Malam Penghakiman

Anak-anak Garuda dengan kostum latihan kelabu berlarian bersama dalam sesi latihan sekembali mereka di Jakarta. Kaus kaki merah yang mereka kenakan tampak bergerak dinamis secara teratur dengan latar belakang pendukung yang tetap setia bertandang ke lokasi latihan di area kompleks GBK itu. Berbagai spanduk penyemangat yang mereka bawa memperlihatkan cinta yang tak luntur atas kesebelasan kesayangan mereka meskipun malam sebelumnya tim Harimau Malaya mempecundangi timnas kita dengan telak dan amat menyakitkan. Bak tertikam puluhan belati.

Deretan kaki mereka, anak-anak Garuda, kembali menjejak bumi, di tanah air tercinta kita. Di kompleks inilah, di GBK, mereka harus berlaga dalam malam penghakiman Rabu malam ini. Malam yang sungguh mendebarkan. Malam penentuan yang realistik, setelah pemberitaan yang over-exposed atas tim Garuda. Lebih dari sepekan ini perhatian masyarakat nyaris tersedot sepenuhnya perihal eksistensi mereka. Media cetak, elektronik dan interaktif menulis dan memberitakan habis-habisan setiap gerak mereka. Satu media televisi bahkan membuat liputan eksklusif di ruang personal pemain yang sesungguhnya merupakan kawasan steril, hanya beberapa jam sebelum berlangsungnya laga final pertama. Bersamaan dengan popularitas bak meteor itu, politisi dan para pejabat penganut paham pencitraan, segera merapat, persis gerombolan laron menghampiri cahaya. Sungguh suatu fenomena yang tak pernah terjadi sebelumnya.

Pemberitaan politik yang panas tentang status Jogjakarta untuk sementara tertelan kisah heroik mereka. Begitu juga dengan perkara-perkara korupsi yang menebar dimana-mana. Cerita positif Garuda mungkin menjadi semacam kompensasi keputus-asaan masyarakat atas realitas politik dan penegakan hukum Indonesia yang sangat mengecewakan. Maka di saat anak-anak Garuda bermain ciamik minus Bukit Jalil, masyarakat seperti menemukan oase di gurun tanpa harapan. Meskipun kita mahfum bahwa sepakbola adalah permainan olahraga yang tak menjamin kisahnya akan berakhir dengan "happy-ending". Tragedi di malam penghakiman tentunya tak diharapkan masyarakat yang tengah terbuai kisah manis, meskipun pahitnya kekalahan juga dirasakan penuh oleh segenap pendukungnya.

Akhir laga di Bukit Jalil membuat semua realita yang terbangun sebelumnya mendadak sumir. Tiba tiba langit seperti runtuh. Orang-orang berlarian menyelamatkan diri seraya menyerapahi timnas bermain letoy dan tak punya mental juara. Para pejabat pencinta pencitraan yang hadir dengan harapan kecipratan sorotan media atas kemenangan timnas, harus pulang dengan kepala tertunduk. Semoga itu karena mereka merasa malu. Garuda akhirnya juga mendapati dirinya tak mampu terbang tinggi di Bukit Jalil. Harimau Malaya itu terlalu licik untuk dicabik-cabik dengan cakar kokohnya.

Minus gelandang Okto Maniani yang tempo hari memporandakan Malaysia karena terkena akumulasi kartu kuning, Garuda sesungguhnya memiliki kualitas deretan pemain yang telah siap tarung dengan kualitas yang lebih baik ketimbang Malaysia yang pastinya masih terlena oleh aroma kemenangan tak terduga atas Vietnam dan Indonesia. Dengan catatan, anak-anak Garuda itu telah pulih moralnya, memetik pelajaran dari kekalahan tandang mereka di Bukit Jalil nun jauh di sana. Tak perlu ada beban kita sebagai tim favorit dalam laga kandang. Malaysia adalah kesebelasan tangguh, mari rebut predikat underdog dari mereka untuk dikenanakan timnas sebagai pelecut motivasi.

Garuda terbanglah tinggi. Jangan salahkan laser. Malaysia harus ditaklukkan secara ksatria. Tak ada keindahan dari sebentuk kemenangan yang terbangun atas semangat kebersamaan, persis seperti misi kemajemukan ketika Republik ini dilahirkan. Demi itu, semua Garuda itu ada di dada anak-anak timnas Indonesia, bergelora dalam jiwa, tak hanya menjadi hiasan kostum timnas yang kita cintai. Sepanjang Firman Utina dkk berkonsentrasi penuh untuk kebanggaan bangsa, demi jiwa rakyat yang tak lagi punya idola, serta landasan sepakbola Indonesia yang mempersatukan warganya.

Maka tak ada kata lain. Menang!

Dan ajari bangsa Malaysia bagaimana caranya menjadi juara dengan keagungan.

Oscar Motuloh
kurator Galeri Foto Jurnalistik Antara
pencinta sepakbola

Pewarta: Oscar Motuloh | Editor:

Disiarkan: 29/12/2010 12:35