainya toh tak ada pewarta foto yang mengungkapkan kehadiran Gayus di Bali tempo hari, barangkali kita akan memergoki foto pelesiran jilid dua Gayus dengan wig berwarna blond di tribun kehormatan Nou Camp, seraya memberi aplus menepuki gerak-gerik Messi yang lincah menggoreng bola di lapangan karena mirip dengan kemampuannya menggocek aparat hukum negeri ini dengan telak. Mampukah Mou "meng-gayus-kan" Pep? Barangkali tak ada kata draw dalam duel .el clasico. kali ini karena peruntungan sepertinya bertiup ke hati orang-orang Katalunya yang motivasinya lebih tinggi untuk mendorong kemenangan buah hati mereka, Barcelona.
Oscar Motuloh
Penikmat sepakbola
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 28/11/2010 16:57