Mutiara dalam Lumpur

Sejumlah poster bertuliskan "Clapton is God" menyembul di antara ribuan anak muda yang bergerombol ketika konser perpisahan super trio blues-rock Inggris, Cream, sebentar lagi akan berlangsung di Oakland, California, pada 4 Oktober 1968. Setelah malam mengharukan itu, Eric Clapton, ujung tombak sang trisula akan berpisah dengan sahabat-sahabatnya, bassis Jack Bruce dan Ginger Baker, penabuh drums yang fenomenal itu. Mendadak kutipan "God is Dead" dari Friedrich Nietze (1844-1900), filsuf Jerman yang sohor itu sontak menjadi pembenaran referensial bagi anak-anak generasi bunga yang membutuhkan dewa baru karena tak ada lagi idola yang pantas dibanggakan dari para politisi di tanah AS yang bisanya hanya menjerumuskan negeri adidaya tersebut dalam perang Vietnam yang jorok dan berlumpur.

Cream adalah perintis trio hibrida blues, rock dan gaya psychedelia yang menjadi panutan bagi kelompok dari generasi serupa pada periode waktu setelahnya. Dewa gitar segenerasi dengan Clapton yang bernama Jimi Hendrix sekalipun melandasi grupnya dari konsep super trio yang dipelopori Cream tadi. Di negeri asal Cream sendiri, generasi mudanya membenci para politisi, sejak skandal esek-esek Menteri Pertahanan Inggris John Profumo mencuat kepermukaan pada 1963, yang berbuntut pada jatuhnya kepemimpinan PM Harold McMillan dari Partai Konservatif. Mereka segera mengelukan empat sekawan Beatles dan memuja gelandang jenial Manchester United bernama George Best bak Dewa Zeus.

Meskipun gejala tersebut tak sama persis, maka bisa disimak, ketika panutan politik tak lagi bisa dipercaya, maka masyarakat mengambil keputusannya sendiri. Pencarian tuhan baru dalam belantara show-biz dan olahraga yang sangat terukur menjadi opsi yang mengemuka sebagai area perburuan sang idola. Reputasi dalam dunia olahraga hanya bisa tercapai dalam etika, kreativitas, endurance, kecerdasan, dan motivasi yang sangat kompetitif. Di Filipina, juara dunia petinju Manny Paquaio sering ditebengi popularitasnya oleh mantan Presiden Gloria Macapagal yang belakangan hanya dipandang sebelah mata oleh rakyatnya. Saat generasi muda memuncaki kutukan pada para politisi secara berjamaah dalam Festival Woodstock, George Best menajamkan raihan reputasinya sebagai pesepakbola terbaik Eropa dan mentabiskan dirinya sebagai batara dewa yang sesungguhnya di lapangan hijau.

Di tanah air, belakangan berita dan sambutan tak terduga masyarakat terhadap kesebelasan nasional yang organisasinya penuh kontroversi itu pantas menjadi kajian tersendiri. Merambahi puncak pemberitaan, kisah-kisah tentang El Loco dan Irfan Bachdim cs, ternyata mampu meredakan polemik politik yang panas di Yogyakarta meskipun hanya untuk sementara. Saat ini popularitas Firman Utina cs mulai diboncengi oleh kalangan politisi yang memang ciamik melihat kesempatan. Apa eloknya membagi-bagi kepeng tunai sebesar 2,5 miliar rupiah pada tim saat prestasi mereka sedang menuju klimaksnya. Bukankah lebih cantik jika bonus diakumulasi sekaligus setelah perjuangan telah berada pada titik didihnya di Gelora Bung Karno pada laga pamungkas yang menyudahi turnamen kelas Asia Tenggara ini? Pantaskah semua itu sekaligus ditonton warga sambil mengebas-ngebas debu lumpur Lapindo yang terhembus saat rangkaian truk melintasi nonton bareng mereka?

Mirip seperti semaraknya bendera partai pada setiap bencana di tanah air, maka seyogyanya para atlet kita (termasuk para pemain naturalisi) tak terganggu konsentrasi tarungnya oleh kelakuan para politisi dan pejabat negeri yang ramai-ramai merubungi mereka bak madu yang tersimpan dalam mawar merah mereka yang tengah merekah. Hasil yang tengah diperjuangkan Okto Maniani dkk pun kini telah diklaim duluan sebagai keberhasilan pemerintah via KSN yang dahulu, konon, pernah di gelar di Malang. Sementara bos PSSI juga tak mau kalah untuk mengklaim bahwa sukses tim nasional karena peran PSSI yang dipimpinnya. Saling-silang gugat sukses tersebut sayangnya berlangsung sebelum wasit meniupkan peluit pertanda laga tandang bagi tim nasional tersebut baru akan dimulai malam nanti di stadion Bukit Jalil, Kuala Lumpur.

Pelatih Alfred Riedl mestinya mampu dengan bijak menanggapi fenomena yang riuh-rendah ini sebagai PR spesial pada dua laga khusus yang bakal dihadapi kesebelasan nasional Indonesia. Sikap Riedl dengan alasan menegakkan disiplin dan konsentrasi tim, kala menolak memenuhi undangan makan malam Menpora yang dengan rombongannya telah tiba di Kuala Lumpur terlebih dahulu adalah tindakan terpuji yang wajib dipertahankannya. Entahlah jika permintaan demi permintaan bertubi datang silih berganti karena sejumlah menteri kabinet Indonesia berbondong-bondong hadir di stadion Bukit Jalil untuk mendukung langsung tim Indonesia. Perhatian yang jauh lebih semarak ketimbang atensi pada persoalan perbatasan, apalagi jika TKI kita tengah dirundung penyiksaan seperti yang selama ini kerap terjadi.

Dengan komposisi tim sebaik saat ini, mestinya tak ada rasa jumawa alias kepercayaan berlebihan yang kemungkinan menimpa moral Markus Morison di bawah mistar, Hamka Hamzah yang menggalang pertahanan, serta Firman Utina yang mengatur ritme permainan tim Garuda, di luar fungsinya sebagai kapten yang disegani kawan-kawannya. Malaysia yang pernah mereka lindas 5-1 pada babak penyisihan di Jakarta, tidaklah bisa dijadikan patokan sebagai konfirmasi kemenangan final. Dewa atau bukan, sesungguhnya tidaklah penting, karena pujian hanya pantas dilontarkan pada saat dia menjadi ekses dari suatu kemenangan yang sesungguhnya. Di Bukit Jalil dan tentunya juga di Gelora Bung Karno nanti.

"You are so wonderful tonite", dendang Eric Clapton, dan tentu juga kita. Yang diucapkan dengan tulus pada tim Garuda di ujung laga, pada penutup tahun 2010 ini.

Oscar Motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 26/12/2010 10:42