Mahalnya Sebentuk Konsentrasi
Tambahan waktu hingga delapan menit di babak kedua, karena ulah pendukung tuan rumah yang bermain-main dengan sinar laser yang di arahkan ke mata dan wajah anak-anak Garuda, tak mampu dimanfaatkan timnas Indonesia yang untuk pertama kalinya merasakan pahitnya kekalahan dalam turnamen AFF yang memainkan final pertama antara dua musuh bebuyutan tersebut di stadion Bukit Jalil, pinggiran Kuala Lumpur, Minggu malam. Garuda tertikam tiga gol tanpa balas. Hasil yang sama sekali di luar dugaan, termasuk rumah judi yang mendiskreditkan tuan rumah sebagai pecundang. Dalam laga yang cenderung keras itu, suporter dua kesebelasan, termasuk para TKI yang bekerja di Malaysia dan juga suporter Indonesia yang terbang langsung dari tanah air, juga bertarung gigih dengan berbagai cara dan gaya demi menyemangati tim kesayangannya.
Sejak laga semifinal yang mempertemukan Malaysia sebagai underdog vs juara bertahan Vietnam, kasus laser tersebut sudah mencuat dan juga dianggap sebagai biang keladi kekalahan Vietnam. Ketika itu, PSSI-nya Vietnam telah resmi melayangkan surat protes atas kasus laser itu ke AFC, namun jawaban pelatih Vietnam justru lebih bijak, "kita akan balas dengan permainan di Hanoi". Sayangnya, dengan agregat dua gol, pasukan Rajagopal tanpa sinar laser, bermain dengan menjalankan taktik super defensif di Vietnam yang menyebabkan tuan rumah seperti mati akal, tak mampu keluar dari permainan kacamata alias draw, yang sekaligus menghentikan langkah sang juara bertahan di turnamen AFF tersebut. Masih dalam status underdog, Malaysia akhirnya menghadapi Indonesia yang hadir di final dengan poin sempurna.
Tim Garuda yang belakangan terbang menjulang sangat tinggi popularitasnya itu akhirnya merasakan juga betapa menderitanya saat harus jatuh. Tersungkur di hadapan ribuan pendukungnya, termasuk rombongan besar menteri-menteri SBY dan politisi yang tadinya begitu yakin akan kemenangan mudah timnas Indonesia atas kesebelasan negeri jiran itu. Meskipun telah dengan gigih berjuang, takdir kekalahan Indonesia sesungguhnya ditentukan oleh faktor konsentrasi. Faktor mutlak yang selalu menjadi prioritas kala pertandingan atau turnamen telah mencapai pucaknya. "Jangan eforia sebelum trofi juara dunia benar benar ada di tangan kita. Sekarang saatnya konsentrasi penuh", kata gelandang terbaik di dunia saat ini, Xavi Hernandez dari Barcelona, menjelang final Piala Dunia Afsel antara Spanyol vs Belanda.
Konsentrasi adalah faktor terpenting dalam setiap puncak turnamen. Entah kejuaraan beregu atau perorangan seperti tenis atau F1 yang memasang faktor konsentrasi itu pada peringkat prioritas pelaksanaannya. Perjalanan ke final suatu turnamen mendudukkan masalah teknis dalam kegiatan rutin yang semakin terlatih. Rivalitas Rafael Nadal dan Roger Fedefer adalah soal konsentrasi. Siapa yang fokus, dialah kemungkinan yang jadi juara. Persaingan ketat Mark Webber dan Sebastian Vettel di F1 sesungguhnya adalah adu konsentrasi sepenuhnya. Meskipun Webber di atas angin, namun Vettel lebih fokus sehingga dia menjadi pembalap F1 termuda dalam sejarah.
Anak-anak Garuda gagal menjaga konsentrasi mereka secara penuh. Sejak kemenangan di semifinal dengan sempurna, sejumlah petinggi, politisi pendamba pencitraan, mendadak merasa berkepentingan atas tim Garuda yang membanggakan dan tengah dipuja-puja bangsa kita. Meskipun tak seluruhnya, namun kebanyakan politikus dan pejabat berkepentingan dengan tempias citra yang bakal mereka dapatkan dari nimbrungnya mereka atas timnas kita yang benar-benar tengah berada di langit yang ke delapan citranya. Ada gula, semut mengeroyok, kata pepatah lama.
Bagaimana mungkin bisa fokus seratus persen, jika bonus besar-besaran sumbangan konglomerat nasional sudah dialirkan secara prematur dilengkapi dengan pesta kemenangan segala, sejumlah pejabat negara mulai intervensi soal siapa yang paling berjasa atas tim Garuda yang tengah naik daun ini. Polemik kerdil terbaca di teras halaman koran atas adu klaim yang sama sekali tak sehat itu. Belum lagi sistem penjualan tiket yang sangat amburadul sehingga harus makan korban jiwa dan kerusakan rumput stadion GBK yang akan digunakan pada laga pamungkas nanti. Semuanya sekaligus terhidang, seolah-olah timnas kita telah resmi ditahbiskan sebagai juara AFF, padahal saat itu "kick-off" final pertamapun belum lagi ditendang..
Tak dapat dibayangkan bagaimana pelatih Alfred Riedl dan timnya harus kerja ekstra menangani faktor teknis yang telah rutin dijalankannya, tapi sekaligus juga harus mengurusi faktor non-teknis yang muncul seketika dengan kepentingan masing-masing, termasuk intervensi halus dan sekadar ikutan mejeng dari kalangan pejabat, politisi, para borju dan sejenisnya seolah-olahnya demi mendukung kejayaan tim Garuda.
Di Bukit Jalil kita memang kandas. Namun sepanjang timnas Indonesia membenamkan dalam-dalam putus-asa dan rasa jumawa di dasar stadion yang menjadi saksi bisu kejatuhan Garuda, berarti selalu ada asa yang menyinari lorong gelap menuju kemenangan demi harkat dan reputasi yang runtuh dalam 98 menit sahaja. Riedl tetap punya kesempatan untuk membalik keadaan dengan motivasi kemenangan murni. Sekalipun misi ini seperti mustahil dilakukan. Taktik permainan harus dikembalikan pada jalurnya yang semula. Kaji kembali kenapa ujung tombak Malaysia Safee Sali, gelandang Norshahrul Idlan dan penyerang Mohamed Ashari bisa begitu mudah memporandakan Indonesia? Jauhkan kasus laser, seperti kata pelatih Vietnam. Lawan dengan bukti dalam laga murni di lapangan.
Simak kenapa sektor kiri benteng pertahanan kita begitu mudah diterobos Norshahrul Idlan yang sampai bisa dua kali mengirim assist dari cara yang sama dan membuahkan dua gol. Kemana motivasi dan semangat tempur kita? Atau juga Markus Horison yang agak berlebihan memprotes sinar laser penonton yang akhirnya membuyarkan konsentrasi permainan Garuda.
Mission Impossible? Karena Indonesia harus menang dengan selisih empat gol (itupun jika lawan berhasil mencuri gol tandang)? Kenapa tidak?
Tampaknya inilah yang membuat laga di GBK pada 29 malam nanti benar-benar menjadi malam pembuktian bagi timnas kita untuk kembali pada bentuknya semula. Konsentrasi total, motivasi tinggi, strategi jitu, pengendalian emosi, confidence yang wajar, niscaya akan membuat posisi Indonesia sedikit lebih baik ketimbang timnas Vietnam yang gagal, karena amat bernafsu membantai Malaysia di Hanoi dengan dendam yang penuh dengan amarah. Didukung penuh penonton yang sportif di lapangan hijau, tanpa direcoki pejabat yang punya kepentingan pribadi pada citra tim Garuda, timnas Indonesia mestinya akan kembali terbang menjulang tinggi, meninggalkan harimau Malaya yang terbujur bermandikan peluh dan airmatanya sendiri di bawah sana, di lapangan hijau Gelora Bung Karno.
Impossible is nothing, kata David Becham dan Roberto Carlos dalam satu kampanye motivasi suatu CSR produk olahraga raksasa pada suatu ketika.
Oscar Motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara dan penikmat sepakbola
Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:
Disiarkan: 27/12/2010 15:25